INDOSatu.co – JAKARTA – Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di Provinsi Bali belakangan ini mendapat perhatian serius dari Ketua DPR RI Puan Maharani. Menyikapi fenomena tersebut, Puan meminta pemerintah segera bertindak nyata untuk mengantisipasi terjadinya badai PHK yang lebih besar lagi di Pulau Dewata itu.
“Gelombang PHK yang juga melanda daerah pariwisata seperti Bali menjadi bukti bahwa sektor ketenagakerjaan di Indonesia sedang rapuh. Kita berharap Pemerintah bisa segera bertindak nyata menyelamatkan para tenaga kerja kita,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (13/6).
Sebelumnya, sekitar 100 pekerja di sektor pariwisata di Bali mengalami PHK sejak awal 2025. Laporan PHK terhadap 100 pekerja dari salah satu hotel besar di Badung itu terjadi akibat lesunya kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition).
Terbaru, sebanyak 70 karyawan PT Coca Cola Bottling Indonesia juga terkena PHK. Pabrik yang berlokasi di Desa Werdi Bhuwana, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, itu juga dipastikan tutup mulai 1 Juli 2025 mendatang.
Puan menilai, gelombang PHK di Bali merupakan cermin nyata kerapuhan struktur ketenagakerjaan nasional, khususnya di daerah-daerah yang sangat bergantung pada sektor tertentu.
“Kita tidak bisa menganggap gelombang PHK di Bali yang semakin melebar hanya sebagai kasus sporadis. Badai PHK terjadi karena adanya sebab-akibat. Pemerintah harus bisa menjawab tantangan ini,” tegas perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
“Gelombang PHK bisa berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Baik karena industri yang melemah, maupun karena menurunnya daya beli masyarakat akibat ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian,” imbuh Puan.
Puan melihat hingga saat ini belum terlihat mekanisme konkret dan terukur dari Pemerintah pusat maupun Pemerintah daerah untuk merespons PHK massal yang semakin meluas.
“Termasuk belum ada skema pelatihan ulang (reskilling) yang siap dijalankan dan dukungan bagi pekerja yang di-PHK lalu memutuskan menjadi wirausaha kecil maupun pekerja di sektor informal,” ucap mantan Menko PMK tersebut.
Puan pun menilai, PHK yang kini merambah dari sektor manufaktur ke sektor pariwisata menunjukkan ketidaksiapan sistem ketenagakerjaan nasional dalam menghadapi tekanan ekonomi.
“Bahkan daerah seperti Bali yang selama ini menjadi ikon pariwisata Indonesia, terkesan dibiarkan menghadapi krisis ini sendirian,” jelas Puan.
Karena itu, Puan mendorong pemerintah pusat untuk segera membentuk Gugus Tugas Nasional Penanggulangan PHK, dengan prioritas daerah terdampak seperti Bali, Batam, dan kawasan industri lainnya.
“Penting juga mengevaluasi kebijakan efisiensi anggaran secara selektif. Efisiensi pastinya baik, tapi tetap juga harus mendukung ekonomi kerakyatan. Sektor seperti MICE yang memiliki multiplier effect tinggi tidak bisa disamakan dengan sektor belanja birokrasi biasa,” paparnya.
Selain itu, Puan juga meminta Pemerintah mengintegrasikan program Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Pariwisata, terutama dalam hal pelatihan digital, peralihan sektor kerja, dan penguatan UMKM berbasis pariwisata.
“Tentunya juga harus ada insentif khusus untuk sektor hospitality dan manufaktur yang terbukti menyerap banyak tenaga kerja di tingkat lokal,” terang Puan.
“Jangan biarkan narasi pertumbuhan ekonomi jadi bising di pusat, tapi hening di daerah. Jika negara gagal hadir di tengah krisis ketenagakerjaan ini, maka kepercayaan publik akan runtuh perlahan,” sambungnya.
Puan menekankan bahwa PHK bukan sekadar persoalan statistik semata, tetapi permasalahan sosial masyarakat yang berdampak pada kehidupan jutaan keluarga di Indonesia.
“Pemerintah harus segera membuktikan bahwa Negara tidak hanya pandai bicara di panggung konferensi, tetapi juga tanggap dalam melindungi pekerja yang kini kehilangan pekerjaan dan sebagian juga kehilangan harapan,” tutup Puan. (*)