PADA 1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: “Perpanjangan Pemberian Bantuan Sosial sampai Juni 2024, Diputus secara Sepihak oleh Presiden Joko Widodo tanpa Persetujuan DPR, Melanggar Konstitusi dan Sejumlah Undang-Undang”
Pendapat tersebut disertai alasan sangat lengkap, undang-undang apa dan pasal berapa yang dilanggar, apa alasannya, dan apa konsekuensi hukumnya. Dalam sesi tanya-jawab, dua lawyer ternama, Yusril Ihza Mahendra dan Hotman Paris, mengajukan pertanyaan.
Pertanyaan Hotman Paris ketika itu saya jawab: “itu bukan wewenang saya, tetapi wewenang para hakim Mahkamah Konstitusi, karena itu saya serahkan kepada Majelis hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjawabnya.
Dalam hati saya menertawakan pertanyaan yang bermaksud buruk, pertanyaan menjebak, alias pertanyaan culas tersebut.
Hotman bertanya: “anggap semua apa yang disampaikan saudara Ahli adalah benar, bahwa Presiden Jokowi melanggar konstitusi, melanggar undang-undang, melakukan korupsi, dan nepotisme seperti yang disampaikan, apakah menurut saudara Ahli, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan hasil pilpres, mengingat Presiden bukan pihak yang berperkara.”
Maksudnya, yang sedang digugat (beperkara) adalah KPU yang memenangkan paslon Prabowo-Gibran sebagai Pihak Terkait. Apakah pelanggaran hukum Presiden Joko Widodo, sebagai pihak yang tidak beperkara, bisa berdampak pada pembatalan putusan KPU?
Pertanyaan ini menarik untuk disimak lebih mendalam;
Pertama, seperti Yusril, Hotman tidak menyangkal materi yang saya sampaikan, bahwa Presiden Joko Widodo melanggar hukum (Konstitusi dan sejumlah undang-undang) terkait perpanjangan pemberian Bantuan Sosial sampai Juni 2024. Ini poin yang sangat penting.
Kedua, pernyataan “anggap apa yang saudara Ahli sampaikan benar” memberi isyarat Hotman sependapat dengan saya. Setidak-tidaknya tidak bisa menyangkal fakta yang saya sampaikan. Nampaknya, Hotman cuma khawatir pelanggaran hukum Presiden Joko Widodo tersebut dapat membatalkan putusan KPU. Karena itu, dia bertanya, apa pendapat saya.
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan jebakan, pertanyaan culas, maka itu dia ngotot kepada hakim agar saya menjawab. Yang Hotman mau saya harus menjawab “ya atau tidak”, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan Putusan KPU.
Jebakannya sebagai berikut;
Kalau saya jawab “ya”, maka saya mendahului wewenang para hakim Mahkamah Konstitusi. Tentu saja, jawaban tersebut bisa menjadi bumerang bagi Tim Hukum yang menghadirkan saya. Jawaban saya kemudian akan diikuti dengan pertanyaan lanjutan, apa alasannya. Maka saya akan terjebak dalam argumen hukum yang bukan merupakan kompetensi saya.
Sebaliknya, kalau saya jawab “tidak”, maka jawaban tersebut akan digunakan untuk melawan pendapat saya sendiri, sehingga semua materi yang saya sampaikan menjadi tidak berguna, karena tidak bisa dipakai untuk membatalkan Putusan KPU. Selain itu, jawaban saya juga akan melampaui wewenang para hakim Mahkamah Konstitusi.
Karena itu, saya hanya menjawab singkat, bahwa saya tidak berwenang memberi pendapat apakah Mahkamah Konstitusi bisa atau tidak bisa membatalkan Putusan KPU. Karena semua itu merupakan wewenang yang mulia majelis hakim Mahkamah Konstitusi, maka hanya Mahkamah Konstitusi yang berhak menjawab dan memutusnya.
Sekali lagi, pertanyaan Hotman menyiratkan dia tidak menyangkal materi yang saya sampaikan, bahwa pemberian Bantuan Sosial sampai Juni 2024 melanggar Konstitusi dan sejumlah undang-undang.
Tetapi, Hotman rupanya tidak tertarik atau tidak peduli dengan pelanggaran hukum Joko Widodo. Itu bukan urusannya. Yang dia peduli sebagai lawyer hanya memenangkan sengketa pilpres 2024 untuk paslon Prabowo-Gibran.
Terakhir, publik ingin bertanya kepada Hotman, apa pendapatnya, kalau pemberian Bansos oleh Presiden Joko Widodo melanggar Konstitusi dan undang-undang, dan pemberian Bansos tersebut terbukti untuk keuntungan Gibran, sehingga terbukti nepotisme, apakah menurut Hotman kemenangan Gibran sah? Atau Gibran seharusnya didiskualifikasi? (*)
Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).