DALAM sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) hari Senin, 19/9/2022, majelis hakim komisi menolak memori banding Ferdy Sambo. Komisi menguatkan hukuman Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari Polri atas tindakan yang dilakukannya terkait dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua (Birgadir J).
Mengapa Sambo minta banding? Seratus persen jawabannya karena dia tetap ingin menjadi polisi dan menyandang pangkat Irjenpol. Enjoy besar, duit besar. Syukur-syukur bisa naik menjadi Kapolri.
Di lingkungan Polri, Sambo memang setengah dipastikan akan naik ke kursi nomor satu. Dan itu tak lama lagi andaikata rekayasa pembunuhan berencana Brigadir J berjalan mulus. Dia sudah mengaspal jalannya menuju posisi puncak itu. Aspal hotmix. Paling lama berselang satu Kapolri berikutnya setelah Listyo Sigit. Bahkan, ada yang mengatakan target Sambo sebelum Pilpres 2024.
Memang dahsyat permainan Sambo. Harus diakui kehebatan dia mengatur strategi untuk merebut posisi penting ini. Drive utamanya tentulah duit besar agar tidak ada satu pun bintang yang merintang.
Duit besar bukan masalah bagi Sambo. Menurut berbagai sumber yang tahu manuver Sambo, berapa pun modalnya bisa dia carikan. Dan ritual sesajen duit ini sudah dia lakukan.
Ini pula yang, kelihatannya, membuat Sambo percaya diri merekayasa cerita tentang pembunuhan Brigadir J. Dia yakin skenario yang melibatkan banyak personel kepolisian dari lintas bidang dan berbagai pangkat, dari briptu hingga jenderal, akan berhasil.
Termasuklah banding PTDH itu. Maunya Sambo, meskipun dia tersangka pembunuh anak buahnya, tapi status dan pangkatnya tidak hilang. Dalam khayalannya, Sambo akan kembali menjadi petinggi Polri setelah menjalani hukuman yang berkemungkinan untuk direkayasa menjadi ringan. Satu-dua tahun, misalnya. Setelah itu, Irjen Sambo aktif kembali dan lebih kuat. Lebih ganas.
Entah nalar apa yang digunakan Sambo. Orang sejagad raya ini ingin agar dia segera masuk penjara seumur hidup tanpa remisi. Atau bahkan dibawa ke lapangan eksekusi mati di hadapan regu tembak. Publik sudah sangat geram. Kelompok polisi yang baik-baik pun juga marah kepada Sambo.
Ternyata, Sambo berpikiran lain. Dia, tampaknya, yakin bisa lepas dari kasus pembunuhan ini. Hanya saja Sambo lupa bahwa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak punya pilihan lain. Dia harus memecat mantan Kadiv Propam itu karena seperti itulah tuntutan publik.
Pemecatan Sambo juga tersirat dalam instruksi lisan Presiden Jokowi kepada Jenderal Sigit. Sejalan pula dengan tuntutan untuk membangun kemdali Polri yang kini porak-peranda akibat tindak-tanduk Sambo.
Kapolri tak mungkin membiarkan Sambo tetap menyandang pangkat Irjen, sementara dia berperan sentral dalam pembunuhan Yoshua. Kapolri mengikuti nalar yang sehat dan normatif.
Seharusnya, Sambo tidak mengajukan banding atas keputusan pertama majelis hakim sidang KKEP yang mengganjar dia dengan PTDH. Tapi, rupanya, Sambo tidak mengenal konsep “tahu diri”. Lebih dominan “percaya diri” yang selama ini dia pupuk dengan uang tanpa nomor seri.
Memang Sambo berhak mengajukan banding. Namun, ada akal sehat yang seharusnya menjadi konsultan Sambo sebelum meminta banding. Meskipun akal sehat itu hilang-hilang timbul di kepala Irjen yang dilabeli cerdas itu.
Karena itu, rasa heran publik terhadap pemintaan banding Sambo hanya bisa dijawab dengan dugaan bahwa polisi bintang dua ini percaya jaringan mafia yang dibangunnya di Polri sudah sangat masif dan kuat. Dia yakin jaringan ini bisa menolong.
Sambo mungkin menyangka para petinggi Polri akan merasakan tekanan berat untuk mengabulkan memori bandingnya. Tekanan berat yang mungkin datang dari para perwira tinggi dan perwira menengah yang berada di jaringannya.
Inilah nalar yang digunakan Sambo. Nalar premanisme.
Asyari Usman;
Penulis asalah Jurnalis Senior FNN