Gibran Tetap Diujung Tanduk

  • Bagikan
MASIH BELUM AMAN: Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka (kanan) saat menjalani tes kesehatan di RSPAD Gatot Subroto, Kamis (26/11).

MAJELIS Kehormatan Mahkamah Konstitusi ( MKMK) pada Selasa, 7 Nopember 2023 telah mengakhiri sidang pemeriksaan terhadap Hakim MK dengan membacakan Putusan yang pada pokoknya memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK, menyatakan Saldi Isra tidak melanggar soal dissenting opinion, memberi sanksi teguran tertulis kepada Arief Hidayat serta sanksi teguran lisan kepada enam hakim lainnya.

Seluruhnya secara kolektif dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kode etik, meski dengan tingkat pelanggaran beragam dan bertingkat.

Selain itu, itu pada MKMK menyatakan tidak berwenang untuk menilai Putusan MK dan menegaskan bahwa Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi hakim MK. Saldi Isra ditetapkan untuk memimpin pemilihan Ketua MK baru. Perubahan Putusan menjadi kewenangan MK, bukan MKMK.

Baca juga :   Jelang Lengser, Jokowi Semakin Lemah dan Terpojok

Putusan MKMK dinilai lunak karena untuk kategori “pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim” semestinya Anwar Usman bukan hanya diberhentikan dari jabatan Ketua MK, tetapi sesuai UU Nomor 48 Tahun 2009 dan PMK Nomor 1 Tahun 2023 Pasal 41 c dan 47, sanksi yang layak adalah “diberhentikan dengan tidak hormat”.

Putusan MKMK dinilai inkonsisten di satu sisi karena tidak berwenang menilai Putusan MK. Akan tetapi di sisi lain, MKMK menilai dan menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi hakim MK. Darimana kewenangan MKMK yang berada di area “etik” masuk ke penafsiran UU tentang Kekuasaan Kehakiman?

Baca juga :   KPK atau Kejagung Periksa Kaesang...

Meski demikian, Gibran Rakabuuming Raka sebagai cawapres tetap berada diujung tanduk, karena;

Pertama, jika Pasal 17 ayat (5) berlaku dan menjadi alasan konflik kepentingan Anwar Usman terhadap Gibran, mengapa ayat (6) tidak berlaku? Padahal, kedua ayat tersebut berada dalam “satu paket” atau sangat berkaitan erat. Hakim MK dapat mengabaikan Putusan MKMK.

Kedua, MK dengan komposisi baru nanti berhak untuk melakukan pemeriksaan ulang untuk membatalkan Putusan 90/PUU-XXI/2023, karena Putusan tersebut sangat kontroversial dan “hanya” didukung oleh 3 (tiga) hakim dari 9 (sembilan) hakim. Putusan tersebut merupakan rekor Putusan terburuk di dunia.

Gibran tetap berada di ujung tanduk karena rakyat tetap mengkritisi lolosnya Gibran atas rekayasa dan peran paman Anwar Usman. Nepotisme itu sangat terang benderang terjadi di depan mata. Anwar Usman sendiri di samping terkena sanksi administrasi, juga terancam sanksi pidana sebagaimana ketentuan UU Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 22.

Baca juga :   Pertumbuhan Ekonomi Q1/2024 Sebesar 5,11 Persen: Manipulatif?

Gibran yang berada diujung tanduk membawa konsekuensi bahwa Prabowo pun berada di ujung tanduk. Jika MK “baru” melakukan perubahan pada Putusan No. 90/PUU-XXI/2023, maka akan berakibat rontok atau batal pasangan Prabowo-Gibran.

Rakyat akan terus mendesak MK “baru” untuk segera mengoreksi putusan kontroversial, memalukan dan memilukan tersebut. Kembalikan kewarasan cara berhitung bahwa 3 (tiga) lawan 6 (enam) itu yang menang adalah 6 (enam) bukan 3 (tiga)! (*)

M. Rizal Fadillah;
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan, tinggal di Bandung.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *