HARI-hari ini polemik di masyarakat tentang pencawapresan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Jokowi, masih panas. Sepanas udara siang hari saat ini. Banyak warga menduga, pencawapresan Gibran itu bagian dari ambisi Pakde Jokowi untuk membangun politik dinasti. Padahal, Gibran baru berusia 36 tahun. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu, usia capres dan/atau cawapres paling rendah 40 tahun. Gibran lahir pada 1 Oktober 1987 dan dilantik menjadi Walikota Solo pada 26 Februari 2021. Dia cawapres imut-imut.
Untuk menyulap agar Gibran memenuhi syarat menjadi cawapres, Mahkamah Konstitusi (MK) bikin putusan. Masih gres. Intinya, meski usia seseorang belum genap 40 tahun, dia berhak menjadi capres/cawapres. Asal, yang bersangkutan sedang atau pernah menjadi pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum. Termasuk, kepala daerah.
Putusan MK yang diketuai Anwar Usman itu menimbulkan pro-kontra. Apalagi, Anwar Usman adalah adik ipar Pakde Jokowi. Yang berarti, dia pamannya Mas Gibran. Tuduhan adanya kolusi dan nepotisme dalam putusan itu tidak dapat dihindarkan.
Sejauh ini, publik tidak banyak mendengar pernyataan Pakde Jokowi terkait putusan MK tersebut. Juga, tidak banyak komentar tentang pencawapresan Gibran yang akan mendamingi Capres Prabowo Subianto itu.
Diamnya Pakde Jokowi dapat diartikan bermacam-macam oleh warga. Ada yang mengartikan bahwa Pakde Jokowi tidak suka pada putusan MK tersebut. Juga dapat diartikan Pakde Jokowi tidak mau ikut cawe-cawe soal pencawapresn Gibran, dan sebagainya. Dia piih diam. Kata orang bijak, diam adalah emas.
Tetapi, banyak juga warga yang mengartikan sebaliknya. Menurut mereka ini, diamnya Pakde Jokowi terhadap putusan MK berarti beliau senang dan setuju. Mereka juga menganggap Pakde Jokowi gembira jika anaknya akhirnya lolos menjadi cawapres. Pakde Jokowi akan bangga jika anak sulungnya yang baru 36 tahun itu menjadi cawapres. Bandingkan dengan para mantan presiden di negeri ini. Mereka belum ada yang mampu menjadikan anaknya sebagai cawapres. Putra Pak SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga gagal menjadi cawapres dalam Pemilu 2024 ini.
Dari sikap Pakde Jokowi yang lebih banyak diam itu, banyak warga menduga beliau sedang aji mumpung. Mumpung masih berkuasa, dia merasa berhak melakukan apa saja yang dia suka. Aji mumpung adalah memanfaatkan situasi dan kondisi untuk kepentingan diri sendiri selagi memegang jabatan yang memungkinkan adanya peluang untuk hal itu. Bisa untuk kepentingan pribadi, atau untuk kepentingan umum. Bisa untuk hal yang positif ataupun negatif.
Banyak warga menduga, Pakde Jokowi aji mumpung. Mumpung masih berkuasa penuh, dia bisa melakukan apa saja demi memenuhi ambisi pribadinya. Atau keluarganya. Pakde Jokowi yakin, menteri-menteri dari partai koalisinya tidak akan berani berbeda pendapat. Mereka takut kehilangan jabatan.
Pakde Jokowi yakin, para wakil rakyat di Senayan juga tidak akan berani berteriak menentangnya. Jangankan menentang. Mengingatkan saja mereka juga tidak puya nyali. Umumnya mereka hanya asyik menikmati kursinya. Wakil rakyat dari partai koalisi pemerintah tentu takut akan disemprit oleh pimpinan partainya jika mereka bersuara sedikit beda.
Warga menduga, Pakde Jokowi menganggap saat ini adalah kesempatan emas baginya untuk membangun dinasti politiknya. Apalagi, ketua MK adalah ada adik iparnya sendiri. Pakde Jokowi yakin bahwa sang adik ipar akan mendukung keinginan kakak iparnya.
Seumpama Jokowi tidak merestui Gibran menjadi cawapres, tentu tidak sulit bagi Jokowi untuk melarangnya. Sebagai orang tua, wajar jika ikut cawe-cawe jika anaknya dianggap melakukan hal yang kurang patut. Beliau bisa ngomong: ‘’Aja Le, awakmu masih muda. Selesaikan saja dulu sebagai walikota Solo’’. Saya yakin, seandainya Jokowi gelem cawe-cawe seperti itu, Mas Gibran akan patuh. Tapi itu tidak dilakukan Jokowi. Karena itu, Jokowi layak kita anggap merestui anaknya yang dulu diperjuangkan mati-matian oleh PDI Perjuangan untuk walikota Solo itu.
Seumpama Jokowi tidak menyukai putusan MK, dia tentu bisa pesan kepada adik iparnya yang ketua MK itu. Ya secara kekeluargaan. Sebagai kakak ipar kepada adik ipar. Tidak sebagai presiden kepada ketua MK. Misal, Pakde Jokowi pesan: ‘’Tolong Dik jangan bikin putusan yang menguntungkan Gibran lho. Nanti nggarai rame.’’
Saya yakin, seandainya Jokowi menyampaikan pesan seperti itu di awal-awal persidangan MK, ketua MK —yang kini diplesetkan sebagai Mahkamah Keluarga, akan mematuhinya. Tetapi, nyatanya, Jokowi kelihatan happy-happy saja terhadap adanya putusan MK tersebut.
Menurut saya, boleh saja pejabat atau politisi berkeinginan anak-anaknya juga sukses mengikuti jejaknya. Boleh saja Megawati Soekarnoputri menggadang-gadang putrinya, Mbak Puan Maharani menjadi tokoh politik seperti mamanya. Menjadi capres ataupun cawapres pada suatu hari nanti.
Boleh saja, Pak SBY sangat ingin putranya mengikuti jejak sang bapak. Dikader menjadi ketua umum partai. Atau, suatu saat nanti menjadi capres ataupun cawapres. Untuk sekarang sabar dulu. Antri dulu. Begitu pula Pakde Jokowi juga sah-sah saja berambisi membangun dinasti politik bagi anak-anaknya. Gibran sudah menjadi walikota Solo. Kini menjadi cawapres. Menantunya: Muhammad Bobby Nasution menjadi walikota Medan. Putra Jokowi yang lain: Kaesang Pangarep kini menjadi ketua umum sebuah partai politik.
Semua itu boleh saja. Tetapi, hendaknya dilakukan melalui proses yang konstitusional. Bahkan, tidak cukup hanya semata konstitusional. Tetapi juga mematuhi asas kepatutan dan kepantasan. Karena, jaman now, di negeri mayakonda, legalitas konon dapat dibeli dengan mudah. Sing penting cocok regane… (*)
Mundzar Fahman;
Penulis adalah Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (Unugiri) Bojonegoro, Jawa Timur.