Anies dan Hendropriyono dalam Tafsir Politik

  • Bagikan

MEMANG tak eksplisit menyebut nama Anies Baswedan. Pernyataan dibuat samar, tapi publik segera bisa menarik kesimpulan siapa yang dimaksud. Setidaknya di media sosial, komentar yang muncul banyak mengaitkan pernyataan itu dengan Anies. Kesan yang timbul: ada ketidaksukaan yang dibangun tanpa dasar yang jelas.

Prof. Rhenald Kasali dalam podcast-nya mengundang AM Hendropriyono. Topik bahasannya: Rakyat Sudah Marah, DPR Kabur! Rakyat Jangan Mau Ditunggangi! #IntrigueRK. Namun, Hendropriyono sempat melontarkan komentar di luar konteks pertanyaan. Ia menyebut, “Ada yang coba-coba mengail di air keruh.”

Konteks pernyataan itu tampaknya diarahkan pada seseorang yang mendatangi rumah Affan Kurniawan, pengemudi ojol yang wafat dilindas kendaraan taktis Brimob pada demonstrasi Kamis (28 Agustus). Kebetulan, Anies pada pagi hari 29 Agustus memang bertakziah ke rumah duka. Ia ikut menyalatkan jenazah, mengantar ke Pemakaman Karet Bivak. Bahkan, Anies diminta memberi sambutan sekaligus mendoakan almarhum.

Sehari kemudian, dalam wawancara tersebut, muncul pernyataan “ada orang yang coba mengail di air keruh.” Ditambahkan pula, “Orang itu datang dalam kapasitas apa ya… Kalau yang datang polisi atau presiden meminta maaf itu wajar. Lho ini yang datang siapa, dan untuk apa ia datang?” Saat Rhenald Kasali meminta penegasan, apakah ia politisi? Hendropriyono menjawab, Iya.

Baca juga :   Iran Pengedali Syiah di Indonesia?

Dengan demikian, jelaslah arah ucapannya. Meski Rhenald Kasali memilih tidak mengejar lebih jauh, bisa jadi menganggap pernyataan Hendropriyono tersebut tidak substantif.

Jika benar yang dimaksud adalah Anies, maka justru komentar itu sendiri bisa dianggap sebagai bentuk “mengail di air keruh”. Sebab, kehadiran Anies di rumah duka sejatinya bisa dilihat sebagai ekspresi empati, bukan sekadar langkah politik. Namun tafsir Hendropriyono membuatnya seakan politis dan patut diwaspadai, bahkan seolah upaya memperhadapkan Anies dengan Presiden Prabowo Subianto.

Dari cara itu, pesan yang muncul adalah bahwa Anies patut dicurigai sebagai ancaman potensial pada 2029. Tafsir demikian jelas sangat politis. Padahal, takziah seorang tokoh publik kepada warganya wajar-wajar saja, apalagi Anies adalah mantan Gubernur DKI Jakarta yang punya kedekatan emosional dengan warga. Pertanyaan Hendropriyono, “Ia datang dalam kapasitas apa?” seakan menutup mata terhadap latar belakang itu.

Baca juga :   Indonesia di Simpang Jalan

Pernyataan yang terkesan mengecilkan langkah Anies ini justru memperlihatkan cara pandang yang lebih emosional ketimbang analitis.

Jika menilik perjalanan politik Hendropriyono, sikapnya memang kerap berubah mengikuti dinamika kekuasaan. Pada Pilpres 2014, ia berada di barisan Jokowi dan pernah melontarkan kritik sangat keras terhadap Prabowo,—bahkan kala itu muncul pemberitaan bahwa ia menyebut istilah kontroversial soal kepribadian Prabowo.

Pada Pilpres 2019, ia tetap mendukung Jokowi, kali ini dengan isu berbeda: menyebut kontestasi sebagai pertarungan antara “penganut Pancasila versus Khilafah.” Pernyataan itu menuai perdebatan karena menimbulkan antipati di kalangan minoritas untuk memilih Prabowo.

SAMPAIKAN DUKA: Sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan bertakziyah pada pemakaman Affan Kurniawan di Pemakaman Karet Bivak.  

Namun pada Pilpres 2024, saat Prabowo maju kembali berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, posisi Hendropriyono tampak lebih berhati-hati. Tidak jelas ia mendukung siapa, karena ia punya kedekatan baik dengan Jokowi maupun Megawati yang mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Situasi itu membuatnya lebih memilih tidak bersuara lantang. Pilpres 2024 diikuti pasangan lainnya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Pasangan ini menjadi pesaing Prabowo-Gibran.

Baca juga :   Otonomi Khusus, Negara Bagian, atau Jawa Barat Merdeka?

Kini, setelah Prabowo menang, tampaknya Hendropriyono mencoba menyesuaikan diri dengan realitas baru. Kritik yang diarahkan kepada Anies bisa saja dibaca sebagai bagian dari penyesuaian itu. Apakah untuk menunjukkan loyalitas kepada penguasa baru, atau sekadar ekspresi pribadi, tentu hanya dirinya yang bisa menjawab.

Namun, sejarah mencatat bahwa dalam politik, setiap aktor bisa saja mengubah sikap sesuai kepentingan. Karena itu, publik berhak menilai konsistensi maupun motif di balik setiap pernyataan tokoh politik, termasuk Hendropriyono.

Yang pasti, tak seorang pun bisa memprediksi siapa yang akan menjadi presiden berikutnya (2029). Bisa saja, jika Tuhan berkehendak, Anies yang terpilih. Sejarah telah berulang kali mengajarkan, kalkulasi politik seringkali jauh meleset dari kenyataan. (*)

Ady Amar;
Penulis adalah Kritikus dan Kolumnis, tinggal di Surabaya, Jawa Timur.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *