Tak Hanya Pilpres, Pileg dan Pilkada, di Amerika Serikat, Pemilu Jadi Ajang Minta Izin

  • Bagikan

DEMOKRASI itu tidak cukup hanya dengan memahami makna demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tetapi dalam pelaksanaannya, justru dikuasai oleh partai politik (parpol), sehingga daulat partai lebih tinggi dari daulat rakyat.

Demo-Krasi berubah menjadi Partai-Krasi

Demokrasi itu tidak cukup dengan isi Konstitusi UUD yang menyebutkan bahwa “kedaulatan tertinggi” ada di tangan rakyat. Tetapi praktiknya, anggota DPR merupakan kader partai politik hanya membuat UU yang merugikan rakyat dan mengkudeta kedaulatan tertinggi rakyat, seperti membuat UU MD3 dengan memberikan hak recall atau hak pergantian antar waktu (PAW) kepada partai politik.

Sistem tersebut membuat semua anggota DPR-RI tidak bisa bekerja secara mandiri dan independent mewakili kepentingan rakyat, takut melawan keinginan petinggi partai politik karena khawatir diroling oleh ketua partai atau lebih buruk kena PAW.

Padahal, hak recall atau hak pergantian antar waktu (PAW) adalah bagian dari kedaulatan tertinggi rakyat. Demokrasi tidak cukup dengan menjalankan free and fair election, seperti pilpres, pileg dan pilkada, tetapi rakyat tidak diikutsertakan dalam decision making process in the government affairs.

Rakyat hanya sebagai penonton dan kambing hitam demokrasi lontong-sayur, dimana setiap muncul gelaran pemilu, rakyat disuguhi dengan envelope serangan fajar yang berisi uang recehan, untuk membeli lontong-sayur setelah selesai nyoblos.

Itulah demokrasi lontong-sayur di Indonesia!!! Tidak ada fungsi, role dan keikutsertaan rakyat didalam decision making process in the government affairs. Sehingga, yang namanya kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu hanya lips service alias pepesan kosong.

Tidak tampak dan tidak terefleksi di dalam pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten/kota ataupun di parlemen. Rakyat hanya dikibuli, hanya sebagai budak-budak dan babu-babu pemerintah pusat, khususnya pejabat publik di tingkat Kementerian dan BUMN.

Baca juga :   Menyorot Kelemahan Barang Bukti Kasus Teddy Minahasa

Beda dengan demokrasi di Amerika Serikat (USA)

Di Amerika Serikat (USA), ada sistem atau mekanisme pemilu yang disebut ballot initiative atau “ballot proposition” atau “ballot measure”. Model tersebut dipakai rakyat Amerika Serikat untuk menentukan masalah penting yang akan memiliki dampak langsung terhadap quality of life (kualitas hidup) rakyat Amerika Serikat lewat pemilu. Kalau di Indonesia, barangkali mirip seperti referendum, tetapi bukan untuk memisahkan diri dari (NKRI) atau Federal government dan menjadi negara independen.

Misalnya, ketika negara bagian (state) mau melakukan recall (pemecatan)  terhadap pejabat publik karena goblok, tidak becus, atau melakukan tindakan kriminal dan treason, atau pemerintah mau menaikan pajak, seperti pajak properti, atau pajak penjualan (sales tax), atau mau mengumpulkan dana pembangunan atau expenses lainnya dengan menjual utang berupa public bonds.

Maka pemerintah negara bagian (state) harus meminta izin dulu kepada rakyat negara bagian setempat lewat mekanisme pemilu yang disebut special election atau digabung saat ada general election, yang disebut “ballot initiative”, atau “ballot proposition” atau “ballot measure”. Jadi, di Amerika Serikat (USA), pemilu itu bukan hanya untuk pilpres, pileg dan pilkada.

Pemilu di Amerika Serikat juga dipakai oleh pemerintah untuk meminta izin kepada rakyat Amerika Serikat, karena ingin mengeluarkan kebijakan yang akan memiliki dampak langsung terhadap quality of life (kualitas hidup) rakyat Amerika Serikat (USA). Itulah makna dari prinsip demokrasi nomer#1, sovereignty of the people (kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat). Artinya, jika negara ingin mengeluarkan kebijakan publik, pemerintah Amerika Serikat masih minta “izin” kepada rakyatnya.

