Putusan MK soal Pemilu Timbulkan Dilema, Komisi III Ngaku Bingung

  • Bagikan

INDOSatu.co – JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI, Martin Daniel Tumbelaka mengungkapkan kegelisahan publik terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang terbaru terkait Pemilu. Hal itu disampaikan Martin dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI yang menghadirkan sejumlah pakar ketatanegaraan dan mantan hakim konstitusi, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7).

RDPU tersebut menghadirkan empat narasumber, yaitu Mantan Hakim MK Patrialis Akbar; Mantan Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI Taufik Basari; Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah Abdul Chair Ramadhan; dan Dosen FISIP UI Valina Singka Subekti. Agenda utama rapat adalah membahas dan mendalami implikasi konstitusional Putusan MK terkait pemilu yang menuai polemik publik.

Legislator dari Fraksi Partai Gerindra itu menilai, putusan MK tersebut menimbulkan kebingungan dan dilema konstitusional yang serius. Hal itu tidak hanya bagi penyelenggara pemilu, tetapi juga bagi masyarakat dan pembuat kebijakan.

Baca juga :   Selain Kampanye Gagasan, Sohibul Iman Ingatkan untuk Jaga Mesin Politik PKS

“Tentu kami bingung, Komisi III terus dikejar oleh masyarakat soal apa pandangan kami terkait putusan dari MK itu. Dan saya melihat bahwa ketiga narasumber tadi sepakat, putusan MK itu melampaui kewenangannya dan bahkan dinilai melanggar konstitusi,” ujar Martin.

“Sementara, ada Undang-Undang yang disampaikan tadi, ada Undang-Undang Nomor Pasal 22 yang itu memang harus kita jalankan. Jadi, ada dua putusan yang saya bertanya-tanya tadi. Kalau ini tidak ada tanggapan atau tidak ada putusan yang lanjut, terus apa yang harus kita lakukan?,” tambahnya.

Lebih lanjut, Martin juga meminta pandangan para narasumber, apabila DPR sebagai lembaga legislatif tidak dapat menjalankan putusan MK karena dinilai melanggar konstitusi, apakah hal tersebut dapat dibenarkan secara hukum dan ketatanegaraan.

Baca juga :   Berkhianat, Budiman Sudjatmiko Dinilai Sah Jadi Kader Celeng PDI Perjuangan

Menanggapi hal itu, Patrialis Akbar menyampaikan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, tetapi tidak berarti kebal dari kritik publik. Ia menegaskan bahwa, putusan MK tidak bisa dibatalkan oleh MK itu sendiri.

“Putusan MK itu juga tidak bisa dibatalkan oleh MK. Kalau dibatalkan oleh MK, berarti kredibilitas hakim MK dipertanyakan. Itu berbahaya juga. Jadi, ini luar biasa dalam tataran ketatanegaraan kita,” tegas Patrialis.

Sementara itu, Valina Singka Subekti menambahkan, Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tidak serta-merta membatalkan putusan-putusan MK terdahulu yang masih sah dan berlaku. Karena itu, perlu kehati-hatian dalam menafsirkan keberlakuan norma hukum yang telah diformulasikan secara yuridis.

Sebagaimana diketahui, melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diucapkan dalam Sidang Pengucapan Putusan pada 26 Juni 2025, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus dilaksanakan secara terpisah dengan jarak paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan.

Baca juga :   Segera Berdiri Partai Baru, Subur: Akhir Juni FKPD Dipastikan Gelar Kongres

Amar putusan itu membatalkan makna “serentak” yang selama ini menjadi prinsip dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, serta menegaskan, bahwa keserentakan menyeluruh tidak lagi dianggap sebagai prinsip konstitusional dalam pelaksanaan pemilu.

Putusan tersebut merupakan respons atas permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam petitumnya, Perludem menilai, pelaksanaan Pemilu lima kotak secara serentak telah menimbulkan dampak sistemik, di antaranya melemahkan pelembagaan partai politik, menurunkan kualitas kandidat, serta mengurangi efektivitas Pemilu sebagai instrumen kedaulatan rakyat. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *