Save Raja Ampat

  • Bagikan

ISU lingkungan tidak pernah benar-benar menjadi isu yang menjadi perhatian publik di Indonesia. Pemerintah dan para politisi pun memberi perhatian yang ala kadarnya saja. Sampai kemudian isu lingkungan menjadi viral dan mendapat sorotan luas dari publik, barulah para politisi berbicara dengan berbuih-buih seolah paling paham mengenai problem lingkungan.

Kasus Raja Ampat menjadi pengingat bahwa kesadaran lingkungan pemerintah kita begitu memprihatinkan. Kesadaran dan pemahaman lingkungan para pejabat begitu rendahnya. Partai politik dan para politisinya tidak punya kesadaran dan perhatian yang cukup mengenai lingkungan.

Raja Ampat menjadi salah satu ikon wisata laut yang fenomenal dalam beberapa tahun terakhir. Keindahan dan keunikan pulau-pulau di Raja Ampat hanya bisa ditandingi oleh pulau-pulau rekaan sutradara James Cameron dalam film ‘’Avatar’’.

Raja Ampat adalah keajaiban dunia. Badan kebudayaan dan kesenian PBB UNESCO sudah menetapkannya sebagai global geopark, taman alam buana, yang menjadi ikon keindahan alam dunia.

Keindahan alam laut dan biota laut yang sangat kaya itulah yang menjadi daya tarik wisata tiada duanya di Indonesia. Publik bangga bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan pesona dunia. Raja Ampat benar-benar memberi rasa bangga.

Tetapi, publik terkejut ketika mengetahui bahwa wilayah itu ternyata dirusak oleh pertambangan nikel. Sungguh tidak terbayangkan, bagaimana para pengeruk tambang nikel itu bisa tega merusak alam yang perawan nan molek itu.

Ketika hal ini viral dan protes meluas, jawaban yang diberikan oleh para pengeruk nikel itu menggelikan. Ada yang mengatakan bahwa wilayah pengerukan berada di luar area wisata alam Raja Ampat, dan karenanya aman. Dia merasa hebat dengan alasan itu. Padahal justru kelihatan betapa bodoh dan miskin wawasannya mengenai lingkungan.

Baca juga :   Letnan Kolonel TNI Deddy Corbuzier, Hua Ha Ha...

Seorang komisaris dari ormas Islam besar juga melakukan pembelaan diri, dengan mengatakan bahwa lokasi penambangan bukan masuk dalam lokasi wisata, dan karenanya ia berkesimpulan tidak akan mengganggu ekosistem Raja Ampat.

Sekali lagi. Betapa miskinnya pemahaman kita mengenai lingkungan. Betapa rendahnya kesadaran kita mengenai lingkungan. Ketika penambangan dilakukan di luar area wisata seolah-olah semua aman, tidak akan ada dampak terhadap ekosistem lingkungan.

Para aktivis lingkungan menyebut teori ‘’butterfly effect’’ atau efek kupu-kupu untuk menggambarkan ekosistem lingkungan seluruh dunia yang saling berhubungan. Kepak sayap kupu-kupu di California, bisa menyebabkan badai besar di China, karena kepak kecil itu bisa memengaruhi cuaca yang menyebabkan terjadinya tornado ribuan kilometer dari tempat sang kupu-kupu.

Ungkapan ini menggambarkan kesatuan ekosistem lingkungan seluruh dunia. Hutan Amazon di Amerika Selatan mempunyai hubungan saling memengaruhi dengan Padang Sahara di Afrika. Debu yang diterbangkan angin dari Sahara membawa fosfor yang terbang ribuan kilometer menyeberang Atlantik, kemudian mendarat di hutan Amazon. Fosfor itu kemudian menjadi makanan tetumbuhan di Amazon dan mengaga kelestariannya.

Baca juga :   Setali Tiga Uang. StarLink (hanya) Rp 30 M. Tiga Kali Kena Prank?

Sebaliknya, kerusakan di hutan Amazon akan memengaruhi tingkat pemanasan global. Pada akhirnya kerusakan hutan Amazon menyebabkan curah hujan berkurang, dan padang yang kering akan semakin meluas mengikis wilayah Afrika yang semula subur.

Para tokoh dunia mengingatkan bahaya bencana alam akibat kerusakan lingkungan. Bil Gates menulis buku ‘’How to Avoid Climate Disaster’’ (2021), mengingatkan bahaya mengancam dunia akibat emisi rumah kaca akibat polusi yang menyebabkan pemanasan global.

Jared Diamond menulis buku ‘’Collapse’’ (2017), yang mengungkapkan fakta sejarah bahwa peradaban-peradaban besar di dunia ambruk dan punah karena problem lingkungan. Suku-suku besar di Amerika Selatan punah karena bencana lingkungan. Kerusakan itu dibuat sendiri oleh manusia, sehingga menyebabkan munculnya ‘’ecoside’’, bunuh diri lingkungan secara masal.

Wartawan dan pemerhati lingkungan dari Amerika Serikat David Wallace-Wells menulis buku ‘’Uninhabitable Earth’’ atau Bumi yang Tak Bisa Dihuni (2020).Dia memaparkan faktor-faktor yang membuat planet bumi tidak layak huni.

Manusia secara sadar–dan lebih sering tidak sadar–telah menghasilkan emisi karbon yang membuat suhu bumi naik dari tahun ke tahun. Saat ini saja dengan kenaikan suhu 1,1 derajat selsius kita mengalami berbagai macam bencana yang menghancurkan.

Menurut prediksi Wallace-Wells, kalau tren ini tidak dihentikan, dan panas bumi mengalami kenaikan sampai ke angka 5 derajat selsius, maka bumi ini dipastikan tidak akan bisa lagi ditinggali oleh manusia. Itulah saatnya dunia mengalami kiamat.

Baca juga :   Anies Baswedan, Jawa, dan NU

Beberapa hal yang diprediksi Wallace-Wells adalah panasnya udara yang membuat manusia perlu mendinginkan tubuh, karena ginjal bisa rusak ketika dehidrasi. Penggunaan pendingin udara atau AC tidak bisa dihindari. Saat ini pendingin udara sudah memakan 10% dari penggunaan listrik dunia, dan emisi karbonnya berkontribusi besar terhadap bertambah panasnya udara.

Siklus ini naik setiap tahun dan tidak bisa kita hindari. Bencana besar yang mengancam adalah kelaparan. Padi-padian dan jagung merupakan bahan makanan pokok bagi 2/3 penduduk bumi.

Saat ini suhu udara rata-rata di bumi sudah optimal bagi kehidupan jenis-jenis tanaman tersebut, artinya jika suhu makin memanas maka akan memengaruhi pertumbuhan, mengurangi kandungan gizi, dan menurunkan angka panennya.

Coba kita lihat video mengenai penambangan di Raja Ampat. Bukit-bukit cantik itu dibongkar oleh buldozer menampakkkan lapisan tanah yang berselang-seling. Lapisan itu terbentuk dari fosil-fosil bumi selama ribuan tahun. Bukit itu menjadi penyangga yang menyebabkan lingkungan sehat. Tetapi, manusia yang tamak dan serakah menghancurkan lingkungan yang terbentuk ribuan tahun itu hanya dalam tempo sehari.

Penyelesaian yang ditawarkan pemerintah terasa dangkal dan tidak menyentuh akar masalah. Penghentian penambangan sementara tidak akan bertahan lama. Ketika publik lengah, izin itu akan berjalan lagi dan pengrusakan lingkungan akan berlangsung lagi. (*)

Dhimam Abror Djuraid;
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di Surabaya, Jawa Timur.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *