PRESIDEN Amerika Serikat Donald Trump mengenakan tarif impor resiprokal kepada hampir seluruh negara mitra dagang pada 2 April 2025, termasuk negara sekutunya seperti Uni Eropa, Inggris, Kanada, Jepang, dan lainnya.
Indonesia kena tarif resiprokal 32 persen untuk seluruh produk impor dari Indonesia, ditambah tarif dasar 10 persen. Total 42 persen. China dikenakan tarif resiprokal 54 persen. Vietnam 46 persen. India, Pakistan, Thailand, Malaysia, dan seterusnya tanpa terkecuali.
Dunia terkejut. Banyak yang mengumpat, Trump tidak normal. Dunia tidak habis mengerti, mengapa Amerika Serikat, negara kapitalis terbesar dunia, yang dipercaya menganut paham ekonomi klasik liberal dan free-trade ala Adam Smith, bisa menjalankan sistem ekonomi protektif.
Sebenarnya, dunia tidak perlu terkejut dengan kebijakan tarif impor Trump. Amerika Serikat (AS) memang tidak pernah mempunyai ‘DNA’ sebagai negara penganut pasar bebas. Sebaliknya, Amerika Serikat mempunyai sejarah panjang, bahkan sejak merdeka, sebagai negara penganut paham merkantilisme atau sistem ekonomi protektif, yang berkebalikan dengan sistem ekonomi klasik pasar bebas.
Sejak deklarasi kemerdekaan, AS terlibat perang kemerdekaan melawan Inggris (1775-1783), Pemilu pertama AS baru dapat diselenggarakan tahun 1788/1789. Menteri Keuangan AS pertama, Alexander Hamilton, memutuskan untuk menaikkan tarif impor pada tahun 1790, guna memperkuat pembangunan industri AS. Hal itu tertuang di dalam laporan Menteri Keuangan Alexander Hamilton kepada Kongres pada Desember 1791, yang berjudul Report on Manufactures, yang menjadi cikal bakal “the American System” yang dipopulerkan oleh Henry Clay.
Di dalam Report tersebut dijelaskan arah kebijakan industri AS, dengan mengadopsi sistem ekonomi protektif ala merkantilisme di satu sisi dan sistem subsidi di lain sisi. Sistem proteksi untuk melindungi industri dalam negeri termasuk infant industry, sedangkan sistem subsidi untuk meningkatkan daya saing.
Sistem ekonomi protektif ini kemudian diikuti oleh banyak presiden-presiden AS berikutnya, dan berlangsung selama 140 tahun. Selama periode 1790 sampai 1930, tarif impor AS merupakan yang tertinggi di dunia. Tarif impor naik tajam pada periode 1790 – 1828, dengan tarif tertinggi mencapai 60 persen lebih. Tarif impor kemudian turun menjadi 18 persen pada periode 1830-1857. Tarif impor kembali naik tajam selama periode perang saudara berlangsung (1861-1865), dan bertahan sampai awal tahun 1900-an.
Tarif dan Konflik
Amerika Serikat secara konsisten menjalankan kebijakan ekonomi protektif ala merkantilisme selama lebih kurang 1,5 abad, dan menghadapi segala konsekuensi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari dalam negeri, pemerintahan Andrew Jackson menghadapi ancaman disintegrasi dari negara bagian Carolina Selatan yang menolak kenaikan tarif (nullification crisis).
Presiden Andrew Jackson menyampaikan dengan tegas dalam pidatonya di depan kongres awal tahun 1833, bahwa negara bagian wajib taat terhadap keputusan pemerintahan federal menaikkan tarif impor untuk memperkuat industri dalam negeri. Presiden Andrew Jackson bahkan sempat mengirim tentara ke perbatasan negara bagian Carolina Selatan untuk mengantisipasi kalau penolakan tarif meluas dan menjadi perlawanan senjata.
Sejak saat itu, penolakan “Selatan” terhadap kebijakan tarif tinggi semakin meluas, dan akhirnya turut menjadi memicu perang saudara pada 1861. “Selatan” yang ketika itu fokus pada ekonomi pertanian merasa dirugikan, karena tarif membuat harga produk impor alat-alat pertanian menjadi lebih mahal.
Tarif dan Kemakmuran
Seperti Abraham Lincoln katakan: “Give us a protective tariff, and we shall have the greatest nation on earth”. Sejarah AS kemudian membenarkan pernyataan Lincoln. Sejarah AS membuktikan, kebijakan proteksi dan subsidi pada akhirnya membuat industri dan ekonomi AS menjadi yang terkuat di dunia, melampaui Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Hal ini dibuktikan di medan perang dunia pertama dan kedua, industri pertahanan AS ternyata sangat superior.
The London Daily Mail menulis pada tahun 1900; We have lost to the American manufacturer electrical machinery, locomotives, steel rails, sugar-producing and agricultural machinery, and latterly even stationary engines, the pride and backbone of the British engineering industry.
Presiden Thoedore Roosevelt dalam pidatonya tahun 1902 juga mengaku dengan bangga, bahwa sistem proteksi telah membawa kemakmuran bagi rakyat AS: The country has acquiesced in the wisdom of the protective-tariff principle. It is exceedingly undesirable that this system should be destroyed or that there should be violent and radical changes therein. Our past experience shows that great prosperity in this country has always come under a protective tariff.
Usai perang dunia kedua, ekonomi Amerika Serikat menjadi yang terbesar di dunia. Dalam rangka membangun ekonomi dunia pasca perang, Amerika Serikat menurunkan tarif impornya secara sukarela, bukan resiprokal, agar produk luar negeri bisa dijual di Amerika Serikat. Penurunan tarif ini kemudian membuat Amerika Serikat menjadi salah satu negara dengan tarif impor terendah di dunia.
Dampak dari kebijakan tarif akan tercermin di dalam neraca perdagangan. Neraca perdagangan AS mengalami surplus selama periode kebijakan protektif tarif tinggi, dan kemudian defisit sejak tahun 1970 sampai sekarang.
Menurut Presiden Donald Trump, defisit tersebut tidak bisa ditolerir lagi. Sejak periode pertama, Trump sudah mencoba menjalankan kebijakan protektif, dengan menaikkan tarif impor cukup tinggi untuk beberapa produk, dan dari beberapa negara khususnya China. Hal ini rupanya tidak efektif.
Pada periode kedua ini, Trump menaikkan tarif impor cukup tinggi yang membuat masyarakat dunia tercengang. Tetapi, kalau melihat sejarah tarif AS, tarif resiprokal Trump tergolong biasa-biasa saja, dibandingkan tarif Andrew Jackson, Morril, atau William McKinley.
Sejarah tarif AS menunjukkan bahwa Amerika Serikat secara natural adalah negara penganut sistem ekonomi protektif ala merkantilisme. Amerika Serikat menjalankan sistem ekonomi ini secara konsisten dan berani menanggung apapun risikonya, termasuk risiko perang. Pemimpin dari partai Republican lebih “militan” dalam membela kepentingan negara dan bangsanya dalam menjalankan sistem ekonomi protektif ini. Donald Trump hanya salah satu dari mereka.
Kalau ada yang mengira Trump hanya menggertak saja, harus pikir dua kali. Harap belajar dari sejarah, agar dapat memperoleh hasil maksimal dalam perundingan tarif dengan AS. (*)
Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Alumni Doktoral (S3) Erasmus University, Rotterdam, Belanda.