INDOSatu.co – JAKARTA – Banyaknya pengaduan nasabah korban Jiwasraya ke DPD RI ternyata membuat iri DPR RI. Terbukti, Komisi VI DPR RI telah mengirim surat ke DPD, seolah DPR RI yang lebih berwenang dibanding DPD RI dalam menangani kasus Jiwasraya tersebut.
Senator Bambang Santoso, anggota Pansus DPD menilai, bahwa, apa yang dilakukan Komisi VI DPR merupakan bentuk intervensi. Komisi VI juga dianggap tidak memahami konfigurasi hukum yang secara limitatif disebutkan di masing-masing tatib DPR RI dan DPD RI. Apalagi kedua lembaga tersebut juga memiliki alat kelengkapan dewan yang disebut panitia khusus (Pansus).
Bambang mengatakan, pihaknya bekerja sesuai dengan amanat Undang-Undang. Dia menjamin hasil Pansus DPD soal Jiwasraya akan lebih menguatkan agar hak korban terlindungi. Kalaupun hasilnya nanti berbeda dengan Komisi VI DPR RI, perlu ada harmonisasi antar lembaga. ‘’Jadi, tidak perlu disikapi berlebihan lah,’’ kata Bambang.
Secara kelembagaan, kata Bambang, Komisi VI DPR RI diminta memahami etika. Tidak pantas selevel komisi memberi surat teguran kepada DPD RI yang bertujuan ingin membubarkan pansus. Sementara, DPD RI memiliki otoritas untuk itu.
‘’Tindakan Komisi VI itu akan mencoreng dan menjatuhkan wibawa institusi,’’ kata senator asal Bali itu.
Bambang mempersilakan Pansus DPR RI berjalan sendiri dan jangan mencoba mengintervensi kewenangan Pansus DPD RI, melainkan harus dipandang sebagai bentuk komunikasi antara lembaga negara.
Sebab, ungkap Bambang, manajemen Jiwasraya sudah dua kali mangkir dari undangan Pansus DPD RI. Jiwasraya terkesan melecehkan lembaga DPD yang notabene merupakan lembaga negara.
Karena itu, Bambang meminta Jiwasraya segera memenuhi panggilan Pansus DPD RI. Alat kelengkapan dewan ini dibentuk merujuk pada Tatib DPD Nomor 2 tahun 2019. Tujuannya, antara lain, menginventarisasi secara komprehensif dan terperinci berkenaan dengan permasalahan; dan menyajikan peta permasalahan sebagai potret kondisi terkini, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Dengan demikian, DPD RI berkepentingan secara hukum meminta penjelasan atau klarifikasi kepada BPK RI, Pemerintah Pusat, Pemda serta lainnya, seperti tertuang dalam Pasal 121 huruf a Tatib DPD No. 2 Tahun 2019 (Vide Pasal 122) dan lembaga lain terkait panggilan Pansus.
jika lembaga terkait dipanggil hingga tiga kali tidak memenuhi panggilan untuk mengklarifikasi masalah yang dipansuskan, kata Bambang, maka DPD RI dapat mengambil langkah hukum dengan merujuk pada temuan Pansus, baik secara pidana maupun administrasi.
Klarifikasi yang akan dilakukan Pansus, termasuk rencana Pendiri (BOD Jiwasraya) yang akan melikuidasi DPPK Jiwasraya, yang tentu berdampak pada pembubaran Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), yang berarti akan terhentinya pembayaran pensiun bulanan bagi para pensiun Jiwasraya sekitar 2.145 peserta pensiunan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Padahal peserta pensiun yang dikelola DPPK Jiwasraya telah memenuhi segala kewajiban membayar iuran pensiun yang dipotong dari gaji tiap bulan dari PT. Asuransi Jiwasraya. Demi kesejahteraan bagi karyawan di hari tuanya dan menjaga kesinambungan penghasilan. (adi/red)



