Anies Baswedan, Pro Poor Growth dan Membangun Tanpa Menggusur

  • Bagikan

SITUASI Pulau Rempang mencekam dan penuh kekerasan sejak Kamis (7/9) lalu. Aparat gabungan diterjunkan untuk mengawal aktivitas pengosongan lahan yang dihuni 10.000 penduduk lebih, yang sudah hidup sejak zaman Belanda di sana. Berbagai kekerasan itu, antara lain adalah banyaknya warga dan bayi kena gas air mata, pemukulan fisik dan diantaranya harus dilarikan ke rumah sakit untuk perawatan.

NU Online dalam berita “Duduk Perkara PSN Pulau Rempang yang Picu Bentrok Aparat dan Warga”, Sabtu (9/9), menyebutkan bahwa pemerintah mendapatkan arahan implementasi dari investasi pembangunan pabrik kaca asal Chengdu China, dalam dua bulan, sejak Juli lalu. Bahlil, menteri investasi, yang ditugaskan untuk merealisasikan pembangunan ini mengatakan bahwa, pembangunan ini akan menciptakan lapangan kerja yang besar serta pertumbuhan ekonomi wilayah yang tinggi pula.

Namun, tempo online, dalam “”Lembaga Adat Melayu Sebut Warga Rempang Merupakan Suku Melayu Pertama di Batam”, Sabtu (9/9), mengatakan bahwa masyarakat di sana tidak mau digusur, karena terdapat ikatan batin antara mereka dan lahan. Mereka ingin, jika ada pembangunan, mereka dilibatkan sebagai stakeholder, bukan sekedar objek pembangunan.

Pemerintah pusat, dalam hal ini Mahfud MD, dalam pernyataannya terkait hak atas lahan dan pengosongan lahan mengatakan bahwa tidak ada penggusuran terhadap rakyat. Asumsi Mahfud adalah tanah itu milik negara yang sudah diserahkan kepada satu entitas usaha pada tahun 2001 dulu. Kesalahan, menurut Mahfud, terjadi karena Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KKLH) memberikan hak kepada entitas lainnya ketika pemilik hak pertama tidak mengolah lahan tersebut. Sehingga, ketika ada rencana program strategis pemerintah (PSN) di Rempang, pemilik hak awal, Tommy Winata, kembali mengklaim tanah tersebut, dan harus dikosongkan. Hal ini berbeda dengan klaim masyarakat Melayu di sana, yang mengatakan bahwa kepemilikan tanah di sana sudah terjadi sejak zaman Belanda. Dan masyarakat ini menjadi penjaga pulau terluar negara Indonesia, berhadapan dengan Singapura dan Malaysia.

Baca juga :   Duit Rp 2,156 Triliun Milik Orang Indonesia Diparkir di Singapura

Negara tidak bisa mengklaim begitu saja hak atas tanah bangsa ini, kemudian memberikan pada satu orang tanah seluas 17.000 Ha. Ini adalah pola masa lalu, di mana pembangunan bersandar pada segelintir elit dan mengabaikan rakyat sebagai stake holder. Apalagi jika nantinya banyak pekerja yang dibutuhkan didatangkan dari China, sebagaimana sudah terjadi di daerah Morowali, Halmahera, dan daerah lainnya.

Ketimbang Mahfud mengkambing hitamkan KKLH, justru dia seharusnya mengevaluasi kepemilikan HGU oleh sebuah entitas perusahaan yang dimaksud, kenapa selama 19 tahun tidak ada penggarapan atas tanah tersebut? Benarkah ada kerugian negara atas kerja sama entitas pengusaha itu dengan pemerintah setempat, seperti yang diributkan masyarakat pada tahun 2008 dulu. Bagaimana membangun Rempang atau Batam tetap pada cita cita awal yakni High-Tech Industry dan Parawisata?

Kebijakan Pro Poor Growth

Berbagai kekerasan dan penggusuran di era Rezim Jokowi sudah sangat biasa. Penggusuran terjadi di Jakarta, di Wadas Jateng, di daerah-daerah tambang nikel, dll. Pola ini umumnya melihat bahwa pembangunan ekonomi adalah segala-galanya. Dalam kerangka ini, rakyat hanya dianggap objek pembangunan. Sebagai objek, rakyat dapat senantiasa digusur atau dikorbankan demi atau atas nama pembangunan itu.

Disamping penggusuran, negara selalu mendorong kaum pemilik modal menjadi pengendali pembangunan itu, yang mana negara memberi hak-haknya secara eksklusif kepada segelintir orang. Dalam kasus Rempang, negara memberikan tanah seluas 17.000 Ha untuk sebuah entitas atau satu orang. Untuk apa pula sub negara (otorita Batam) sebagai pemilik hak tidak mengelolanya langsung?

