Dua Wajah Muhammadiyah di Pusaran Kekuasaan

  • Bagikan

DALAM rangka memperingati Milad ke-113 tahun, Muhammadiyah kembali menguji dirinya sendiri di hadapan cermin sejarah. Sebagai entitas Islam modern yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan politik, sikap independen ini adalah mata air bagi rasionalitas kritis yang memungkinkannya berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang moral bagi negara.

Namun, memasuki usia lebih dari satu abad ini, dan khususnya di era Presiden Joko Widodo, benturan antara idealisme historis dan realitas politik praktis telah memunculkan dua kutub yang terang benderang di kalangan elite persyarikatan Muhammadiyah.

​Dua sosok—Muhadjir Effendy dan Busyro Muqoddas—mewakili dua respons yang kontradiktif terhadap godaan dan tawaran negara, memotret dilema mendasar yang kini dihadapi Muhammadiyah: akomodatif versus kritisisme.

Kutub Pertama: Pragmatisme Akseleratif (Muhadjir Effendy)

​Prof. Dr. Muhadjir Effendy, seorang kader tulen dan akademisi, telah menjadi arketipe elite Muhammadiyah yang lentur dan adaptif terhadap kekuasaan. Sejak menjabat sebagai menteri di Kabinet Kerja hingga sebagai Menko PMK, telah berfungsi sebagai jembatan komunikasi yang efektif antara rezim dan persyarikatan.

Peran Muhadjir mencerminkan pandangan bahwa negosiasi dan kedekatan dengan negara adalah jalan untuk mengamankan kepentingan dan posisi. Kedekatan ini dibuktikan dalam dua fenomena kunci:

Baca juga :   Prabowo adalah TNI Demokratis (Tanggapan untuk Dhimam Abror Djuraid)

1. Kasus Konsesi Tambang: Ketika negara menawarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada organisasi keagamaan, Muhadjir sebagai Menko PMK berada di jantung kebijakan tersebut, meski posisinya secara teknis di kabinet tidak terkait dengan urusan IUP. Terlepas dari respons kehati-hatian PP Muhammadiyah, posisi beliau di kabinet membuatnya menjadi representasi internal yang paling terikat dengan skema “bagi hasil” kekuasaan ini.

2. Peran dalam Isu Gibran dan keterlibatannya saat menjabat Menteri Pendidikan dalam penerbitan surat keterangan penyetaraan sekolah calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka—yang belakangan ramai dipersoalkan—menyoroti betapa generasi ini terlihat lebih nyaman bernegosiasi dengan lingkaran inti kekuasaan daripada menjaga jarak dari isu-isu yang berpotensi mencederai etika politik.

​Muhadjir mewakili wajah pragmatis Muhammadiyah—sebuah strategi politik yang melihat negara sebagai mitra strategis yang harus dimanfaatkan, bukan sekadar objek kritik moral.

​Kutub Kedua: Konsistensi Kritis (Busyro Muqoddas)

​Di sisi lain, Dr. Busyro Muqoddas, juga salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang memilih untuk tetap kritis dan menjaga jarak tegas dari kekuasaan. Sosok Busyro adalah antitesis sempurna dari pragmatisme politik yang diusung oleh Muhadjir.

Baca juga :   Jejak Intervensi Jokowi, KPK dalam Cengkeraman Presiden (Bagian-2)

​Busyro mewakili wajah kritis yang berpegangan teguh pada khittah awal Muhammadiyah sebagai penunjuk arah bangsa. Konsistensi sikap ini terlihat nyata dalam:

1. Kepemimpinan di KPK: Posisinya sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dimana beliau dikenal sebagai sosok yang tegas dan tidak kompromi dengan intervensi politik. Penolakan terhadap politik akomodatif terlihat jelas dari rekam jejaknya yang tak kenal takut membongkar kasus-kasus besar, membuktikan bahwa kader Muhammadiyah mampu menjalankan tugas negara tanpa tunduk pada kepentingan rezim.

2. Pembelaan Rakyat Melawan Pengembang. Posisi yang diambil oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PP Muhammadiyah yang merupakan bagian dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) pimpinan Busyro Muqoddas, dalam kasus sengketa pagar laut di pantai utara Banten melawan pengembang megaproyek (seperti PIK 2), adalah bukti nyata.

Dengan membela hak-hak rakyat kecil secara langsung melawan korporasi besar yang disokong rezim, Majelis ini menunjukkan bahwa kekuatan moral persyarikatan harus selalu berpihak kepada keadilan sosial dan rakyat, bukan kepada elite kekuasaan atau pemodal. Busyro memilih jalur perlawanan moral dan penjagaan integritas, menjadikan Muhammadiyah sebagai payung hukum rakyat dan pengawas moral negara.

Baca juga :   Prabowo: ”The Last Man Standing”

​Di Mana Posisi Muhammadiyah?

Kontras antara Muhadjir Effendy (Pragmatisme Politik) dan Busyro Muqoddas (Konsistensi Kritis) menunjukkan adanya ketegangan ideologis di tubuh elite Muhammadiyah saat ini.

Memasuki Milad ke-113, Muhammadiyah berdiri di persimpangan jalan: Apakah ia akan mengambil jalan yang lebih mudah, mengakomodasi kepentingan negara demi akses dan fasilitas (seperti yang dicontohkan Muhadjir)?

​Atau, apakah ia akan memilih jalan yang lebih sulit, mempertahankan jarak kritis dan independensi moral sebagai civil society yang berpihak pada keadilan (seperti yang dicontohkan Busyro)?

​Pilihan ini akan menentukan, bukan hanya nasib kader, tetapi juga masa depan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern yang pernah menjadi mercusuar gerakan pencerahan di Indonesia. (*)

Nazaruddin;
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *