KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Rafael Alun Trisambodo sebagai tersangka. Meski sudah lama masuk radar Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Rafael Alun nampaknya cukup sakti, sehingga tidak tersentuh hukum.
Jika seseorang sulit tersentuh hukum, sebenarnya malah mudah ditebak. Biasanya banyak orang penting yang terlibat, sehingga perlu dilindungi. Mereka kompak untuk melindungi satu dengan yang lainnya. Istilah Jawa-nya, selamet siji selamet kabeh, aman siji aman kabeh (selamat satu selamat semua, aman satu aman semua, Red). Intinya; “Jangan membuka aib sesama”, begitu kira-kira panduannya. KPK juga berpendapat, Rafael Alun merupakan ‘orang kuat’ di negeri ini.
Karena, mungkin saja gratifikasi ini merembes sampai ke puncak tertinggi. Setinggi mana, ini yang menjadi tugas KPK untuk usut sampai ke akar-akarnya. Laporan PPATK terkait dugaan pencucian uang di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah diserahkan kepada aparat penegak hukum dan kementerian keuangan sejak lama, pada 2009. Tetapi, tidak pernah berhasil terungkap, sampai terjadi kasus penganiayaan Mario kepada David.
Sejauh ini, KPK hanya menetapkan Rafael Alun sebagai tersangka penerima gratifikasi, melalui perusahaan konsultan pajak milik Rafael Alun, PT Artha Mega Ekadhana (AME). Rafael Alun dituduh menerima gratifikasi senilai 90 ribu dolar AS atau sekitar Rp 1,3 miliar. Hanya 90 ribu dolar AS?
Kalau tuntutan kepada Rafael Alun hanya sebatas kasus gratifikasi saja, maka patut diduga ada upaya mau mengecilkan atau mengisolasi permasalahan ini agar berhenti sampai di Rafael Alun saja, dan tidak melebar ke pihak lainnya yang diduga terlibat pencucian uang.
Sekali lagi, kalau tuntutan kepada Rafael Alun hanya sebatas kasus gratifikasi saja, maka KPK tidak bisa mengusut pihak lain yang diduga terlibat menerima aliran dana dugaan pencucian uang dari Rafael Alun. Misalnya, kepada artis berinisial R, atau artis-artis dan perusahaan-perusahaan lainnya.
Dan, kalau tuntutan kepada Rafael Alun hanya sebatas kasus gratifikasi saja, KPK tentu juga tidak bisa mengusut harta Rafael Alun lainnya yang patut diduga berasal dari tindak pidana pencucian uang, membuat kasus-kasus dugaan pencucian uang lainnya di Kementerian Keuangan akan menguap.
Karena itu, KPK tidak boleh berhenti hanya sebatas pada tuntutan gratifikasi saja. KPK harus usut tuntas dugaan pencucian uang Rafael Alun, agar dapat membongkar pihak-pihak yang diduga terlibat dalam pencucian uang seperti dilaporkan PPATK. Laporan hasil analisis dan hasil pemeriksaan dari PPATK seharusnya sudah cukup matang dan tidak sulit mencari bukti permulaan dugaan pencucian uang.
Modus pencucian uang, antara lain dengan mendirikan perusahaan, atau menempatkan modal di perusahaan milik orang lain, dengan menggunakan nama pihak ketiga seperti nama anak, istri atau anggota keluarga lainnya, untuk menyamarkan asal-usul sumber uangnya. Atau, membeli aset seperti properti atau kendaraan bermotor dengan menggunakan nama orang lain, untuk menyamarkan asal-usul sumber uangnya.
Apakah Rafael Alun mempunyai perusahaan atas nama orang lain atau anggota keluarganya, yang belum dilaporkan di dalam LHKPN? Apakah Rafael Alun mempunyai penyertaan modal di perusahaan orang lain atas nama orang lain atau anggota keluarganya? Apakah Rafael Alun memiliki rumah, apartemen, atau kendaraan bermotor atas nama orang lain atau anggota keluarnya? Kalau ada, maka patut diduga sudah memenuhi unsur modus pencucian uang.
Karena itu, KPK harus menindaklanjuti penyelidikan kasus Rafael Alun sampai dugaan tindak pidana pencucian uang, agar malapetaka seperti yang terjadi di kementerian keuangan tidak terulang lagi di masa depan. KPK juga jangan berhenti di kasus Rafael Alun saja.
Ingat, masih ada 490 pegawai kementerian keuangan lainnya yang masuk dalam laporan PPATK. KPK bersama Aparat Penegak Hukum (APH) lainnya wajib usut tuntas dugaan pencucian uang yang melibatkan begitu banyak pegawai kementerian keuangan, yang sangat meresahkan masyarakat ini. (*)
Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).