Berkaca pada Pilpres untuk Pilkada

  • Bagikan

PEMILU Presiden dan Wakil Presiden 2024 sudah dinyatakan selesai. Mahkamah Konstitusi (MK) sudah bikin putusan. Pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang. Pak Prabowo dan Mas Gibran tinggal menunggu pelantikan. Kini, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota (KPUK) mulai sibuk lagi untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Pilkada serentak di seluruh Indonesia akan dilaksanakan pada 27 November 2024.

Meski Pilkada serentak masih sekitar tujuh bulan lagi, tetapi tahapan-tahapan yang terkait pencalonan sudah segera dimulai. Mulai 5 Mei nanti (seminggu lagi), pasangan bakal calon dari jalur independen (perseorangan), jika ada lho ya, sudah harus mulai memenuhi persyaratan dukungannya. Untuk Bojonegoro, syarat calon independen minimal didukung 67.200 orang. Ini harus dibuktikan dengan fotokopi KTP pendukung. Dukungan itu tersebar minimal di 15 kecamatan. (Peraturan KPUK Bojonegoro 1434/2024).

Hingga saat ini, undang-undang memang masih memberi kesempatan kepada warga yang ingin maju dalam Pilkada lewat jalur perseorangan. Alias, tidak lewat partai politik (parpol). Tetapi, persyaratannya lebih njlimet dibanding lewat jalur parpol. Dan, hasilnya, jauh dari harapan. Peluang menangnya amat sangat tipis. Dalam Pilkada Bojonegoro 2012, ada dua pasangan calon lewat pintu independen. Tiga pasangan lainnya lewat jalur parpol. Hasilnya, dua pasangan calon perseorangan hanya mendapatkan 49.417 suara (6,8 persen) dan 20.311 suara (2,81 persen). Kecil sekali.

Baca juga :   Polemik Manfaat Hilirisasi Nikel: Manipulatif untuk Pencitraan?

Terkait Pilkada serentak sekarang ini hendaknya semua pihak mau mengambil pelajaran dari Pilpres kemarin. Harapan kita, tentu, Pilkada nanti bisa lebih berkualitas. Pelaksanaannya lebih smooth, lebih lancar, dan hasilnya yang terbaik, dan mendapatkan legitimasi yang kuat.
Semua pihak yang berkepentingan dalam Pilkada ini masih punya waktu relatif panjang untuk menata diri. Terutama, KPUK dan Bawaslukab beserta perangkatnya hingga ke bawah sebagai penyelenggara. Begitu pula pasangan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Juga, masyarakat yang punya hak pilih.

Berkaca dari sengketa Pilpres di MK kemarin, kita berharap tidak ada hasil Pilkada serentak ini yang disengketakan di MK. Tidak dapat dibayangkan bagaimana hiruk pikuknya negeri ini jika ada sekian banyak hasil Pilkada nanti yang harus disengketakan di MK. Hakim MK bisa-bisa kewalahan karena waktunya sangat terbatas.

Yang lebih mengerikan jika sampai terjadi penyuapan terhadap hakim MK. Misal, dari penggugat/pemohon ataupun dari tergugat/termohon. Seperti yang pernah terjadi sekitar sepuluh tahun lalu. Ketua MK (waktu itu) Akil Mochtar dinyatakan terbukti menerima suap saat menangani perkara sengketa hasil Pilkada di beberapa daerah. Akil akhirnya dipecat dan divonis hukuman penjara seumur hidup. Ngeri kan? Khawatirnya, MK nanti kehabisan hakim.

Baca juga :   Indonesia Berduka: MKMK Jadi Penjaga Kehormatan Anwar Usman

Sebagai upaya agar tidak ada sengketa hasil Pilkada di MK, maka sejak awal-awal tahapan Pilkada perlu dicermati betul. Misal, mulai soal penyusunan DPT (Daftar Pemilih Tetap), soal pelaksanaan kampanye, soal pencoblosan, dan soal pencatatan hasil pemilu secara berjenjang. Dari TPS (Tempat Pemungutan Suara) hingga ke KPUK untuk Pilkada kabupaten/kota, dan hingga ke KPU Provinsi untuk Pilkada provinsi.

Soal DPT, intinya, semua warga yang punya hak pilih harus bisa menggunakan hak pilihnya. Sebaliknya, jangan sampai ada yang tidak punya hak pilih masuk dalam DPT. Selain itu, jangan ada data ganda, dan mencurigakan. Ini rawan menimbulkan protes. Saat Pilpres kemarin, info yang banyak beredar, banyak data pemilih ganda, ada sekian ratus pemilih dari satu kartu keluarga.

Berkaca dari Pilpres kemarin, soal ketidaknetralan aparat juga banyak menjadi sorotan. Untuk itu, pasangan calon dalam Pilkada ini hendaknya tidak memobilisasi aparat untuk mendukung dirinya. Ini terutama bagi calon incumbent (petahana) yang sudah lima tahun membersamai aparat. Mungkin, di antara aparat ada yang sangat fanatik kepada bosnya.

Baca juga :   Halaman 74 Putusan MK

Terkait hasil pemilu, sebenarnya kunci utamanya di Formulir C di setiap TPS. Formulir C memberikan data awal, yang asli, dan terbuka tentang apa yang terjadi di setiap TPS. Misal, terkait perolehan suara sah setiap pasangan calon, suara tidak sah, dan surat suara yang tidak terpakai.

Data di Formulir C dari TPS-TPS tersebut lalu dinaikkan ke tingkat desa. Bawaslu kabupaten ataupun para saksi dari pasangan calon bisa melihat jika ada data yang tidak sesuai dengan hasil dari TPS-TPS di setiap desa. Data dari Desa kemudian dinaikkan ke kecamatan. Harusnya, hasil akhir di kecamatan sesuai dengan data riil dari desa-desa. Kemudian, dari kecamatan-kecamatan lalu direkapitulasi di tingkat KPUK kabupaten/kota. Intinya, jika para penyelenggara jujur, dan para saksi mergawene tenanan (kerjanya serius, Red), insya Allah Pilkada lancar dan berkah…(*)

Mundzar Fahman;
Penulis adalah mantan wartawan Jawa Pos, tinggal di Bojonegoro.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *