INDOSatu.co – JAKARTA – Statemen menarik datang dari Direktur Eksekutif ReIde Indonesia, Mohammad Saihu menyikapi pelantikan KPU dan Panwaslu yang akan dilakukan, Selasa (12/4) besok. Kepastian pelantikan itu datang dari Presiden Joko Widodo sendiri sekaligus merespon bahwa Pemilu dan Pilkada 2024 bakal digelar sesuai jadwal. Tidak ada penundaan pemilu, apalagi perpanjangan jabatan presiden di Istana Negara pada Ahad (10/4).
‘’Idealnya, pelantikan pada 11 April, karena masa habis periodesasi KPU-Bawaslu adalah 11 April,’’ kata Saihu mengomentari pelantikan kedua lembaga penyelenggara pemilu itu.
Lantas? Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia itu menilai, jika pelantikan terjadi kemunduran beberapa saat, Saihu menilai masih bisa ditoleransi. Sebab, ungkap Saihu, sesuai ketentuan masa Jabatan Komisioner KPU-Bawaslu periode 2017-2022, memang berakhir 11 April 2022.
‘’Jadi, pelantikan KPU-Bawaslu periode 2022-2027 idealnya dilaksanakan pada tanggal yang sama juga, Senin (11/4),’’ kata Pengamat Politik asli Lamongan, Jawa Timur ini.
Ketentuan Pasal 555 ayat (1) dan 556 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, apabila terjadi hal yang mengakibatkan KPU dan Bawaslu tidak dapat melaksanakan tahapan penyelenggaraan Pemilu, maka Sekretaris Jenderal yang akan melaksanakan tugas penyelenggaraan sementara waktu.
‘’Memang ada klausul seperti itu. Tetapi, menurut saya, mundur beberapa saat, masih ada batas toleransi. Khan lewat hari itu berarti pukul 00.00. Masak pelantikan jam 12 malam,’’ kata dia.
Meski demikian, Saihu mengungkapkan bahwa tantangan dan tugas berat sudah menanti para komisioner untuk mempersiapkan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum pada Rabu 14 Februari 2024 dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada Rabu 27 November 2024. Dua agenda berbeda ini sudah disepakati DPR, Pemerintah, dan KPU, Bawaslu, dan DKPP masa keanggotaan 2017-2022.
‘’Karena kita selama ini belum punya pengalaman. Namun, saya meyakini, KPU-Bawaslu bisa melewati momen-momen krusial itu. Kita berharap agenda pemilu dan pilkada tidak mengalami hambatan demi prinsip konsistensi keberkalaan demokrasi elektoral yang diamanatkan UUD 1945 itu,’’ kata Saihu.
Tantangan berat yang mutlak harus dicarikan solusi antara lain, kata dia, berkaitan proses penyelenggaraan pemilu, terutama menyusun skenario tahapan, penetapan jadwal, dan penataan penyelenggara di daerah. “Berdasarkan data dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), masalah tersebut selalu menempati posisi pelanggaran tertinggi,’’ kata dia.
Saihu lalu menyontohkan Pemilu 2019, yang menelan korban meninggal dunia 894 petugas dan 5.175 petugas mengalami sakit. Realitas seperti itu, kata dia, harus menjadi bahan refleksi bahwa, proses penyelenggaraan pemilihan dan aspek penyelenggara menjadi faktor utama datangnya tragedi. Berbeda dengan Pilkada 2020. Meski di masa Pandemi, palaksanaannya relatif lebih baik karena berbagai terobosan yang dilakukan, seperti pada pelaksanaan kampanye dan penertiban pada hari pemungutan suara.
‘’Ingat, dari masa ke masa problem penyelenggaraan dan pelanggaran pemilu tertinggi terjadi pada pelaksanaan kampanye dan pemungutan suara,’’ tegas Saihu.
Tantangan berat berikutnya, kata dia, yaitu pada saat penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara. Persoalan ini seringkali memicu ketidakpastian hukum karena profesionalisme, kemandirian, dan akuntabilitas penyelenggara pemilu sebagai prinsip yang banyak dilanggar.
Melek Teknologi
Kemajuan teknologi informasi menjadi keniscayaan dunia kepemiluan untuk lebih modern. Penyelenggara Pemilu yang profesional harus mampu mengikuti arus globalisasi digital untuk dimanfaatkan dalam setiap aspek kepemiluan.
Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, kata Saihu, akan menjadi yang pertama dan terbesar sepanjang sejarah. Sorot pandang dunia internasional dipastikan memancarkan perasaan was-was (keraguan). “Saya hakulyakin, penyelenggara pemilu terpilih masa bakti 2022-2027 mampu berinovasi memanfaatkan teknologi informasi dengan memangkas cara-cara konvensional untuk dikemas dengan digitalisasi semua proses penyelenggaraan pemilu,’’ kata dia.
Digitalisasi pemilu bukan saja untuk keperluan e-voting, tapi dapat dimanfaatkan untuk verifikasi identitas pemilih, penghitungan suara hingga transmisi dan tabulasi hasil pemilihan. Tentu banyak cara menuju pemilu digital.
Spirit of Collaboration
Di bagian lain, Saihu menilai bahwa KPU, Bawaslu, DKPP adalah satu kesatuan fungsi dalam penyelenggaraan pemilu. Karena itu, dia berharap ketiga lembaga tersebut untuk bersinergi sebagaimana tugas dan fungsi masing-masing lembaga menuju visi bersama terselenggaranya pemilu yang demokratis berdasarkan amanat UUD 1945.
Agenda koordinasi, konsolidasi secara berkala dalam forum diskusi antar lembaga (Tri Partit), kata Saihu, harus menjadi tradisi yang baik antara KPU, Bawaslu, dan DKPP dalam rangka membangun public trust.
“Dulu KPU dan Bawaslu pernah disebut Tom & Jerry, DKPP sebagai malaikat pencabut nyawa. Forum Tri Partit sangat penting menjelaskan core business masing-masing lembaga dan untuk menjaga marwah KPU, Bawaslu, dan DKPP,’’ tutur dia.
Jika merujuk awal kelahirannya, KPU, Bawaslu, juga DKPP dalam kategori state auxiliary organ. Ketiga lembaga ini berfungsi sebagai penunjang, pendukung, atau pelengkap (supporting organ) bagi lembaga-lembaga negara utama yang merupakan principal atau main organ, meski memiliki kewenangan (authority/gezag) yang bersifat independen atau mandiri.
“Mustahil tugas dan fungsi KPU, Bawaslu, DKPP akan berhasil tanpa kolaborasi dengan lembaga lain, utamanya lembaga negara terkait dan organisasi civil society.’’
Kerjasama yang sudah terbangun harus dikuatkan, bukan saja terkait masalah teknis, tapi juga harus diperhatikan aspek regulasi (batasan-batasan) yang menjadi tabir sifat masing-masing lembaga, juga masalah substansi.
Setidaknya, kata Saihu, penyelenggara pemilu juga pelu berkolaborasi dengan lembaga kementerian. Misalnya, dengan Kementerian Dalam Negeri. Kerjasama itu terkait data pemilih, juga kemandirian pegawai/kesekretariatan.
Lalu Kemenkum dan HAM, hal itu terkait harmonisasi berbagai peraturan yang lebih visioner, juga terkait nasib pemilih dalam lingkungan Kemenkum HAM, seperti warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Juga dengan Kementerian Agama, di antaranya pada prilaku kampanye dan provokasi isu SARA di rumah ibadah.
‘’Dengan Kementerian Sosial juga, terutama untuk menjamin hak memilih bagi masyarakat difabel, penghuni panti jompo, masyarakat pedalaman, kaum papa dan miskin kota yang hidupnya berpindah-pindah (nomaden). Dengan TNI dan Polri untuk kemanan, keatahanan negara dan peran Kamtibmas pada semua tahapan pemilu,’’ kata dia.
Tidak hanya itu. Saihu juga berharap KPU perlu berkoordinasi Kemendikbud Ristek, untuk pengetahuan kepemiluan dan pendidikan pemilih pemula. Dengan Menkominfo untuk pemanfaatan teknologi informasi, penggunaan media mainstream dan media sosial, serta batasan-batasannya. Juga, dengan Kemenkes untuk jaminan kesehatan penyelenggara dan pemilih, juga perlindungan dan pendataan (update) hak pilih pada pasien rumah sakit.
“Suatu terobosan baik, sudah diinisiasi KPU, kerjasama dengan Menkes ditandai penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pemanfaatan data pemilih pada pemilu untuk pendataan sasaran pelaksanaan vaksinasi COVID-19”.
“Insya Allah, semangat memperluas kolaborasi dengan lembaga negara terkait melalui prinsip saling percaya, menjaga keamanan, serta penghormatan kemandirian (imparsialitas) sesuai peraturan perundang-undangan, pemilihan dan pilkada 2024 akan tercatat dalam sejarah dunia sebagai pemilu terbesar, terumit tapi sukses diselenggarakan di Indonesia,’’ pungkas dia. (za/red)