Dendam Jokowi Dihadang Prabowo

  • Bagikan
MANTAN DAN PRESIDEN: Joko Widodo (kiri) dan Prabowo Subianto (kanan).

KETIKA Nelson Mandela menjadi presiden Afrika Selatan, seorang wartawan bertanya: “kenapa Anda tidak penjarakan orang-orang yang dulu telah memenjarakan anda?”. Nelson menjawab: “27 tahun saya menderita di penjara. Saya tidak ingin menambah penderitaan saya dengan memenjarakan mereka (dendam)”.

Kasus Tom Lembong dan Hasto dinilai publik sebagai bentuk balas dendam Jokowi. Tom Lembong adalah eks menteri perdagangan dan orang yang menyiapkan teks pidato presiden Jokowi. Di pilpres 2024, Tom Lembong balik arah dan mendukung Anies Baswedan. Anies adalah “musuh” dan tokoh yang paling “dikuyo-kuyo” dimasa Jokowi berkuasa.

Sementara Hasto, adalah sekjen PDIP yang paling bersemangat menyerang Jokowi. Bahkan, Hasto menyiapkan sejumlah dokumen dan video terkait dosa Jokowi yang jumlahnya bejibun. Meski sampai sekarang tak pernah dia bisa buktikan.

Dalam persidangan terakhir, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara. Vonis ini membuat marah hampir seluruh rakyat Indonesia. Sebab, selain tak terbukti menerima uang, juga tak ditemukan adanya mens rea (niat jahat) untuk korupsi. Tidak terima uang dan tak ada niat jahat, tapi divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara.

Baca juga :   Indonesia di Simpang Jalan

Vonis tersebut melukai perasaan, mengguncang nalar dan menodai rasionalitas publik. Publik marah. Vonis ini semakin menguatkan dugaan adanya faktor non hukum yang ikut menentukan keputusan. Soal intervensi hukum di Indonesia, ini sudah hal biasa. Yang gak biasa itu kalau ada aparat hukum jujur dan elit anti korupsi. Ini baru barang langka.

Presiden Prabowo membaca situasi ini. Dengan sabar dan tekun mengikuti proses persidangan Tom Lembong. Ketika Tom Lembong divonis, tak lama kemudian Presiden Prabowo memberikan “abolisi”. Menghapus semua keputusan hakim terkait vonis terhadap Tom Lembong.

Di waktu yang sama, Presiden Prabowo juga memberikan “amnesti” kepada Hasto Kristiyanto. Amnesti itu pengampunan. Ya, semacam pengampunan dosa. Supaya tidak terlihat vulgar, amnesti untuk Hasto dikeluarkan berbarengan dengan 1 116 terpidana. Silahkan para ahli hukum berdebat soal substansi dari dua kasus yang diberi “abolisi” dan “amnesti” ini. Saya hanya ingin menyoroti dari sisi politik.

Pemberian “abolisi” dan “amnesti” oleh Ptabowo merupakan langkah politik yang cukup cerdas dan taktis. Saat publik sedang masif memberikan empatinya kepada Tom Lembong, Presiden Prabowo hadir. Gelombang empati akhirnya juga mengalir ke Prabowo. “Abolisi” seperti mata air yang muncul di saat rakyat sedang kehausan atas keadilan hukum. Prabowo hadir di saat yang tepat.

Baca juga :   Jejak Intervensi Jokowi, KPK dalam Cengkeraman Presiden (Bagian-2)

Pada saat yang bersamaan, Prabowo juga memberikan “amnesti” kepada Hasto Kristiyanto. Ini langkah politik lainnya. Urusannya bukan kepada publik, karena publik tidak da hubungannya dengan kasus Hasto. Tom Lembong dan Hasto adalah dua kasus yang berbeda.

Jika kasus Tom Lembong berkaitan dengan empati dan simpati publik, sedangkan kasus Hasto berkaitan dengan kebutuhan Prabowo terhadap dukungan dari PDIP. Informasi yang beredar ke publik: PDIP siap bergabung dengan Prabowo dengan dua syarat. Salah satunya: Hasto dibebaskan. Benarkah?

Yang pasti, dengan pemberian “abolisi” kepada Tom Lembong dan “amnesti” kepada Hasto, Prabowo mendapat tiga keuntungan sekaligus. Pertama, Prabowo mendapatkan simpati publik. Publik mengapresiasi langkah Prabowo yang berpihak dengan amat cerdas kepada Tom Lembong.

Kali ini, simpati publik tidak lagi dimonopoli oleh Tom Lembong. Tom Lembong harus berbagi dengan Prabowo. Kedua, “Amnesti” kepada Hasto menjadi ruang baru bagi rekonsiliasi Prabowo dengan Megawati. Ketiga, “abolisi” dan “amnesti” menjadi pukulan telak Prabowo kepada Jokowi. Ini pukulan yang kesekian kali yang dimainkan Prabowo secara softly, sistemik dan konsisten.

Baca juga :   Dua Satu Dua dan Tiga Jihad

“Abolisi” kepada Tom Lembong dan terutama “amnesti” kepada Hasto akan membuka konstalasi baru dalam land scape perpolitikan Indonesia kedepan. Prabowo akan melangkah semakin kuat karena dukungan PDIP, seiring dengan melemahnya pengaruh Jokowi.

Apakah dukungan PDIP kepada Prabowo, jika ini benar-benar terjadi, akan membuat Indonesia lebih stabil? Apakah bergabungnya PDIP ke koalisi Prabowo akan membuat demokrasi kita lebih hidup? Pertanyaan ketiga, dan ini paling substansial: Apakah merapatnya PDIP ke Prabowo akan membuat Indonesia lebih baik?

Tiga pertanyaan ini seiring berjalannya waktu akan terjawab. Butuh beberapa tahun kedepan untuk kita mendapatkan jawabannya. Era balas dendam boleh jadi lambat laun akan menghilang. Apakah era baru akan memberi jaminan? Kita tunggu. (*)

Tony Rosyid;
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *