INDOSatu.co – YOGYAKARTA – Tokoh pendidikan Indonesia, Anies Baswedan menghadir acara Syawalan dan Mangayubagya Calon Jemaah Haji yang digelar Keluarga Besar Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (23/4).
Anies mengaku senang bisa hadir, dan itu bukan tanpa alasan. Ia diundang oleh panitia Syawalan, namun diberi kesempatan untuk berceramah tentang pendidikan.
“Kalau Syawalan, sudah banyak mubalig dan mubaligah. Tapi soal pendidikan, ini tentu berbeda. Mungkin itu yang membuat saya datang. Saya senang bisa berdialog dengan para guru, yang merupakan pembentuk masa depan bagi umat dan bangsa kita,” kata Anies yang disambut tepuk tangan meriah ribuan hadirin.
Anies mengatakan, Muhammadiyah sejak awal memilih jalan yang terjal dan sunyi,—jalan pendidikan, pelayanan sosial, mencerdaskan, dan memberdayakan. Bukan jalan kekuasaan. Ini adalah jalur yang suci dan sunyi.
“Di tengah riuh rendah perebutan pengaruh, Muhammadiyah menanamkan pengaruh lewat keteladanan yang senyap tapi menjulang. Ribuan sekolah dari Sabang sampai Merauke berdiri dari kerja kolektif yang tidak kenal lelah. Bahkan sampai ke pedalaman, saat pemerintah belum menjangkau, Muhammadiyah sudah hadir menebarkan ilmu,” jelasnya.
Menurut dia, di sela-sela acara tadi, ada kotak jariyah yang diedarkan oleh anak-anak muda. Kotak ini merupakan sumur pahala. Biasanya saf paling depan tidak dikelilingi kotak, tapi di Muhammadiyah justru dikelilingi juga. Ini mencerminkan kemandirian—tidak tergantung, dan itu sudah terbukti sebagai bentuk investasi. Dari seluruh investasi di dunia, Muhammadiyah memiliki aset nomor empat terbesar di dunia.
“Ini adalah tanda bahwa pesan Kiai Haji Ahmad Dahlan, ‘Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah,’ masih hidup dan menjadi tradisi yang semakin meluas,” kata Anies.
Gubernur DKI Jakarta 2017–2022 ini mengungkapkan, Muhammadiyah sudah melakukan revolusi, tapi revolusinya bukan dengan senjata atau pidato di panggung, melainkan dengan menghadirkan guru di ruang kelas, tenaga kesehatan di berbagai pelosok negeri.
“Insyaallah, para guru mampu menyalakan cahaya. Ini adalah salah satu bentuk revolusi sunyi yang luar biasa,” ujarnya.
Dalam Syawalan ini, Anies juga mengaku senang bisa bertemu dengan guru-gurunya. “Pak Sudjono dan putra dari Pak Daroji. Pak Daroji dulu adalah guru agama saya dari SD hingga SMP. Sekarang putranya menjadi guru agama juga, meneruskan peran dari orang tuanya,” kata mantan Rektor Universitas Paramadina, Jakarta itu.
Lebih lanjut, Anies mengungkapkan bahwa Lebaran bukan sekadar bagian dari ritual spiritual, tapi juga merupakan laboratorium sosial. Nilai-nilai luhur yang sering diajarkan di dalam kelas justru hidup dalam realitas masyarakat.
“Anak-anak menyaksikan langsung proses saling memaafkan dalam pelukan hangat, dan di situlah pendidikan karakter paling nyata terlihat. Bukan dalam bentuk nilai yang ditulis, tapi dalam praktik yang sangat terasa,” papar Anies.
Ia menambahkan, Lebaran adalah momen langka di mana hirarki sosial runtuh dalam kesetaraan spiritual. Semua orang bersalaman tanpa sekat jabatan, tanpa tembok kekuasaan. Ini adalah pelajaran tentang egalitarianisme yang tidak mungkin bisa disentuh dan diajarkan sepenuhnya di ruang kelas.
“Mengapa saya sebut sebagai laboratorium sosial? Karena hal ini hanya terjadi di Indonesia. Di tempat lain, selesai salat Id, ya sudah—Id Mubarak selesai. Di sini, setelah salat Idulfitri, selama satu bulan semua yang berjarak jadi didekatkan,” tegasnya.
Dalam momen Lebaran ini, kata Anies, juga tampak bahwa yang kaya berbagi dengan yang kurang bukan karena survei atau laporan data, tapi karena rasa. “Karena hati yang disentuh selama satu bulan di bulan Ramadan. Ini adalah pelajaran tentang keadilan, keberpihakan, dan ketakwaan,” pungkas Anies. (*)