Baca juga :   Stop Dinasti Jokowi, Pilih Edy Rahmayadi

Sebab, semua pejabat pemerintah di Amerika Serikat sadar bahwa kedaulatan tertinggi itu ada di tangan rakyat Amerika, bukan di tangan U.S. Congress atau di tangan Presiden. Itulah prinsip demokrasi nomer #2, government based upon the consent of the governed….!!! (pemerintahan dijalankan atas persetujuan yang dipimpin, dalam hal ini adalah rakyat).

Jadi, sekali lagi, dalam isu yang sangat penting dan kritikal, pemerintah Amerika Serikat masih minta “persetujuan” dari rakyat Amerika lewat ballot initiative atau ballot proposition atau ballot measure…!!!

Bagaimana dengan Indonesia?

Ballot initiative, atau ballot proposition atau ballot measure itu hal-hal memang belum umum dan belum diketahui oleh publik di tanah air, di Indonesia, apalagi dipraktikkan. Yang dikenal di Indonesia itu, one man–one vote itu, artinya satu hidung punya satu suara, sehingga 1 suara seorang profesor kalah dengan 10 suara gelandangan. Padahal, pengertian one man-one vote di Amerika Serikat tidak begitu. Satu suara seorang Senator di Amerika, bisa memiliki, membawa, dan mewakili 40 juta suara rakyat negara bagian (state).

Kalau ada bill (RUU) yang lolos dari U.S. Congress dan dianggap merugikan rakyat banyak atau merugikan daerah, seperti UU Omnibulshit, tentu akan banyak orang yang melakukan judicial review (JR) di U.S Supreme Court.

Tetapi, sebelum keluar bill (RUU) yang ngaco, maka dibuatlah mekanisme Filibuster di U.S Senate, agar tidak muncul tyranny majority (tirani mayoritas), dan seorang senator bisa menghentikan seluruh senate untuk tidak ambil voting. Jadi, tidak benar bila 1 suara profesor kalah dengan 10 suara gelandangan. Itu tidak berlaku di U.S. Senate. Hebat kan demokrasi di USA?

Baca juga :   Hilirisasi Nikel ala Jokowi Rugikan Keuangan Negara

Coba lihat demokrasi lontong-sayur di Indonesia. Jangankan mekanisme Filibuster, conflict of interest saja tidak peduli. Hakim MK ikut bermain politik dan tidak bisa menjaga marwah Konstitusi UUD 1945.

Sudah jelas ada UU yang bersifat sangat diskriminatif seperti pasal 222, UU Nomor 7 tahun 2017 yang dikenal dengan Presidential threshold 20 persen saja, hakim MK malah membela mati-matian dengan menolak semua judicial review (JR) dengan alasan legal standing yang dibuat-buat.

Belum lagi ketua hakim MK menjadi ipar presiden dan masih menjadi hakim MK. Seperti tidak peduli dengan conflict of interest. Lantas Mendagri menunjuk (appointed) kepala daerah dengan atoritas penuh selama 2,5 tahun. Mulai kapan demokrasi menjamin sistem appointment dan tidak lagi sistem election? Kemudian ada anggota kabinet yang sudah punya perusahaan seabrek, tetapi malah diberi jabatan sebagai menteri yang mengurusi investasi dan BUMN.

Itu jelas conflict of interest!!! Presiden dan menteri kabinetnya sama-sama “koclik”,  berpura-pura tidak ada conflict of interest. Masih menjabat sebagai menteri kabinet aktif, tetapi sibuk melakukan kampanye terselubung, seperti menteri BUMN sekarang. Itu bukan hanya conflict of interest, tetapi sudah menyalahi aturan sebagai pejabat publik aktif dan melanggar aturan.

Semua pejabat publik yang makan gaji bulanan dari uang rakyat, melanggar hukum dan melakukan kampanye terselubung dengan mengunakan fasilitas negara, harus dikenai sanksi hukum dan dipecat dari jabatan publik karena jelas telah melakukan abuse of power dan komersialisasi jabatan. (*)

Chris Komari;
Penulis adalah Activist Democracy Forum Tanah Air (FTA), sekarang tinggal di Kota Bay Point, Contra Costa County, California, USA

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *