Balakecrakan: Dedi Mulyadi dan Ujian Kepemimpinan

  • Bagikan
UJIAN PASTI BERLALU: Mempelai Maula Akbar dan Putri Karlina (tengah) diapit Kapolda Metro Jaya Irjen (Pol) Karyoto dan istri (kiri) dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.

HATI Mela Putri, 31 tahun, berbunga-bunga. Dia termasuk barisan pedagang UMKM yang beruntung bisa menggelar jualan di halaman Pendopo Garut yang disemuti massa, Jumat (18/7). Ini rangkaian acara pernikahan Maula Akbar Mulyadi Putra dan Luthfianisa Putri Karlina yang membuhul janji suci dua hari sebelumnya.

Warga berbondong-bondong datang ke lokasi. Maklum, Maula anggota DPRD Jawa Barat dan putra Gubernur Dedi Mulyadi. Sementara Putri adalah Wakil Bupati Garut, anak Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto. Sebuah pernikahan creme de la crème yang sudah lama tak terjadi di masyarakat Sunda. Di atas semua itu, beredar sebuah kabar viral yang melebihi kecepatan kereta Whoosh: ada balakecrakan alias makan gratis!.

Maka sejak Jumat pagi, Pendopo dan Alun-alun Garut digempur pengunjung yang terus datang. Mela tak pun sendiri. Ia ajak anaknya Vania Aprilia (8 tahun) yang segera berbaur dengan anak-anak seumuran di lokasi. Riang, penuh canda, girang tak kepalang. Mela pun sibuk melayani pembeli, mendulang rezeki.

Lalu sekitar pukul 13 terjadilah kekacauan yang mengerikan itu. Lautan massa tak bisa dikendalikan lagi. Saling dorong saat berebut masuk gerbang pendopo, terhuyung, terjatuh, dan terinjak-injak. Akibatnya beberapa orang semaput di tubir maut.

Mela mencari-cari Vania yang entah di mana. Ponselnya berbunyi. Seorang temannya meminta datang ke mobil ambulans terdekat. Di dalamnya, tubuh putri tercinta terbujur pucat. “Saya pegang nadinya sudah dingin,” ujar Mela tercekat. Tangisnya pecah menyayat.

Vania adalah satu dari tiga korban tewas mengenaskan. Dua lainnya adalah Siti Jubaedah (61 tahun) dan Bripka Cecep Saeful Bahri (39 tahun). Ketika pengunjung bertumbangan pingsan, Cecep bersama kawan-kawannya berjibaku mengevakuasi mereka. Malangnya, akibat kelelahan Cecep justru pingsan dan tak pernah lagi siuman. Selain korban tewas, sedikitnya 30 orang menjalani perawatan intensif di sejumlah rumah sakit dan puskesmas.

Maula dan Putri begitu terpukul dengan insiden yang mencabik kebahagiaan mereka sebagai pengantin baru. Putri sampai bersimpuh sujud di depan Mela, meminta maaf, saat datang ke rumah duka. Dedi Mulyadi menyatakan bertanggung jawab. Dia berikan uang duka Rp150 juta kepada setiap keluarga korban. Sedangkan anak-anak Bripka—setelah wafat dinaikkan pangkatnya oleh Kapolri menjadi Aipda Anumerta—Cecep Saeful Bahri akan ditanggung pendidikan mereka oleh Dedi.

Baca juga :   Golkar Harus Tegur atau Pecat Ridwan Kamil

Dari perspektif spiritualisme dan keimanan, semua yang terjadi adalah garis takdir ilahi, jalur nasib yang berjalan atas ketentuan Tuhan. Tak bisa lain. Maka ikhlas adalah obat hati paling mujarab menyembuhkan duka.

Namun dari sisi pengelolaan acara, investigasi menyeluruh harus dilakukan untuk menemukan kondisi saat tak bisa dikontrol lagi dan siapa yang bertanggung jawab atas kekacauan itu. Syahdan menurut kesaksian dari lapangan, sistem buka-tutup gerbang pendopo—itupun saat dibuka tidak penuh melainkan hanya separuh—menjadi faktor pemicu kepanikan dan kesembronoan massa. Sekiranya gerbang pendopo selalu dalam keadaan terbuka setiap saat, maka tak terjadi penumpukan kerumunan. Massa akan mengalir ke beragam arah.

Pola ini pernah dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono saat menggelar pernikahan putri bungsunya Gusti Kanjeng Ratu Bendara pada Oktober 2011. Ketika itu, Jalan Malioboro sepanjang 1,5 km dipenuhi ratusan gerobak angkringan makanan yang dijejali ribuan pengunjung, baik warga lokal maupun turis domestik dan internasional. Dengan tak adanya gerbang, maka massa mengalir lancar tidak terkonsentrasi di satu titik saja.

Maka dalam kasus di Garut, pertanyaannya adalah siapa yang memerintahkan gerbang Pendopo dilakukan buka-tutup yang berujung pada terjadinya kekacauan? Secara struktural, tentu tanggung jawab pada ketua panitia acara, atau dalam peristiwa pernikahan semeriah Maula-Putri, bisa jadi ditangani oleh wedding organizer.

Apakah ketua panitia acara harus menghadapi konsekuensi hukum atas tewasnya tiga orang warga tersebut? Jika melihat pada tragedi “zakat maut” di Pasuruan pada 25 Oktober 2008, ketua panitia acara memang tak bisa lepas tangan. Ketika itu, pembagian zakat tahunan yang sejatinya rutin dilakukan Haji Syaikhon, mendadak kacau balau dan menewaskan 21 orang dari kerumunan.

Baca juga :   Butuh Halauan Negara untuk Wujudkan Indonesia Emas 2045

Akibat insiden ini, ketua panitia pembagian zakat Ahmad Farouk—yang tak lain putra Haji Syaikhon—sampai berurusan dengan meja hijau. Dia didakwa melanggar Pasal 359 (kelalaian yang menyebabkan kematian orang lain) dan Pasal 360 KUHP (kelalaian yang menyebabkan luka berat dan luka ringan pada orang lain). Akibatnya, Farouk dijatuhi hukuman 3 tahun penjara, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang 6 tahun 6 bulan penjara.

Logika jaksa adalah memberikan zakat kepada masyarakat tidak mampu jelas merupakan perbuatan mulia. Namun akibat kecerobohan pengelolaan yang menyebabkan orang lain tewas, jelas butuh tanggung jawab yang tak bisa berlindung di belakang keagungan dan sakralitas aktivitas zakat.

Kembali ke insiden Garut, Dedi Mulyadi sudah menyilakan pihak kepolisian bekerja independen. Termasuk untuk menanyai Maula Putra dan Putri Karlina. Ini sebuah sikap kepemimpinan yang bagus. Kepolisian Jawa Barat tak boleh ragu sedikit pun untuk menyelidiki muasal insiden ini, jangan hanya berhenti sebatas olah TKP sebagai formalitas belaka.

Dalam konstelasi sosiologi dan antropologi sosial masyarakat Indonesia, acara seperti balakecrakan (disebut juga botram) dalam bentuk makan-makan, biasanya diiringi menonton pertunjukan kesenian, memang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi untuk menjadi chaos dalam hitungan sekejap mata.

Herd mentality (mental kerumunan) bisa muncul tak terkendali. Mereka bermetamorfosis menjadi sekumpulan perut yang seakan-akan sudah berpekan-pekan tak disentuh makanan dan minuman. Sebuah perilaku kolektif dan akut yang, sayangnya, tak hanya menjadi perangai masyarakat akar rumput. Juga dari kelas menengah perkotaan.

Tengoklah bagaimana dalam resepsi di hotel mewah dan ballroom megah, kedisiplinan mengantre juga menjadi pemandangan langka. Perilaku menyerobot dan memotong antrean kerap terjadi. Tak jarang dilakukan oleh orang-orang berbusana mentereng bahkan berpenampilan syar’i.

Tradisi tak sabar menunggu giliran juga ditemukan dalam majelis-majelis pengajian–jika sudah melibatkan makanan. Seringkali terjadi rebutan makanan akibat keserakahan dan kerakusan yang memalukan dilihat akal sehat. Singkatnya: ada krisis disiplin yang sangat fundamental perlu dibenahi.

Baca juga :   Muhammadiyah-NU Bersatu di Pilpers 2024?

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu’ti, perlu memprioritaskan agar pendidikan kedisiplinan secara menyeluruh—dimulai dari kesabaran mengantre—harus menjadi salah satu kurikulum utama bagi anak didik PAUD, TK, SD, SMP, dan masing-masing tingkat pendidikan yang sederajat. Jika sudah terbentuk sejak usia muda, maka keteraturan di wilayah publik akan lebih mudah dijaga. Tujuannya, agar Gen Z Indonesia memiliki kedisiplinan lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya—yang, apa boleh buat, memang sudah sulit diperbaiki.

Syukur-syukur jika kedisiplinan Gen Z bisa menyamai kedisiplinan masyarakat Asia Timur, seperti Korea Selatan atau Jepang, yang terkenal masyhur bisa tetap mengontrol diri dan bersikap teratur-terukur di tengah bencana.

Kasus Garut merupakan ujian penting bagi kepemimpinan Dedi Mulyadi, baik sebagai Gubernur Jawa Barat maupun sebagai ayah Maula Akbar, sang empunya hajat. KDM tetap harus memprioritaskan penegakan keadilan jika memang terjadi kesalahan prosedural yang dilakukan panitia dalam menangani membludaknya massa di Pendopo Garut.

Sebab, sebuah nyawa yang hilang bukan di zona ganas perang, adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang tak akan tergantikan oleh berapapun besar uang duka dan jaminan beasiswa.

Sebagai penutup tulisan singkat ini, bagi Maula Akbar dan Putri Karlina, saya ucapkan “barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fi khair (semoga Allah memberkahi dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan)”. Sebuah doa yang diajarkan Nabi Muhammad ﷺ untuk dihadiahkan kepada pengantin baru. Terutama dalam mengarungi samudera kehidupan yang tak pernah mudah, apalagi yang dimulai dengan badai kehidupan seperti itu.

Namun kepastian hukum alam adalah keniscayaan. Tak ada badai yang berlangsung selamanya. Semua badai akan selesai pada waktunya. Betapapun perih dan pedih yang harus dihadapi kedua mempelai saat ini. (*)

Akmal Nasery Basral;
Penulis adalah Sosiolog, penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *