INDOSatu.co – JAKARTA – Menteri HAM Natalius Pigai menyebut, sesungguhnya kewenangan Komnas HAM adalah Pemantauan dan Mediasi Kasus. Pernyataan Pigai mencuat ke permukaan merespon anggaran Komnas HAM di 2025 yang dipangkas Rp 41 miliar dari pagu Rp 112,8 miliar. Sehingga, anggaran tersisa sekitar Rp 71,6 miliar.
Pigai mengatakan, jika Komnas HAM menentukan anggaran penanganan kasus SIPOL dan EKOSOB untuk 1 tahun jumlahnya 100 kasus dengan rincian biaya pemantauan 1 kasus sebesar Rp 40 juta, maka cukup hanya dengan Rp 5 miliar/tahun.
”Nah, 100 kasus dalam 1 tahun itu bisa menghadirkan keadilan bagi rakyat dan bisa selesaikan banyak kasus HAM seperti PIK2 atau kasus siswa di Semarang, khususnya kekerasan aktor negara dan swasta,” kata Natalius Pigai dalam keterangannya kepada INDOSatu,co, Ahad (16/2).
Tugas dan fungsi utama Komnas HAM itu bukan sosialisasi dan pendidikan. Juga bukan menyusun regulasi yang memang bukan domainnya. Tugas utama adalah mengawasi dan mengawasi pembanguan HAM oleh pemerintah dan swasta, serta memastikan agar proses hukum di peradilan berjalan secara objektif dan profesional serta imparsial.
Karena itu, Pigai, menegaskan tidak ada alasan menyalahkan Pemerintah, apalagi pakai alasan akibat efisiensi. Efisiensi tidak hanya Komnas HAM, namun semua instansi pusat dan daerah.
”Saran saya sebaiknya Komnas HAM konsen saja sebagai lembaga independen negara sesuai prinsip Paris agar predikat Indonesia di mata PBB bagus,” kata Pigai.
Pigai mengaku akan terus berkomitmen memberi kepastian kewenangan. Apalagi, tugas dan fungsi Komnas HAM dalam revisi Undang-undang HAM sudah di prolegnas DPR RI.
Pigai justru mempertanyakan mengapa mainstreaming human rights di seluruh dunia gagal? Kegagalan itu, kata Pigai, karena lembaga independen negara (Komnas HAM) gagal mengawal kebijakan pembangunan HAM pemerintah, seperti pemenuhan kebutuhan HAM soal sandang, pangan dan papan.
”Mereka lebih konsen ke kasus-kasus SIPOL yang secara kuantitatif jumlahnya kecil dibanding kasus-kasus (ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB). Mereka tidak pernah bicara tentang anak-anak yang tidak makan, tidak sehat, dan tidak pintar,” pungkas Pigai. (*)