Jokowi, Antara Luka Hati dan Rasio Politisi

  • Bagikan

OKTOBER 2024, Joko Widodo lengser. Prabowo Subianto menggantikan posisinya sebagai presiden (20/10). Dengan demikian, sudah lebih satu tahun Prabowo mengendalikan pemerintahan.

Meski Jokowi lengser dan Prabowo yang menjadi penguasa, panggung terbelah. Sebagian ke Prabowo, tapi isu tentang Jokowi masih mendapatkan perhatian cukup besar dari publik. Jokowi dicurigai masih mengendalikan kekuasaan.

Masih besarnya perhatian publik kepada Jokowi lantaran tiga hal: pertama, Jokowi membangun kekuasaannya di paroh periode pertama hingga akhir kekuasaannya dengan konflik. Mereka yang merasa terluka dan menjadi korban Jokowi belum legawa kalau Jokowi lengser dengan nyaman.

Kedua, Jokowi masih memiliki skoci politik melalui ahli warisnya: Gibran menjadi wapres, Bobby Nasution menjadi Gubernur Sumut dan Kaesang menjadi ketum PSI.

Ketiga, Jokowi dianggap masih punya kekuatan untuk melakukan intervensi dan mengendalikan Prabowo. Bertahannya Kapolri yang menjabat terlalu lama dengan semua dinamikanya dianggap bagian dari intervensi Jokowi.

Baca juga :   Memaknai 99 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia (Bagian-3)

Meski masih bisa intervensi, secara politik Jokowi tak sekuat seperti saat berkuasa. Semua instrumen negara telah lepas. Kekuatan Jokowi terus tergerus dan menurun. Berpalingnya Projo (Relawan Pro-Jokowi) ke Prabowo menjadi salah satu petunjuk nyata dan mudah disimpulkan bahwa Jokowi telah secara berangsur-angsur ditinggalkan relawannya.

Di tengah semakin menurunnya pengaruh Jokowi, kemarahan sebagian rakyat kepada Jokowi nampak belum surut. Diantara mereka mengejar Jokowi melalui isu “ijazah palsu”. Jokowi terus dipojokkan dengan isu “ijazah palsu” ini. Isu ini berjalan cukup lama. Tak surut hingga memakan waktu bertahun-tahun.

Beberapa hari lalu (7/11/2025), delapan nama terkait isu “ijazah palsu” telah ditersangkakan. Ini artinya isu “ijazah palsu” mulai masuk babak baru dan butuh waktu lama lagi untuk berselancar di ruang publik.

Satu pertanyaan: apakah langkah mentersangkakan delapan tokoh ini merupakan ekspresi luka hati atau bagian dari manuver politik Jokowi?

Baca juga :   Gerakan September, Bagaimana Seharusnya Umat Menyikapi?...

Saat ini, Jokowi punya beban generasi. Ada Gibran, Bobby Nasution dan Kaesang dengan PSI-nya. Ketika Jokowi terus merespon isu “ijazah palsu” dengan mentersangkakan para tokoh, maka panggung Jokowi akan semakin becek.

Ini tentu sangat berpengaruh pada masa depan karir politik Gibran, Bobi Nasution dan PSi. Langkah Jokowi mentersangkakan delapan tokoh yang suaranya nyaring di publik ini, secara politik, merupakan langkah kontra-produktif.

Jika ada yang bilang bahwa “Jokowi juga manusia” punya hati dan perasaan. Ini ok. Nampaknya ada luka di hati Jokowi dengan semua kritik dan hujatan kepadanya soal isu “ijasah palsu”. Ini hal wajar dan normal. Sama juga dengan luka hati mereka yang pernah terpenjara di era Jokowi.

Atau luka hati para orang tua yang anak-anaknya terbunuh di kasus KM 50. Tapi di sisi lain, ekspresi luka hati Jokowi potensial membuat ruang politik bagi Gibran, Bobby Nasution dan Kaesang semakin sempit, bahkan buntu.

Baca juga :   Memutasi Pejabat Sedang Haji. Pantaskah?

Tapi, harus dipahami bahwa Jokowi adalah politisi yang sangat piawai. Manuvernya sangat dan bahkan paling sulit ditebak. Bisa jadi nanti Jokowi akan tunjukkan “ijazah aslinya” jika itu ada, lalu mencabut tuntutannya, dan deklarasi “memaafkan delapan tersangka itu”.

Kalau ini yang dilakukan, maka Jokowi harus diakui bahwa ia adalah begawan politik dan politisi super tulen yang mampu bersikap rasional meski ada luka dalam di hatinya yang terlalu dalam.

Kita tunggu, apakah delapan tersangka akan dimaafkan, lalu Jokowi tampil sebagai manusia bijak? Atau proses hukum akan terus berjalan dan menvonis delapan tokoh itu? Semua pilihan ada konsekuensi politiknya. (*)

Tony Rosyid;
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *