Dugaan Ijazah Petruk Palsu?

  • Bagikan

DALAM jagat pewayangan Jawa, lakon Petruk Dadi Ratu merupakan satire sosial-politik yang tajam. Kisah ini menggambarkan bagaimana Petruk—salah satu punakawan yang dikenal jenaka dan tidak memiliki latar belakang kepemimpinan—tiba-tiba menjadi raja karena kekuasaan yang turun secara ajaib.

Dalam konteks ini, Petruk tidak hanya menjadi simbol keganjilan dalam politik, tetapi juga cermin dari kekuasaan yang diperoleh tanpa keabsahan moral maupun etika kenegaraan. Menurut Onghokham (2003), punakawan seperti Petruk dalam tradisi Jawa sering digunakan untuk mengkritik elite yang kehilangan legitimasi moral, meski masih menguasai struktur kekuasaan.

Kisah ini terasa begitu relevan ketika kita menyoroti kondisi demokrasi Indonesia di era Presiden Jokowi. Pemilihan langsung yang awalnya dirancang untuk menyaring pemimpin terbaik, justru kerap melahirkan sosok yang minim kapasitas kepemimpinan dan tak memiliki rekam jejak kenegaraan yang kuat.

Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (2021) menyebut bahwa demokrasi Indonesia telah terjebak dalam “klientelisme elektoral”, di mana pemimpin dipilih bukan karena gagasan, tapi karena jejaring politik, uang, dan pencitraan. Dalam kondisi semacam ini, siapa pun—bahkan figur seperti Petruk—bisa naik takhta asalkan punya daya tarik populis.

Baca juga :   Urgensi Pemilu tanpa Jokowi

Pemerintahan Presiden Joko Widodo banyak disorot dalam konteks kemunduran demokrasi. Nancy Bermeo (2017) menjelaskan bahwa kemunduran demokrasi masa kini tidak selalu ditandai oleh kudeta militer, melainkan berlangsung secara bertahap dan legal—melalui manipulasi konstitusi, pelemahan lembaga pengawasan, serta kooptasi institusi. Di Indonesia, gejala ini tampak dalam revisi UU KPK yang melemahkan independensi lembaga antikorupsi, serta keputusan Mahkamah Konstitusi soal batas usia calon presiden yang dinilai kental muatan kepentingannya (Gumay, 2024).

Dalam bidang ekonomi, pembangunan infrastruktur masif memang tampak sebagai prestasi. Namun, laporan Bank Dunia (2023) menyoroti dampak jangka panjangnya: peningkatan utang luar negeri, ketimpangan antar wilayah, serta lemahnya transformasi struktural yang seharusnya mengiringi pembangunan fisik.

Baca juga :   Kontroversi Langkah Politik Gibran

Di sektor pendidikan, sistem semakin diarahkan untuk menyuplai tenaga kerja bagi pasar bebas, sementara ruang berpikir kritis dan otonomi akademik makin tergerus. Akibatnya, sebagaimana dicatat oleh Aspinall dan Mietzner (2021), demokrasi Indonesia kehilangan fondasi sosial dan intelektual yang kuat untuk tumbuh.

Di tengah berbagai persoalan itu, muncul pula isu mengenai dugaan ijazah palsu Jokowi. Apakah bangsa ini memang pernah diperintah oleh Petruk yang naik takhta dengan ijazah palsu?

Perdebatan tentang ijazah Jokowi mencerminkan krisis kepercayaan publik terhadap pemimpin nasional. Dalam masyarakat yang sehat, latar belakang pendidikan seorang pemimpin harusnya tidak menjadi bahan kontroversi. Namun ketika transparansi diredam dan kritik disambut dengan delegitimasi, maka wajar bila muncul spekulasi dan ketidakpercayaan. Menurut Cass R. Sunstein (2011), rumor tumbuh subur justru karena absennya kejelasan informasi dari otoritas resmi dan tertutupnya ruang diskusi publik.

Baca juga :   Jokowi Bisa Dipenjara

Maka, isu ijazah palsu bukan sekadar soal administratif, melainkan cerminan lemahnya legitimasi moral. Kita seperti menyaksikan lakon Petruk Dadi Ratu, tapi dengan versi yang lebih tragis—karena Petruk modern tidak lagi merasa perlu turun takhta. Jika dalam pewayangan Petruk masih punya kesadaran untuk mengembalikan kekuasaan, dalam realitas politik Indonesia, kekuasaan justru dipertahankan dengan kooptasi media, aparat hukum, dan partai politik. Kritik dibungkam, oposisi digembosi dengan jabatan, dan wacana publik dikendalikan dengan narasi resmi yang penuh pencitraan.

Apabila pola ini terus berlangsung, maka sejarah Indonesia modern bisa saja ditulis dengan kalimat getir: bahwa bangsa ini pernah dipimpin oleh “Petruk berijazah palsu”, dan rakyatnya dibiarkan hidup dalam panggung sandiwara politik yang tidak lucu sama sekali. (*)

Nazaruddin;
Penulis adalah Wakil Ketua Umum DPP Partai Ummat.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *