Dugaan Mark up Kereta Cepat Whoosh: Anthony: KPK Wajib Usut Tuntas

  • Bagikan
SAMPAIKAN DATA: Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyikapi dugaan mark up proyek Kereta Cepat Whoosh yang harus diselidiki secara tuntas oleh KPK.

INDOSatu.co – JAKARTA – Kasus dugaan mark up proyek Whoosh, kereta cepat Jakarta-Bandung semakin memanas. Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan akhirnya bersuara menyikapi ‘perang’ statemen antara Ketua KPK Setyo Budiyanto dan mantan Menko Polhukam Mahfud MD.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto meminta agar Mahfud MD, (baca: masyarakat) melaporkan informasi dan data dugaan korupsi kereta cepat Jakarta-Bandung. Sementara itu, Mahfud menilai permintaan Ketua KPK dianggap sebagai sesuatu yang aneh.

Menyikapi polemik Whoosh tersebut, Anthony berharap temuan yang disampaikan terkait kasus Whoosh bisa dilihat secara jernih. Bahkan, Anthony berharap, pernyataannya ini juga sekaligus sebagai Pengaduan Masyarakat (Dumas) secara terbuka atas dugaan korupsi Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung kepada KPK.

Anthony mengatakan, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sepanjang 142,3 km sejak awal sudah penuh masalah dan sarat korupsi. Karena itu, Anthony menilai aneh aneh jika KPK masih mempertanyakan kasus Whoosh itu, apalagi sampai mengimbau masyarakat melaporkan dugaan korupsi yang sejatinya sudah terbentang jelas di depan mata. Hal ini mencerminkan komisioner KPK saat ini tidak kompeten.

Anthony menjelaskan, dugaan korupsi Proyek KCJB dapat dijelaskan, Pertama, indikasi mark up. Kata Anthony, biaya proyek KCJB sangat ketinggian. Awalnya, awalnya China menawarkan 5,5 miliar dolar AS, yang kemudian naik menjadi 6,02 miliar dolar AS, atau setara 41,96 juta dolar AS per km.

Nilai proyek tersebut, ungkap Anthony, jauh lebih tinggi dari proyek sejenis di China, yang hanya menelan biaya 17-30 juta dolar AS per km. Sebagai contoh, kereta cepat Shanghai–Hangzhou sepanjang 154 km, dengan batas kecepatan 350 km per jam, hanya menelan biaya 22,93 juta dolar AS per km.

Baca juga :   Anggap Masuk Perangkap, Roy Suryo Siap Adu Data soal Ijazah Jokowi

”Artinya, biaya proyek KCJB lebih mahal sekitar 19 juta dolar AS per km dibandingkan Proyek Shanghai-Hangzhou tersebut, atau kemahalan sekitar 2,7 miliar dolar AS. Patut diduga, nilai proyek KCJB yang sangat tinggi tersebut karena penggelembungan alias mark up,” kata Anthony dalam surat elektroniknya kepada INDOSatu.co, Senin (20/10).

Bahkan, Anthony menyebut mark up Whoosh itu sangat kasar dan sangat serakahnomics. Karena, data investasi Proyek Kereta Cepat di dunia sangat transparan dan dapat diketahui oleh siapapun dengan mudah.

Anthony mengungkapkan, dugaan mark up sangat kuat, karena proses evaluasi proyek sangat tidak profesional dan cenderung berpihak kepada pihak tertentu, sehingga terindikasi melanggar proses pengadaan barang publik.

Keikutsertaan Jepang dalam pengadaan Kereta Cepat Jakarta-Bandung nampaknya hanya untuk ‘pendamping’ saja, untuk memenuhi prasyarat proses tender. Keikutsertaan Jepang nampaknya dimanfaatkan hanya untuk mengatrol (baca: mark up) harga Kereta Cepat China agar bisa mendekati penawaran dari Jepang.

Tidak heran, kata dia, penawaran China yang awalnya 5,5 miliar dolar AS kemudian naik menjadi 6,02 miliar dolar AS, mendekati harga penawaran Jepang sebesar 6,2 miliar dolar AS.

Penawaran Jepang kemudian digugurkan dengan alasan pihak Jepang minta jaminan APBN, sedangkan China tidak minta jaminan APBN karena mengikuti skema business-to-business, yang sekarang ternyata terbukti bohong besar: utang proyek Kereta Cepat China sekarang minta disuntik dana APBN.

Baca juga :   Korupsi BTS 4G di Masa Pandemi, Anthony: Pelaku Bisa Diancam Hukuman Mati

Kedua, ungkap Anthony, komponen bunga pinjaman. Baik Jepang maupun China menawarkan skema pembiayaan utang sebesar 75 persen dari nilai proyek, dengan tenor 50 tahun dan masa tenggang (grace period) 10 tahun, di mana selama 10 tahun pertama, pemerintah hanya membayar bunga pinjaman saja. Jepang menawarkan bunga 0,1% per tahun, sedangkan China menawarkan bunga 2% per tahun, atau 20 kali lipat lebih tinggi dari bunga Jepang.

Dengan nilai proyek 6 miliar dolar AS dan pembiayaan utang 4,5 miliar dolar AS (75 persen), beber Anthony, bunga pinjaman proyek Jepang hanya 4,5 juta dolar AS per tahun (atau sekitar Rp 73,35 miliar pada kurs Rp 16.300/USD). Sedangkan bunga pinjaman proyek China mencapai 90 juta dolar AS per tahun, 20 kali lipat lebih tinggi, atau sekitar Rp 1,47 triliun.

”Dalam sepuluh tahun grace period, bunga pinjaman proyek Jepang hanya 45 juta dolar AS, sedangkan Proyek China mencapai 900 juta dolar AS,” kata ekonom jebolan Erasmus University Rotterdam, Belanda, itu.

Jika beban bunga pinjaman ini masuk faktor biaya dalam evaluasi finansial proyek, ungkap Anthony, maka penawaran China akan lebih mahal dari penawaran Jepang: 6,92 miliar dolar AS (China) berbanding 6,25 miliar dolar AS (Jepang). Karena itu, hampir dapat dipastikan ada manipulasi dalam evaluasi pemilihan proyek untuk memenangkan penawaran dari China.

Anthony mengatakan, kesengajaan dengan mengabaikan komponen biaya bunga dalam pembiayaan proyek termasuk pelanggaran serius terhadap proses evaluasi proyek publik, termasuk tindak pidana.

Baca juga :   Rupiah Tembus Rp 16.500 per Dolar AS, Anthony: Ekonomi Indonesia Makin Suram

”Karena bunga merupakan salah satu komponen biaya yang sangat penting untuk menentukan kelayakan finansial proyek, penentu mati-hidup proyek,” tukas Anthony.

Karena itu, kata Anthony, dengan tingkat bunga pinjaman China yang begitu besar, tidak heran jika Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) saat ini megap-megap, tidak mampu membayar bunga pinjaman tersebut, dan masuk kategori default: gagal bayar bunga.

Ketiga, kata Anthony, pembengkakan biaya (cost overrun). Lebih parah lagi, biaya proyek membengkak 1,2 miliar dolar AS, sehingga total nilai proyek menjadi 7,22 miliar dolar AS atau sekitar 50,5 juta dolar AS per km. Pembengkakan biaya sekitar 20 persen ini jelas tidak normal.

Dalam proyek infrastruktur, pengerjaan proyek seharusnya bersifat turnkey (fixed price). Artinya, cost overrun wajib ditanggung oleh kontraktor proyek, yaitu pihak China. ”Tetapi, anehnya kenapa harus dibebankan kepada proyek? Ada apa?,” kata Anthony singkat.

Yang lebih parah, 75 persen pembiayaan utang dari cost overrun tersebut, atau sekitar 900 juta dolar AS, dikenakan bunga pinjaman sebesar 3,4 persen per tahun, atau 34 kali lipat dari bunga yang ditawarkan Jepang.

Sehingga, total bunga pinjaman Proyek Kereta Cepat saat ini mencapai 120,6 juta dolar AS, atau sekitar Rp 1,97 triliun per tahun (kurs Rp 16.300 per dolar AS). Padahal, penawaran bunga pinjaman dari Jepang hanya sekitar Rp 75 miliar saja.

”Berdasarkan penjelasan saya tersebut, maka KPK harus segera menyelidiki dugaan mark up dan korupsi proyek KCJB itu. KPK jangan berkelit lagi. Rakyat mengawasi,” pungkas Anthony. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *