Distorsi Pembangunan Ekonomi Pemerintahan Joko Widodo (Bagian II)

  • Bagikan

REALISASI pertumbuhan ekonomi periode 2015-2019 hanya mencapai rata-rata 5,0 persen per tahun, jauh di bawah target atau janji kampanye 7,0 persen, dan lebih rendah dari pertumbuhan dua periode lima-tahunan sebelumnya yang mencapai rata-rata 5,6 persen dan 5,8 persen per tahun pada periode 2005-2009 dan 2010-2014.

Tetapi, pertumbuhan ekonomi cukup baik, bukan berarti ekonomi secara keseluruhan dalam kondisi baik-baik saja, atau aman-aman saja. Artinya, ekonomi bisa mengalami krisis meskipun pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, seperti pengalaman Turki pada 2018, atau Indonesia pada 1997-98 dengan pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 7,3 persen per tahun selama 1992-1996. Bahkan pertumbuhan ekonomi 1995 dan 1996 masing-masing mencapai 8,2 dan 7,8 persen.

Meskipun demikian, ekonomi Indonesia masuk krisis pada 1997 dan 1998. Pertumbuhan ekonomi Turki pada 2017 juga terbilang tinggi, mencapai 7,5 persen. Tetapi, mata uang Lira Turki terdepresiasi tajam pada 2018, sehingga memicu krisis mata uang (moneter) dan krisis ekonomi. Lira Turki terdepresiasi 72 persen dalam 8 bulan pertama 2018, dengan depresiasi 11,4 persen pada bulan Mei dan 32,75 persen pada bulan Agustus 2018.

Ekonomi Turki hanya bisa selamat setelah beberapa negara Uni Emirat Arab membantu memberi pinjaman untuk menghentikan capital outflows. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi Turki mengalami terjun bebas menjadi 3 persen pada 2018 dan 0,8 persen pada 2019.

Baca juga :   Antiklimaks Soekarnoisme

Neraca Transaksi Berjalan dan Kurs Rupiah Melemah

Kinerja kurs mata uang sangat tergantung dari kinerja neraca transaksi berjalan. Kurs mata uang akan terdepresiasi kalau neraca transaksi berjalan mengalami defisit secara struktural. Untuk mengatasi kondisi defisit ini dan menahan kurs mata uang maka diperlukan aliran masuk modal asing (capital inflows), baik dari Investasi Langsung (PMA) maupun Surat Berharga (Portfolio: Saham dan Obligasi). Artinya, defisit neraca transaksi berjalan mengakibatkan aset domestik dikuasai oleh pihak Asing.

Kondisi ini membuat mata uang domestik rentan krisis. Ketika terjadi pelarian modal asing khususnya investasi Portfolio, atau yang dikenal dengan hot money, maka kurs mata uang domestik akan terdepresiasi tajam dan berpotensi memicu krisis moneter, seperti yang terjadi di Argentina, Turki dan Sri Lanka beberapa waktu yang lalu. Beberapa indikator ekonomi Indonesia sejak 2014 juga terus memburuk, seperti tercermin dari neraca Transaksi Berjalan dan neraca Keuangan Negara (APBN).

Defisit neraca Transaksi Berjalan (= transaksi internasional) terus memburuk, dari surplus 32,4 miliar dolar AS pada periode 2005-2009 menjadi defisit 74,2 miliar dolar AS pada periode 2010-2014, dan defisit membesar menjadi 111,6 miliar dolar AS pada periode 2015-2019.

Defisit neraca transaksi berjalan ini membuat utang luar negeri melonjak dari 293,3 miliar dolar AS menjadi 403,6 miliar dolar AS selama lima tahun sejak 2014 hingga 2019. Penambahan utang luar negeri ini dimotori oleh pemerintah dan BUMN (swasta). Utang luar negeri pemerintah naik 61,4 persen dan swasta (termasuk BUMN) naik 22,6 persen, selama 5 tahun hingga akhir 2019.

Baca juga :   Sudah Bosan Bikin Judul “Anies Tak Terbendung”, Tapi Begitulah Faktanya

Defisit neraca transaksi berjalan berkepanjangan membuat kurs rupiah terdepresiasi tajam, dari Rp 9.425 per dolar AS pada akhir tahun 2009 menjadi Rp 12.385 pada akhir tahun 2014, dan terdepresiasi lagi menjadi Rp 13.882 per dolar AS pada akhir tahun 2019. Bahkan kurs rupiah sempat terdepresiasi hingga Rp 15.220 per dolar AS pada 29 Oktober 2018.

Ketahanan Fiskal Semakin Rapuh

Kondisi keuangan negara juga semakin buruk dan rapuh. Defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) membesar sehingga membuat utang pemerintah naik tajam dari Rp2.608,8 triliun pada 2014 menjadi Rp4.784,7 triliun pada 2019, atau naik 83,4 persen. Salah satu sebabnya karena penerimaan negara, khususnya penerimaan pajak, relatif melemah. Rasio Penerimaan Pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) turun dari 11,4 persen pada 2014 menjadi 9,8 persen pada 2019, menunjukkan kondisi fiskal semakin mengkhawatirkan. Penurunan Rasio Penerimaan Pajak ini mencerminkan kebijakan Tax Amnesty dan kebijakan fiskal gagal.

Dampaknya beban bunga pinjaman juga meningkat tajam. Rasio Beban Bunga terhadap Penerimaan Pajak naik dari 11,6 persen (2014) menjadi 17,8 persen (2019). Defisit transaksi berjalan dan defisit APBN pada gilirannya membuat kebijakan moneter tidak berdaya, tersandera kondisi fiskal yang semakin rapuh, dan membuat ekonomi tertekan. Karena Bank Indonesia harus mempertahankan tingkat suku bunga relatif tinggi untuk menarik minat investor membeli obligasi pemerintah maupun swasta.

Baca juga :   Surya Paloh, Anies-Imin dan Last Battle

Ilusi Sukses Pembangunan Infrastruktur

Banyak pihak klaim bahwa pemerintahan Jokowi berhasil dalam belanja “produktif” yaitu belanja modal dan infrastruktur. Dalam nilai nominal, Belanja Modal memang selalu naik setiap tahunnya karena kenaikan Pendapatan Negara dan Belanja Negara. Tetapi, berdasarkan nilai relatif terhadap Belanja Negara, rasio Belanja Modal terhadap Belanja Negara tersebut hanya 9,37 persen untuk periode 2015-2019. Rasio ini lebih rendah dari dua periode lima tahunan sebelumnya, yang keduanya mencapai 9,46 persen.

Selain itu, pemerintahan Jokowi juga memberdayakan banyak perusahaan negara (BUMN) untuk membangun proyek-proyek infrastruktur komersial seperti jalan tol, bandar udara, pelabuhan atau kereta angkutan masal seperti LRT di Palembang atau kereta cepat Jakarta Bandung. Sayangnya, banyak BUMN tersebut kemudian menghadapi masalah cashflows serius, sehingga memicu penjualan aset besar-besaran, dan mengalami rugi. Kerugian BUMN ini pada akhirnya memaksa pemerintah untuk menambah penyertaan modal negara kepada BUMN, yang
mencapai Rp143,2 triliun untuk periode 2015-2019. (Bersambung)

Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *