Jika Anies Dipenjarakan

  • Bagikan

ISU memenjarakan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta sekaligus tokoh yang digadang-gadang menjadi Capres 2024 sangat kencang setelah berbagai media massa memberitakan video Andi Arief, tokoh Partai Demokrat, yang mengungkapkan percakapan seseorang dengan Jokowi terkait keinginan Jokowi akan memenjarakan siapa saja tokoh-tokoh yang dia inginkan di penjara sehubungan dengan Pilpres 2024 mendatang.

Bisnis.com dalam “Klarifikasi Andi Arief Usai Sebut Jokowi Bakal Penjarakan Anies dan Ketum KIB” pada Senin (26/9), memuat pernyataan Andi Arief itu; “Kenapa dua calon Pak Presiden [Jokowi]? Kan Ada Anies ada Ganjar. ‘Oh, Anies kan sebentar lagi masuk penjara. Terus partai-partai lain di KIB apa segala, kalau tidak nurut tinggal masuk penjara aja gitu’.”

Meski Andi mengklarifikasi video itu hanya untuk kalangan internal, tapi Andi belum mengklarifikasi tentang isinya. Selain itu, pernyataan Andi sendiri sepertinya memperkuat pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelumnya, bahwa dia akan turun gunung meluruskan arah demokrasi karena adanya keinginan kekuasaan merekayasa pemilu hanya diikuti dua calon presiden saja.

Pernyataan Andi dan SBY ini awalnya ditanggapi beragam, seperti menyepelekan kredibilitas isu tersebut. Sebab, mereka melihat langkah SBY sebatas mengamankan anaknya AHY untuk bisa menjadi Cawapres Anies Baswedan saja, ketimbang urusan bangsa.

Namun, hari ini kita digegerkan oleh berita Koran Tempo, Sabtu (1/10), yang memberitakan upaya ketua KPK Firli Bahuri untuk memenjarakan Anies Baswedan. Dalam berita yang viral di seluruh media sosial, Tempo menulis judul “Manuver Firli Menjegal Anies”, yang memuat antara lain; bahwa Ketua KPK Firli Bahuri ditenggarai terus menerus mendesak satuan tugas pengusut kasus Formula E untuk menetapkan Anies sebagai tersangka. Namun, tim pengusut kesulitan menemukan bukti permulaan.

Tempo yang terkenal dengan kemampuan investigasi berita, menguraikan bahwa Firli berusaha keras menjadikan Anies tersangka sebelum Anies ditetapkan sebagai Capres oleh beberapa partai yang akan mendukungnya. Intervensi Firli ini juga dengan mencari berbagai ahli, seperti Profesor Romli Atmasasmita, untuk dirayu memberikan pandangan hukum bahwa Anies bisa jadi tersangka. Dalam berita ini, Romli menolak. Alhasil kita melihat rangkaian co-existensi pernyataan SBY dan Andi Arief dengan berita Tempo hari ini, memang ada kecenderungan penggunaan kekuasaan dalam merusak demokrasi saat ini.

Mengapa Anies Harus Dipenjarakan?

Memenjarakan Anies adalah salah satu atau satu-satunya jalan untuk menjegal Anies mengikuti Pilpres 2024. Cara yang lainnya adalah mempertahankan PT (Presidential Threshold) yang tinggi (20 persen), menghalangi terbentuknya koalisi partai-partai yang bisa mengusung Anies dan menghancurkan potensi logistik (pengusung) Anies. Namun, cara ini kelihatannya tidak akan sukses. Sebab, koalisi pendukung Anies, yang dimotori Surya Paloh, semakin kedepan semakin solid.

Ada tiga hal penting memotivasi penjegalan Anies. Pertama, survei-survei pilpres tentang Anies. Kedua, pandangan geostrategis Anies. Ketiga, trauma kekalahan Ahok 2017.

Soal survei-survei, kita harus membagi survei yang tergolong kredibel dan propagandis. Dari semua survei dengan jenis manapun, Anies masuk dalam 3 besar. Artinya, sulit menyingkirkan Anies dari survei. Nah, selanjutnya adalah survei kredibel. Kredibel bukan dalam pengertian Reasearsch (Validitas dan Reliabilitas), tapi lembaga surveinya. Yang ingin saya bahas adalah Center for Strategic and International Studies (CSIS) terbaru. Lembaga ini didirikan di era Orde Baru, dengan tujuan pembangunan, free market capitalism, dan penghilangan politik ideologis. Terutama penihilan Islam politik. (Anomali terjadi ketika pimpinan CSIS, Dr. Rizal Sukma, menduduki jabatan pimpinan di Ormas Muhammadiyah, beberapa tahun lalu).

Baca juga :   Hutang dan Demokrasi Ecek-Ecek

Pada saat pertemuan tokoh-tokoh oposisi nasional, di Blok M, Selasa (20/9), yang diselenggarakan Perhimpunan Menemukan Kembali Indonesia (PMKI), Rizal Dharma Putra, pimpinan Lesperssi, lembaga “Think-Tank Pertahanan” (Lembaga ini diundang terbatas bertemu dengan Jenderal Mark Milley, The United States Joint Chiefs of Staff, pada kunjungan ke Jakarta Juli lalu) memetakan CSIS saat ini pro Tiongkok. Perjalanan panjang CSIS, terlepas dari misinya, lembaga ini adalah lembaga Think-Tank tertua dan terbesar. Sehingga, kepentingan lembaga ini untuk mempertahankan kredibilitas cukup tinggi.

Nah, CSIS mengeluarkan survei terbaru yang mengejutkan jagat politik Tanah Air. Jika terjadi head to head antara Anies-Ganjar maupun Anies-Prabowo, Anies menang. Anies vs Ganjar 47,8 persen vs. 43.9 persen  (7, 6 persen belum tahu), Anies vs Prabowo 48,6 persen vs. 42,8 persen dan Ganjar vs Prabowo, 47,25 persen vs 45 persen. Kenapa terkejut? Dari sisi metodologi, konsep survei dengan metode “general to focus” mulai 14 capres, pengecilan ke 7 capres, lalu ke 3 capres dan diakhiri ke head to head adalah metode reiterasi dan penegasan, yang mana responden berjenjang tanpa keraguan memilih calonnya. Hasil ini sulit diragukan, karena konsistensi responden dapat menunjukkan reliabilitas alat survei tersebut.

Survei CSIS ini mengambil responden milenial dan generasi Z (umur 18-39 tahun). Jumlahnya diperkirakan 60 persen pemilih saat ini. Meski kita tidak bisa menarik ekstrapolasi dan membangun kesimpulan untuk seluruh populasi, namun suara milenial dan suara generasi Z ini adalah suara masa depan bangsa Indonesia. Ini merupakan bukti pembusukan terhadap Anies selama ini, baik dengan isu hukum, identitas Arab/non Jawa, gagal membangun Jakarta, toh tidak mampu menghancurkan Anies.

Alasan lain penjegalan Anies adalah pandangan Geostrategis Anies. Selama ini, Anies terlihat sangat dekat dengan barat. Berbeda dengan Jokowi yang dekat ke Peking. Terakhir, terlihat Anies Baswedan menjadi tamu keluarga Lee, penguasa Singapura, selama 5 hari, beberapa minggu lalu. Menjadi tamu keluarga Lee berbeda dengan beberapa elit kita yang hanya diundang oleh Rajaratman Institute, Nangyang Technology University atau lembaga lainnya di Singapura. Diundang keluarga Lee artinya Anies tidak diragukan oleh barat dan “Chinese Overseas Network”.

Kedekatan Anies dengan Barat tentu mencemaskan Peking yang selama ini berusaha mengendalikan Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya. Menurut Rizal Dharma Putra, pengangkatan mantan Duta Besar China di Indonesia menjadi direktur Asia Kementerian Luar Negeri Peking, merupakan simbol keseriusan China untuk tetap mendominasi politik Indonesia. Artinya, kehadiran Anies menjadi sebuah kecemasan, khususnya ketika pertarungan Barat vs. China semakin menegangkan di kawasan ini, dan laut China Selatan.

Baca juga :   Antara Kisah Yusuf dan Joshua, Kapolri Diuji

Ketiga, adanya benturan identitas yang tersimbol pada Anies, sejak pertarungan Anies vs Ahok tahun 2017 di Jakarta. Orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai bukan “identitas Anies” meyakini bahwa Anies adalah ancaman besar bagi keberlanjutan dominasi mereka dalam era kepemimpinan Jokowi.

Tiga alasan penjegalan Anies di atas sebenarnya bukan problem Anies Baswedan sendiri. Pertama, kemenangan seseorang dalam bingkai demokrasi adalah tanggung jawab bangsa ini secara keseluruhan. Upaya-upaya (rezim) Jokowi untuk merusak demokrasi dengan isu perpanjangan jabatan dan isu 3 periode semakin kedepan semakin mengecil. Terakhir upaya kelompok tersebut menjadikan Jokowi wakil presiden 2024, kemungkinan mendampingi Prabowo. Namun, rencana ini tidak mendapat dukungan rakyat alias tidak populer. Jika demokrasi dijalankan dan Anies memenangkan pertarungan melawan Ganjar dan Prabowo, maka itulah pilihan terbaik rakyat. Tentu saja jangan sekali-kali diintervensi kekuasaan.

