BERDASARKAN laporan dan cerita warga, kerusakan jalan terjadi di hampir sebagian besar kawasan Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Seorang warga Medan yang bekerja sebagai sopir pengantar paket bercerita, bahwa dia mendapati hampir semua jalan provinsi yang dia lalui rata-rata rusak parah.
Tidak ada angka pasti mengenai berapa kilometer jalan yang rusak di Sumut. Namun demikian, ada ukuran kuantifikasi yang menunjukkan jumlah jalan yang rusak itu. Misalnya, angka tentang kemantapan jalan. Tingkatan kemantapan jalan di provinsi besar ini tercatat 75 persen.
Nilai tersebut cukup jauh di bawah angka nasional yang mencapai 95 persen. Angka ini bisa dibaca, bahwa jalan mantap di Sumut hanya 75 persen. Di daerah-daerah lain mencapai 95 persen. Itulah sebabnya, sebagian orang menyebut jumlah jalan rusak yang terpanjang di Indonesia, berada di Sumut.
Di Sumut, jalan yang berstatus jalan provinsi (tanggung jawab Pemprov Sumut) ada 3,000 km lebih sedikit. Tepatnya, 3,005 km. Dari jumlah ini, 750 km masuk kategori rusak. Dari 750 km ini, 600 km rusak berat dan 150 km rusak ringan (merdeka.com, Januari 2022).
Pertanyaannya, di mana pemerintah provinsi? Apa yang mereka pikirkan? Apa yang mereka kerjakan? Mengapa jalan rusak di Sumut boleh dikatakan tak pernah diperhatikan? Gubernur tentu sudah mengantongi dana sebesar Rp 2.7 triliun untuk perbaikan 450 km. Jumlah dana ini memang tak cukup jika untuk memperbaiki 600 km jalan rusak yang harus selesai hingga akhir 2023. Pekerjaan perbaikan sudah dimulai sejak pertengahan 2022.
Ada fakta yang cukup mencengangkan. Dari 450 km jalan di Sumut yang masuk kategori rusak berat, sekitar 280 km diantaranya merupakan jalan tanah. Dan, belum pernah dilakukan pengerasan atau pengaspalan.
Apa yang menyebabkan Pemprov Sumut lambat bertindak? Informasi yang mengemuka, anggaran itu antara lain adalah dialihkan untuk menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap berbagai kehidupan. Artinya, dana APBD dikerahkan untuk penanganan Covid-19 selama dua tahun terakhir ini.
Akan tetapi, berdasarkan logika sehat, kerusakan jalan kategori berat itu hampir pasti tidak terjadi dalam rentang waktu satu-dua tahun. Artinya, Pemprov mestinya sudah mengetahui kondisi buruk itu dari sejak awal. Bisa diminta laporan dari bawah, dari dinas-dinas PU kabupaten. Dan sepantasnya pula, pemprov sudah memulai pekerjaan perbaikan itu sejak masa Gubernur Edy Rahmayadi memangku jabatan.
Di satu sisi, publik mungkin bisa memahami kelambanan pihak pemprov memperbaiki jalan yang rusak berat itu. Misalnya, ada musibah Covid-19 yang sangat besar menguras dana, yang secara umum masyarakat juga sudah sangat menderita. Mereka harus setiap hari bersusah payah ketika menggunakan jalan.
Setiap hari, selama bertahun-tahun, rakyat terpaksa menempuh jalan hancur. Boleh dikatakan tak bisa lagi bersepeda motor, konon pula menggunakan sepeda dayung. Di banyak ruas jalan provinsi, rakyat harus lihai melakukan zig-zag untuk menaklukkan batu-batu sebesar mangga, nenas, atau bahkan sebesar semangka.
Di celah-celah bebatuan itu, ada banyak lubang yang bisa jadi mengancam keselatan pengendara. Di musim hujan, lubang-lubang besar tertutup genangan air. Ini membuat pengendara lebih repot lagi. Mereka tidak bisa mengingat semua lubang dalam yang harus dihindari ketika melewati ruas yang rusak berat.
Untuk lubang-lubang tertentu yang sudah dikenali di kalangan pengedara, mungkin selalu bisa dielakkan. Mereka hafal letakknya. Para pengendara yang “berstatus member” menjadi sangat terampil melewati lubang-lubang berbahaya yang posisinya sudah di luar kepala itu. Begitulah. Saking lamanya lubang-lubang itu membersamai, sampai mereka hafal di luar kepala.
Boleh jadi orang Sumut akan menjadi juara umum kalau ada kompetisi internasional menggunakan jalan rusak berat. Yakin kita. (*)
Asyari Usman;
Penulis adalah Jurnalis Freedom News, tinggal di Medan



