SEJAK dilantik sebagai Presiden, 20 Oktober 2024, saya tak punya ekspektasi tinggi pada Prabowo Subianto. Setelah memimpin lebih dari setahun, ekspektasi saya anjlok ke titik nadir. Ternyata, beliau tidak menjanjikan apapun kepada kita.
Lemahnya leadership, keacakan berpikir, kehadiran deep state yang dikendalikan pihak eksternal, dan konflik kepentingan menyebabkan Prabowo terkurung dalam labirin politik-ekonomi negara tanpa harapan adanya jalan keluar.
Dalam konteks ini, kebijakan-kebijakan nasionalistik-impulsifnya tidak dapat menjawab realitas politik-ekonomi internal yang berkelindan dengan dinamika geopolitik dan geoekonomi global yang unpredictable.
Bencana banjir bandang di Sumatera, yang menghempaskan masa depan jutaan orang di kawasan itu dan melukai hati seluruh anak bangsa, mestinya menjadi peluang bagi Prabowo untuk membuktikan kecintaannya pada Indonesia.
Yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah lamban dan setengah hati dalam meresponsnya. Bahkan terkesan pemerintah meremehkan bencana itu. Kepala Badan Nasiopnal Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto menyatakan netizen membesar-besarkan skala kerusakannya.
Pernyataan Suharyanto menggambarkan ketidakpekaannya terhadap penderitaan rakyat meskipun ia akhirnya minta maaf. Lalu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berbohong bahwa listrik telah pulih di daerah terdampak. Padahal, hingga 3 minggu setelah bencana, sebagian besar korban masih hidup dalam gelap.
Kendati telah dibentuk BNPB pasca tsunami Aceh 2004, kesiagaan pemerintah terhadap potensi bencana yang telah diperingati BMKG sejak dini nyaris nihil. Tidak ada peralatan yang bisa digunakan untuk membuka akses ke daerah-daerah terisolasi.
Bantuan sosial pun belum menjangkau seluruh korban. Klaim pemerintah bahwa ratusan jembatan yang ambruk akan dibangun kembali satu jembatan dalam tiap minggu hanya omon-omon. Mestinya pemerintah menyadari bahwa rakyat tak dapat dibujuk dengan logika akrobatik.
Yang mengherankan Prabowo menolak menetapkan bencana yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh sebagai bencana nasional. Terkesan angkuh, Presiden mengatakan kita mampu mengatasinya sendirian.
Apakah ini bentuk nasionalisme picik atau hanya gimik? Status bencana nasional akan membuka pintu bagi masuknya bantuan internasional, sehingga memudahkan penanganannya dan menjaga ruang fiskal tak kian menyusut. Kita harus cerdas mengakui bahwa pemerintah tak punya kapasitas untuk itu.
Desakan agar pemerintah tak malu meminta bantuan internasional menjadi masuk akal mengingat, berlawanan dengan pernyataan Prabowo, pemerintah tak punya duit. Sementara APBD sangat terbatas setelah disunat pemerintah pusat dengan alasan efisiensi. Padahal, transfer ke daerah dipakai untuk program Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Merah Putih yang tidak meningkatkan kinerja ekonomi.
Maka muncul spekulasi yang masuk akal bahwa, pertama, masuknya LSM mancanegara ke daerah bencana akan mengungkap kehancuran mengerikan ekologi Sumatera, terutama Bukit Barisan yang diperkosa tanpa belas kasihan.
Fakta ini akan mempermalukan kita sebagai bangsa. Kita dungu kalaupun pemerkosaan hutan dianggap dilakukan tanpa sengaja. Toh, sejak tsunami Aceh mestinya kita sudah belajar banyak tentang lingkungan hidup.
Kedua, LSM mancanegara akan mengetahui secara rinci siapa saja pemain tambang, kayu gelondongan, kelapa sawit, dan hutan pinus, yang membinasakan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Pemainnya bukan hanya oligarki yang bersekongkol dengan pejabat untuk memfasilitasi eksploitasi hutan tanpa ampun. Bahkan, berbagai sumber menyebut Prabowo dan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) termasuk pemainnya.
Ketiga, terungkapnya para pemain akan menjadi preseden bagi investigasi lebih lanjut terhadap eksploitasi hutan di Kalimantan, Papua, Halmahera, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara untuk industri ekstraktif.
Dari sini akan terbongkar lebih banyak skala kerusakan hutan kita dan para pemainnya yang berpotensi menimbulkan instabilitas negara dan mendelegitimasi pemerintahan Prabowo. Ini yang menyebabkan kejahatan disembunyikan.
Tapi masalah pemerintahan Prabowo tak sampai di situ. Sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo kedaulatan RI telah tergadaikan ke China dan Prabowo nampaknya tak berniat mengoreksinya.
