KETIKA hujan turun di Sumatera pekan ini, ia tidak datang sebagai rahmat, melainkan sebagai teguran yang pahit. Langit seperti kehilangan kesabaran, dan bumi yang sejak lama kita paksa menahan derita, akhirnya merelakan dirinya pecah di hadapan kita.
Banjir menyapu kampung-kampung yang polos. Longsor menggulung tanah yang tak pernah meminta apa pun selain diperlakukan dengan hormat. Kita, manusia memang pongah, mengira musibah ini hanyalah urusan cuaca. Padahal air bah itu jatuh dengan sejarah yang kita ciptakan sendiri.
Sumatera hari ini adalah tubuh besar yang memar oleh ulah anak-anaknya. Setiap lumpur yang menelan rumah adalah dakwaan. Alam sebenarnya bukan pendendam; ia hanya sedang mengembalikan keseimbangan yang kita goyangkan dengan ketololan kolektif. Kita fasih menyalahkan nasib, tetapi gagap mengakui jejak tangan kita sendiri pada setiap tragedi.
Tidak ada bencana yang lahir mendadak. Setiap banjir besar, setiap longsor, setiap sungai yang meluap adalah bab dari kisah panjang pengkhianatan manusia terhadap tanahnya sendiri. Di ruangan ber-AC, izin-izin penebangan ditandatangani dengan ringan. Sementara itu, jauh di pedalaman, gergaji mesin merayakan pesta pembantaian yang tidak pernah ditunda. Inilah panen dari benih keserakahan yang ditanam bertahun-tahun.
Pada 2013, Harrison Ford datang ke Indonesia sebagai bagian dari dokumenter Years of Living Dangerously. Ia memarahi pejabat republik ini–Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan– karena deforestasi brutal yang merobek Sumatera.
Seorang aktor Hollywood, yang tidak memiliki tanah di sini, bisa lebih marah ketimbang mereka yang memegang mandat untuk menjaganya. Tetapi setelah sorotan kamera padam, negeri ini kembali tuli.
Penebangan berlanjut.
Pembakaran lahan terus terjadi. Sawit monokultur menelan ratusan ribu hektar hutan, menggantikan rimba raya dengan barisan pohon yang hanya menghijau di mata korporasi, bukan di mata alam.
Akibatnya, Sumatera kehilangan akarnya. Bukan dalam makna metaforis, melainkan harfiah. Akar-akar raksasa yang dulu memeluk tanah telah digantikan tunggul mati. Tanah tanpa akar bagai tubuh tanpa tulang. Longsor pun bukan bencana alam; ia lebih pada jeritan bumi yang kehilangan pegangan. Banjir pun bukan semata luapan air; ia adalah air yang kehilangan rumah untuk meresap karena serapannya telah dicabut oleh manusia.
Namun keserakahan selalu menemukan cara untuk memoles dirinya menjadi kebijakan pembangunan. Pejabat berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, investasi strategis. Padahal yang sedang dibangun bukan masa depan, tetapi reruntuhan masa depan.
Negara bangga dengan grafik ekonomi yang naik, tetapi menutup mata pada bukit-bukit yang runtuh bersamanya. Cuaca jadi korban untuk disalahkan. Bukan izin; selalu hujan. Bukan penebang; selalu alam, dan juga bukan para perusaknya.
Di sebuah kampung kecil di Sumatera Barat, seorang ibu memegang baju anaknya yang tinggal separuh karena seret arus. “Kami tak pernah menebang hutan,” katanya. “Tapi air datang seperti ingin menghapus kami.”
Petani yang menjaga tanah dengan kesetiaan yang hampir religius justru menjadi korban pertama ketika tanah itu ambruk. Ironi pahit negeri ini di mana yang menebang tidak tenggelam; yang memberi izin tidak kehilangan rumah; yang merusak tidak pernah berdiri di depan kuburan korban.
Dan manusia bukan satu-satunya korban. Ketika hutan ditebang, seluruh peradaban non-manusia ikut tercerabut. Harimau Sumatera kehilangan jelajahnya, orangutan kehilangan rimbanya, burung kehilangan langitnya. Dan gajah Sumatera—penjaga lanskap, arsitek ekosistem, makhluk yang kelembutannya tak sebanding dengan tubuhnya—terusir dari rumahnya.
Mereka turun ke kampung bukan karena buas, tetapi karena lapar. Mereka merusak ladang bukan karena ganas, melainkan karena habitat mereka dilenyapkan. Namun media menulis: “Gajah menyerang permukiman,” seolah manusia tidak lebih dulu menyerang hutan dengan alat berat dan kepongahan.
Tambang ikut menyumbang luka besar pada tubuh Sumatera. Bukit-bukit dikuliti, sungai dialihkan, lubang-lubang raksasa dibiarkan menjadi kolam maut. Ketika musim hujan tiba, tanah rapuh berubah menjadi longsor, air yang tak lagi mengenali alurnya berubah menjadi banjir bandang. Para pelaku tambang cepat menghilang ketika bencana terjadi.
Negara pun mudah cuci tangan, menyebut tambang sebagai “investasi strategis”, seolah label itu cukup untuk menutupi luka-luka ekologis yang dibuatnya. Alam tidak memiliki perangkat hukum. Alam memiliki satu hukum; keseimbangan. Ketika manusia merusaknya, alam menegakkannya kembali.
Bukan sebagai balasan, tetapi sebagai konsekuensi. Banjir, longsor, kekeringan, badai—semuanya bukan hukuman, melainkan penyesuaian. Air menumpahkan keluhannya.
Tanah merayakan protesnya. Sungai menyampaikan murkanya.
Dan kini pertanyaannya sederhana, apa yang kita wariskan kepada generasi berikut? Sungai yang pemarah? Gunung yang ompong? Tanah yang kehilangan daya serapnya? Kolam-kolam bekas tambang yang menunggu korban? Hutan yang hanya ada dalam buku pelajaran?
Anak cucu kita tidak hanya mewarisi utang negara, tetapi utang ekologis. Dan utang ekologis tidak bisa dicicil. Ia ditagih sekaligus dalam bentuk bencana. Kita berdoa agar dijauhkan dari bencana, namun terus mendekatkan diri pada sumbernya. Kita meminta perlindungan, namun tak pernah melindungi alam. Kita meminta keselamatan, namun membiarkan tambang merobek tulang bumi.
Mungkin yang hilang bukan hanya hutan, melainkan rasa malu kita. Sebab tragedi ini bukan kutukan. Bukan takdir. Bukan semata hujan. Ini adalah peringatan terakhir dari bumi yang hampir menyerah pada manusia yang zalim, dan yang terlalu lama menganggap dirinya pusat segalanya.
Dan bila kita tetap tak belajar, suatu hari nanti bukan hanya rumah yang hanyut–tetapi juga nama kita dalam sejarah peradaban. (*)
Ady Amar;
Penulis adalah Kolumnis, tinggal di Surabaya, Jawa Timur.