Pembangunan model seperti ini, dalam kajian PBB dan World Bank, sering disebutkan sebagai pola klasik dari pengurus negara yang tidak kreatif, malas, miskin ide dan cenderung menjadi kaki tangan pemilik modal. Pola ini mengakibatkan pertumbuhan yang terjadi tidak berkorelasi pada pengentasan kemiskinan. Bahkan, mayoritas porsi keuntungan dari pertumbuhan itu kembali kepada pemilik modal, dan menyisakan sedikit bagi rakyat dan negara.

Baca juga :   Chinaisasi akan Berlanjut?

Dalam kasus Rempang, jika saja kebijakan pemerintah pro pada rakyat miskin atau 10.000 penduduk asli di sana, maka model penggusuran dapat diganti dengan model co-eksistensi yang bersifat win-win solution. Rakyat dapat dilibatkan sebagai stake holder dan mungkin sekaligus share holder atas pembangunan atau pendirian pabrik di sana. Permintaan rakyat untuk dapat mendiami 1000 Ha lahan (silahkan 16.000 Ha nya dikelola swasta), seharusnya sudah dapat dihargai sebagai pola rasional. Apalagi, jika keterlibatan rakyat ditingkatkan lagi dalam berbagai hal, seperti isu kelestarian dan keberlanjutan serta penjaga pulau-pulau terluar.

Sayangnya, baik Mahfud MD, Bahlil dan pemda/otorita Batam hanya berpikir ingin gampang, bagaimana mendukung investasi masuk tanpa memperhatikan nasib rakyat di sana. Ini adalah pola lama yang sudah seharusnya usang. Ke depan, tentu saja negara harus dikelola dengan prinsip prinsip mengutamakan rakyat. Rakyat pun sesungguhnya mengerti bahwa mereka tidak anti pembangunan, melainkan mereka ingin diajak bicara dan diajak berpartisipasi. Model itu dikenal dalam prinsip kebijakan Pro Poor Growth.

Anies Baswedan Bersama Rakyat Miskin

Dalam situasi dekatnya kita pada pilpres atau pergantian kepemimpinan ke depan, rakyat perlu mengenali calon yang ada. Kepemimpinan ke depan harus bepihak pada rakyat. Anies Baswedan sebagai kandidat capres, misalnya,  mempunyai rekam jejak memanjakan rakyat miskin di Jakarta, ketimbang memanjakan kaum kapitalis. Meskipun Anies tidak anti pengusaha, namun prinsip “Growth with equity” maupun “growth through equity” dijalankan Anies di Jakarta, sehingga, bagaikan elevator, orang- orang miskin ikut sejahtera dan orang kaya tetap meningkat kekayaannya.

Baca juga :   Kembalikan Kekuasaan Tertinggi Rakyat dengan Kuasa Menetapkan

Di Jakarta, contohnya,  Anies telah menaikkan upah buruh 5,1 persen pada saat bersamaan Ganjar menaikkan hanya 0,87 persen. Kebijakan perburuhan adalah instrumen penting redistribusi. Anies juga mencegah penggusuran kampung-kampung tua dan miskin, seperti Aquarium, pada saat bersamaan Ganjar menggusur warga Wadas di Jateng. Ini adalah sebagian contoh saja. Prinsipnya adalah Anies melihat rakyat tersebut sebagai pemilik sah republik, bukan objek yang harus dipinggirkan.

Dalam perspektif makro, legitimasi pendekatan mikro di atas, disebutkan Anies bahwa dia percaya  “Social Market Economy” bukan “free market competition”. Yang pertama mengetengahkan dialog antara rakyat dan pemilik modal, sedangkan yang akhir menegasikan hak rakyat.

Jika Anies berkuasa kelak, tentu saja prinsip Social Market Economy akan menggantikan model kapitalis ortodoks, yang menyengsarakan rakyat, termasuk rakyat Rempang, Batam, itu. Turunan Social Market Economy nantinya tentu akan masuk pada agenda kebijakan Pro Poor Growth, sebuah model pertumbuhan yang direlasikan dengan pengentasan kemiskinan.

Rakyat Rempang menderita. Bangsa Melayu berduka. Tapi hampir semua rakyat menderita dalam era Jokowi yang mengutamakan pembangunan berbasis kapitalis ortodok.

Bantuan sosial kelihatannya menjadi andalan yang menunjukkan kebaikan hati negara terhadap rakyat. Namun, hal ini sepertinya hanya polesan tipis untuk menutupi pola pembangunan yang mengutamakan ekploitasi seluruh sumber daya strategis negara demi memajukan kaum kapitalis. Pada saat bersamaan, rakyat menjadi tidak produtif.

Kita perlu bekerja keras mendapatkan pemimpin yang cinta rakyat ke depan. Dengan konsep pembangunan yang anti kapitalis. Rakyat sudah terlalu lama menderita. Itu harus diakhiri. Rakyat harus segera sejahtera. Rakyat Rempang harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Tanah Melayu. (*)

Dr. Syahganda Nainggolan;
Penulis adalah Ketua Pusat Kajian Sabang-Merauke Circle.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *