Dampak Tekanan Trump terhadap Prabowo

  • Bagikan

EKONOMI Indonesia berpotensi kian tertekan pada waktu dekat. Pada 12 Desember, Fiansial Times dan Reuters melaporkan, kesepakatan dagang RI-AS yang dicapai pada Juli 2025 terancam batal. Presiden AS Donald Trump frustrasi karena pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dinilai memperlambat dan mengingkari komitmen penurunan bea masuk ekspor Indonesia ke AS.

Sejumlah pihak di AS memperkirakan Indonesia berpotensi dikenai tarif lebih tinggi ketimbang Malaysia, Thailand, dan Kamboja (Kompas, 12 Desember 2025). Pada April silam, Trump mengumumkan Indonesia dikenai bea masuk impor sebesar 32 persen. Setelah perundingan Juli 2025, tarif tersebut turun menjadi 19 persen pasca Indonesia menyetujui penghapusan tarif impor dari AS.

Pemerintahan Prabowo dijadwalkan melakukan pertemuan virtual dengan Utusan Dagang AS pada Kamis malam, 11 Desember 2025, yang membahas lanjutan terkait dinamika kebijakan tarif resiprokal AS yang menimbulkan kewaspadaan di kalangan pelaku industri dalam negeri. Sejumlah asosiasi dan forum bisnis internal menerima informasi mengenai indikasi kesepakatan sulit dipenuhi pemerintah.

Fenomena itu terjadi, karena dunia bisnis dan politik melihat kesepakatan RI-AS terlalu menguntungkan AS dan merugikan Indonesia. Para pengamat menilai kesepakatan itu menggerus kedaulatan negara. Bila nanti renegosiasi gagal mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua pihak, kebijakan tarif AS yang lebih tinggi  daripada 32 persen, maka akan mempengaruhi biaya ekspor, akses pasar, hingga stabilitas perencanaan produksi industri.

Baca juga :   Ijazah Palsu Menang? Jangan Sesumbar...

Trump menganggap Prabowo bandel. Kemarahan Trump mungkin juga dikipasi oleh perasaan bahwa Prabowo lebih dekat ke China dan Rusia ketimbang AS. Padahal, AS adalah pasar ekspor Indonesia yang utama.

Di lain pihak, Prabowo telah mengunjungi Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping masing-masing sebanyak dua kali sejak terpilih menjadi presiden. Sementara, dia belum pernah ketemu Trump kecuali sepintas dalam pertemuan multilateral.

Rusia sedang ditekan AS untuk menerima proposal perdamaian Rusia-Ukraina yang diinisiasinya. Sementara China adalah kompetitor utama AS yang sedang mengancam supremsi AS di tingkat global. Kalau Trump terus menekan Prabowo untuk menerima kesepakatan Juli tanpa perubahan berarti, Prabowo akan dihadapkan pada situasi dilematis.

Situasi ekonomi domestik yang menimbulkan keresahan sosial, utang yang terus membesar, dan musibah banjir bandang di Sumatera yang membutuhkan dana jumbo untuk merehabilitasi lingkungan dan membantu jutaan warga terdampak, akan lebih jauh mengecilkan ruang fiskal. Pada saat bersamaan, berkurangnya anggaran transfer ke daerah secara signifikan mereduksi kemampuan daerah membangun infrastruktur untuk menyerap tenaga kerja.

Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang memindahkan dana BI ke bank-bank Himbara untuk menggerakan mesin ekonomi tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Sebab, pasar tidak kekurangan likuiditas. Harapannya agar dana Himbara mengalir ke kreditor tak mendapat respons. Masalahnya, daya beli masyarakat menurun sehingga pengusaha berpikir seribu kali untuk meminjam uang mengekspansi usaha.

Baca juga :   Yang Menghina Itu Siapa? Rocky Gerung atau Presiden Jokowi?

Koperasi Merah Putih untuk membanjiri likuiditas ke usaha kecil belum terdengar efektivitas. Sementara program Makan Siang Gratis (MBG) masih bermasalah. Kearifan Prabowo menangani bencana Sumatera juga dipertanyakan karena ia menolaknya menetapkan malapetaka itu sebagai bencana nasional. Sikap Prabowo ini dicurigai sebagai cara untuk menghindari konsekuensi hukum, ekonomi, dan politik, karena ada lingkaran dalam istana yang berpotensi terseret.

Dalam situasi ini, patuh pada tekanan Trump untuk menerima kesepakatan Juli akan kian menggerus legitimasi Prabowo. Kalau ia nekad meninggalkan AS dan mendorongnya kian jauh bergantung pada ekonomi China, ini pun bukan pilihan yang bisa diterima publik Indonesia. Juga AS, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan India, mengingat letak geografi Indonesia sangat strategis dalam konteks kebijakan pembendungan mereka terhadap pengaruh China di Indo-Pasifik.

Tapi bukan tidak mungkin Prabowo akan mengambil pilihan ini karena secara geoekonomi dan geopolitik lebih realistis untuk menjaga ekonomi dalam negeri dan stabilitas kawasan. Toh, di tengah gonjang-ganjing ketidakpastian ekonomi dunia, ekonomi China tetap tumbuh fantastis. Untuk pertama kalinya, tahun ini China membukukan surplus perdagangan hingga 1 triliun dollar AS. Dus, kapasitas investasi dan pasar impornya membesar.

Secara militer, baru-baru ini kajian Pentagon menyebutkan, China mampu mengalahkan AS dalam perebutan Taiwan. The Telegraph menyebutkan, rudal-rudal hipersonik China mampu menenggalamkan kapal-kapal perang AS, termasuk kapal induknya, hanya dalam hitungan menit. Isu serupa juga diangkat The New York Times pada 8 dan 9 Desember 2025 melalui artikel bertajuk “Overmatched” dan “This is The Future of War” (Kompas, 13 Desember 2025).

Baca juga :   Ayo Fokus ke Pramuka Gate

Tapi pilihan ini tidak akan berjalan mulus karena oposisi di dalam dan luar negeri sangat besar. Opsi lain bagi Prabowo — tapi berbahaya — adalah membujuk Trump melalui PM Israel Benjamin Netanyahu yang punya jaringan lobi Yahudi yang kuat di AS.

Konsesinya adalah Indonesia tetap mengirim tentara untuk bergabung ke dalam Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) pimpinan Trump di Gaza. Opsi ini berdampak negatif di dalam negeri karena ISF akan bekerja untuk kepentingan Israel. Sementara ISF akan berperang melawan Hamas.

Memang untuk menjaga politik luar negeri yang bebas aktif, ada opsi lain meskipun tidak mudah, yaitu reformasi perizinan investasi asing untuk menghindari ekonomi berbiaya tinggi, konsisten secara keras melenyapkan korupsi, dan mendiversifikasi perdagangan luar negeri. Tapi ini belum cukup.

Prabowo harus meningkatkan legitimasinya dalam negeri dengan membangun kepercayaan publik melalui kebijakan ekonomi, politik, sosial yang masuk akal dan berpihak pada rakyat. Penanganan banjir bandang di Sumatera menjadi ujian berat saat ini. (*)

Smith Alhadar;
Penulis adalah Penasihat Institut for Democracy Education (IDE).

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *