INDOSatu.co – JAKARTA – Statemen mengejutkan datang dari Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan. Anthony menengarai, bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia sangat masif, sistematis, terstruktur.
“Kita prihatin dengan tindakan dugaan korupsi yang sangat masif, sistematis, terstruktur ini,” ungkap Anthony di acara Bincang Hangat: Menyorot Korupsi Era Jokowi, Ahad (28/5) yang dikutip melalui kanal YouTube UIY Official.
Masif, menurut Anthony, dalam arti merajalela dan merata di hampir semua kementerian, lembaga negara, BUMN dan korupsi itu terjadi di hampir di semua pejabat eselon.
Sistematis, jelas Anthony, dalam arti dilakukan secara sistem. Di Kementerian Keuangan misalnya, yang tertangkap itu mulai dari direktur, pemeriksa dan lain sebagainya. yang menyedihkan, ada dugaan bargaining (negosiasi) kepada wajib pajak.
“Lima puluh persen hasil dari negosiasi setengahnya diberikan kepada jajaran direktur dan setengahnya lagi kepada tim pemeriksa. Ini artinya sistematis,” tukas Anthony.
Contoh lain, sambung Anthony, korupsi proyek BTS (base transceiver station/suatu infrastruktur telekomunikasi yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara perangkat komunikasi dan jaringan operator) yang sampai ke menteri, bahkan menurut rumor sampai ke partai.
Anthony juga menyinggung korupsi bantuan sosial yang sampai ke Menteri Sosial. jika sampai ke Menteri Sosial, tidak mungkin kalau tidak sistematis. ”Artinya pengumpulan dari bawah sampai ke atas, dan itu sekaligus menggambarkan yang tadi saya katakan terstruktur,” tambah Anthony.
Anthony menegaskan, korupsi sudah terjadi secara ramai-ramai bukan lagi perorangan. Kalau perorangan itu misalnya pagu anggaran proyeknya ditentukan 100 lalu seseorang minta komisi 5 atau 10 persen.
“Tapi kalau kita lihat BTS itu, menurut informasi media harusnya dibangun 4000 sekian tower (menara), tapi yang diserahterimakan hanya 985 tower. Ini berarti bukan hanya satu pemegang proyek yang melakukan korupsi. Demikian juga yang terjadi di proyek bansos,” tegasnya.
Beberapa kasus yang terjadi di Kementerian Keuangan, kata Anthony, kalau ada satu orang yang dicurigai terindikasi korupsi, maka yang lain beramai-ramai membela dengan mengatakan bahwa yang bersangkutan sudah diberi sanksi dicopot dari jabatan.
“Pencopotan ini sebagai bentuk pengalihan, supaya jangan merembet ke yang lain. Ini adalah penyelamatan satu kelompok agar kolusi ini tidak terganggu atau terungkap,” tukas Anthony.
Menurut Anthony, pengawasan sudah tidak berfungsi lagi. Dan kalau pun ada pengawasan dari eksternal, itu juga sulit karena kasus di lapangan sudah direkayasa sedemikian rupa.
Pandemi
Anthony menyebut, korupsi saat Pandemi Covid-19 jumlahnya sangat besar yang menyebabkan negara defisit sampai 1.000 triliun, dan utang naik 1.226 triliun pada 2020.
“Di sini ada dua hal, pertama, belanja negara dikeluarkan seolah-olah legal karena dilindungi dengan hukum, tapi kalau kita perhatikan payung hukum itu terindikasi merugikan negara,” ungkapnya.
Kedua, lanjut Anthony, kebocoran anggaran. Belanja negara selama pandemi rata-rata 2.700 triliun per tahun. “Kalau tiga tahun, berarti sampai 8.100 triliun, dan kalau anggaran itu bocor 20 persen saja sudah 1.600 triliun lebih. Kebocoran ini sangat dimungkinkan karena proyek-proyek penanganan pandemi sangat masif,” bebernya sembari mencontohkan proyek kartu pra kerja, vaksin, insentif pemulihan ekonomi dan lain-lain.
Tidak Diusut
Anthony juga menyoroti pembengkakan anggaran beberapa proyek nasional yang tidak diusut. Ia menyontohkan proyek kereta cepat yang pembengkakannya saja mencapai 1,2 miliar dolar atau setara 18 triliun rupiah. Kemudian pembangunan jalan tol yang kemahalan hingga 100 triliun. Ia menyayangkan DPR sekalipun tidak memperhatikan itu.
“Karena itu, rakyat yang harus memperhatikan ke situ dan rakyat jangan bosan-bosan untuk menyuarakan ini. Menurut saya, rakyat sekarang menjadi kekuatan yang cukup dominan. Jadi, itu harus disuarakan bersama-sama untuk menegakkan keadilan dan pemberantasan korupsi,” tegasnya.
DPR, ucap Anthony, sudah terkontaminasi, tidak lagi membela masyarakat. Masyarakat harus berjuang sendiri memperjuangkan hak-haknya agar hak itu tidak dirampok oleh para koruptor.
“Kalau kita mengandalkan pengusutan ini kepada rezim saat ini saya rasa sangat sulit. Mereka tidak bisa mengusut secara adil, secara transparan dan tuntas,” pungkas Anthony. (adi/red)