Beberapa waktu lalu, Menhan Sjafrie Sjamsoeddin, setelah mengunjungi PT IMIP, perusahaan tambang nikel yang didominasi modal China di Morowali, Sulawesi Tengah, menyatakan ada bandara di sana tanpa kehadiran pemerintah.
Bandara yang sulit dimasuki ini ditengarai tempat menyelundupkan ribuan tenaga kerja asal China. Berita ini tidak ditindaklanjuti karena, menurut Said Didu, dalam percakapan telepon dengan Sjafrie, Prabowo meminta agar ia tak “ngegas” kalau terkait dengan China.
Dalam kasus ini, LBP orang yang paling bertanggung jawab. Maka ketika Sjafrie menyatakan bandara itu seperti negara dalam negara, secara lucu LBP menyatakan ia telah menelepon Presiden Xi Jinping meminta konfirmasi tentang anggapan Sjafrie. Tentu saja Jinping menolak tuduhan itu.
Isu kedaulatan ini kembali disorot setelah muncul berita memalukan bahwa lima anggota TNI lari pontang-panting dikejar 15 warga negara China dengan senjata tajam di tangan di lingkungan tambang emas di Ketapang, Kalimantan Barat.
Karena sulit dipercaya anggota TNI takut menghadapi tenaga kerja China, maka percakapan telepon Sjafrie-Prabowo terkait China terkonfirmasi dalam peristiwa ini. Ketergantungan kita yang tidak proporsional pada ekonomi China membuat nasionalisme Prabowo terkubur.
Aksi-aksi Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang melawan keputusan Mahkamah Konstitusi terkait peran polisi aktif di 17 jabatan sipil tanpa reaksi dari Presiden membingungkan kita. Siapa sebenarnya presiden kita?
Keputusan MK bersifat final. Tak ada institusi manapun yang bisa membatalkannya. Tapi Sigit bisa. Sigit adalah bagian dari Geng Solo yang berperan menentukan bagi kemenangan Prabowo dalam pilpres. Sigit tak hanya membangkang terhadap MK, tapi juga melawan Komite Percepatan Reformasi Polri yang dibentuk Prabowo, atasan Sigit.
Masih banyak anggota Geng Solo di pemerintahan Prabowo yang, bersama kaum oligark, melahirkan deep state. Dan, pernyataan Prabowo bahwa ia tidak dikendalikan Joko Widodo diragukan kebenarannya. Bahkan, komitmennya memberantas korupsi tak dapat dipercaya sepanjang menteri-menteri dan pejabat era Jokowi yang diduga koruptor masih bercokol di pemerintahannya.
Ruang gerak Prabowo terbatas karena ia juga dikangkangi oligarki yang menggurita di semua lini pemerintahan. Bahkan DPR pun tunduk kepada mereka. Kita tidak mendengar empati dan kritik DPR terhadap bencana Sumatera dan kasus bandara rahasia di Morowali serta arogansi buruh China di Ketapang.
Dalam hal ekonomi negara, kita membaca fakta-fakta yang mengkhawatirkan. Pertama, kemungkinan renegosiasi tarif resiprokal dengan AS berpotensi tak mencapai hasil yang diharapkan. Kalau demikian, sektor industri kita akan terpukul, rupiah semakin melemah, penerimaan pajak berkurang, dan pengangguran naik.
Karena penerima negara dari pajak tinggal 8,6 persen, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berencana menaikkan pajak pada perusahaan yang sedang menikmati keuntungan. Ini menunjukkan pemerintah sedang bokek, yang mempersempit ruang fiskal yang berperan menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Pungutan pajak mendahului tenggatnya demi kebutuhan darurat pemerintah akan melemahkan kapasitas perusahaan, menghambat penyerapan tenaga kerja, dan, secara paradoks, semkain memperkecil penerimaan dari pajak. Purbaya lebih sering beretorika ketimbang mengatasi masalah ekonomi yang berat.
Ah, sudahlah. Percuma kita berharap pada rezim bebek lumpuh. Tiap hari kita berharap, tiap hari juga kita kecewa. Tiap hari Prabowo mencoba meyakinkan kita bahwa pemerintah banyak duit, Indonesia kuat, pertumbuhan ekonomi akan mencapai 8%, dan kita akan menjadi negara maju, hanya meneguhkan keyakinan kita bahwa ini pemerintahan omon-omon. Semuanya jauh panggang dari api.
Yang saya khawatirkan, keresahan sosial yang diabaikan pemerintah akan menjadi bom waktu. Akumulasi masalah petaka Sumatera, kedaulatan tergadaikan, kekeringan anggaran, tekanan AS, manuver Geng Solo, pembangkangan Gubernur Aceh terhadap kebijakan pemerintah menolak bantuan asing, dan kecerobohan Cina dalam menilai Indonesia, dapat melahirkan fenomena Nepal. (*)
Smith Alhadar;
Penulis adalah Penasihat Institut for Democracy Education (IDE).


