BAB VIII, Hak Keuangan, Pasal 23, ayat (1), Undang-Undang Dasar menyatakan: (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Atas dasar perintah konstitusi itu, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun anggaran 2022 ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) No 6 Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022. Sebagai konsekuensi, perubahan pada APBN juga harus ditetapkan dengan undang-undang, biasanya dinamakan undang-undang APBN Perubahan atau UU APBN-P.
Karena itu, Pertama, Peraturan Presiden Nomor 98 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022, pada dasarnya tidak bisa dan tidak boleh mengubah UU Nomor 6 Tahun 2022 tentang APBN 2022. Artinya, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 tidak sah dijadikan dasar untuk APBN Perubahan 2022.
Kedua, defisit APBN 2022 direncanakan Rp 868 triliun, dengan pembiayaan defisit anggaran direncanakan juga dalam jumlah yang sama, yaitu Rp 868 triliun. Sedangkan realisasi defisit APBN 2022 hanya Rp 464,3 triliun, jauh di bawah pagu anggaran defisit 2022 sebesar Rp 868 triliun tersebut, atau lebih rendah Rp 403,7 triliun.
Tetapi pda sisi lain, pemerintah sengaja menaikkan harga BBM Pertalite dari Rp 7,650 menjadi Rp 10.000 per liter, dan harga solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter pada 3 September 2022, yang membuat defisit anggaran menjadi lebih rendah.
Masalahnya, meskipun pagu defisit anggaran masih memungkinkan tidak harus menaikkan harga BBM, tetapi tetap saja harga BBM dinaikkan, sehingga kebijakan menaikkan harga BBM ini mengakibatkan jumlah rakyat miskin pada September 2022 bertambah 200.000 orang dibandingkan Maret 2022. Artinya, APBN tidak dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai perintah konstitusi, tetapi malah dilaksanakan untuk memiskinkan rakyat.
Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa realisasi pembiayaan defisit APBN 2022 mencapai Rp 583,5 triliun, atau Rp 119,2 triliun lebih besar dari realisasi defisit APBN 2022. Tetapi kelebihan pembiayaan (atau utang) untuk menambal defisit anggaran ini tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Kelebihan menarik utang ini dibiarkan mubazir, ditengah kenaikan jumlah penduduk miskin. Padahal, biaya bunga tetap harus dibayar.
Bukankah praktik kebijakan pemerintah ini bertentangan dengan konstitusi untuk melaksanakan APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Rakyat salah apa, kok tega-teganya sampai memiskinkan rakyat. Padahal, pemerintah mempunyai kapasitas Rp 119,2 triliun (kelebihan pembiayaan anggaran), bahkan Rp 403,7 triliun (selisih pagu dengan realisasi defisit), untuk mencegah jumlah rakyat miskin bertambah?
Lalu, sampai kapan negara ini masih bisa memberi toleransi kepada Pemerintah untuk melanggar konstitusi yang mengakibatkan memiskinkan rakyat?
Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)