Soal geopolitik, Indonesia memang sampai saat ini belum melihat untungnya bersekutu dengan Peking. Baik dari sisi pembangunan maupun pengentasan kemiskinan. Yang berkembang selama ini malah kemiskinan dan pengangguran yang terus membesar, berkuasanya oligarki, hutang melangit, munculnya kebencian terhadap ulama, hancurnya demokrasi dan hal-hak asasi manusia serta penangkapan tokoh-tokoh oposisi (seperti yang terjadi pada saya, dkk) tanpa tuduhan yang jelas. Sehingga, wajar saja kehadiran Peking di Indonesia kurang populer dan sulit dipertahankan. RRC harus merefleksi diri dalam membangun hubungan yang baik dengan Indonesia kedepan. Jika meniru era Sukarno dengan Poros Jakarta-Peking, tentu dapat dimaklumi, karena persekutuan yang dibangun adalah untuk kesejahteraan kaum proletar.

Sedangkan soal ketiga, yang menyangkut pertarungan identitas, pihak “non-Anies” harus merefleksi diri. Identitas yang terafiliasi dengan Anies adalah identitas perlawanan terhadap kaum kolonial. Artinya bersifat historis. Apalagi berbagai tokoh yang tadinya berseberangan dengan Anies, seperti Sunny Tanujiwidjaja, tangan kanan Ahok, dan Surya Tjandra, tokoh buruh yang membangun partai PSI, sudah menyatakan mendukung Anies kedepan. Keduanya adalah kelompok oposit Anies, selama ini. Artinya, urusan identitas ini dapat diselesaikan, jika mau.

Resiko Memenjarakan Anies

Memenjarakan Anies bisa saja dilakukan jika nafsu kekuasaan dan konspirasi oligarki serta Peking tetap menguat. Persoalannya adalah resiko yang akan ditanggung sangat besar. Pertama, Anies adalah kanalisasi kelompok identitas yang selama ini oposit terhadap rezim Jokowi. Politik kanalisasi sejak dulu kalau diperlukan untuk meredam gejolak sosial yang besar.

Kelompok Islam yang merasa teraniaya oleh rezim Jokowi selama ini, berpretensi bahwa jalan demokratis masih merupakan sebuah jalan, dengan Anies sebagai pemimpinnya. Anies membuat adanya migrasi dukungan politik, dari yang revolusioner yang didengungkan Habib Rizieq, menjadi teknokratis yang dilakukan Anies. Jika ini tidak terjadi, maka gejolak ummat akan bertemu dengan situasi tanpa pilihan, yakni mendukung Habib Rizieq.

Baca juga :   Jurus Tiga Angin Hakim MK

Kedua, resiko atau ancaman ekonomi politik ke depan terlalu besar untuk dihadapi rezim Jokowi sendiri. Jokowi, Luhut Pandjaitan dan Sri Mulyani sudah menyinggung ini berkali-kali bahwa tahun 2023 akan memasuki resesi. Mereka mengatakan, saatnya memperkuat persatuan nasional, solidaritas dan kerjasama menghadapi ancaman resesi besar. Dalam pidatonya di Puncak Hari Maritim, Luhut Pandjaitan mengatakan “Kalau kita semua kompak, semua kita satu bahasa dalam keadaan yang sangat krusial ini di mana dunia diramalkan akan memasuki global crisis, perfect storm akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan, kita harus menata negeri kita dengan baik” (Liputan 6, Senin (27/9). Bahkan, Luhut Pandjaitan dan anaknya Jokowi, Gibran, mendatangi Rocky Gerung, tokoh oposisi, untuk menyampaikan pesan perdamaian.

Lalu bagaimana jika Anies dipenjarakan? Tentu saja gelombang oposisi dan umat Islam tidak bisa menerimanya. Sebab, selain berprestasi dan merengkuh berbagai penghargaan nasional, Anies juga terlalu banyak menyandang penghargaan internasional untuk pembangunan yang berhasil dia karyakan. Kasus E-Formula sangat diragukan unsur korupsinya, berbeda dengan kasus E-KTP, di mana diberitakan bahwa Ganjar menerima uang suap $500 ribu.

Ketiga, jika Anies dipenjarakan, untuk menjegal Anies, atau kriminalisasi politik, maka tentu saja rezim Jokowi terus menerus meruntuhkan demokrasi. Tidak ada tanda-tanda Jokowi ingin memulihkan demokrasi. Sejarah yang dibangun Jokowi akan menjadi sejarah buruk yang dikenang bangsa Indonesia. Jokowi harus berubah. Bangsa ini terlalu banyak cacatnya selama Jokowi berkuasa. Satu soal saja seperti Kasus Sambo, dimana cita-cita Supremasi Hukum berubah menjadi Mafia Hukum, sudah menyita energi bangsa yang besar. Apalagi jika merusak demokrasi.

Berita Tempo tentang upaya KPK memenjarakan Anies dan pernyataan SBY adanya rekayasa pilpres dan penjegalan calon serta video Andi Arief soal pemenjaraan Anies telah mengagetkan bangsa Indonesia. Memenjarakan Anies sangat beresiko pada gejolak sosial kedepan. Hal ini bertentangan dengan kata-kata rezim yang melihat perlunya kekompakan dalam menghadapi krisis ke depan (Perfect Storm). Situasi “rumput kering” bangsa ini, yang gampang terbakar, dapat seketika berubah menjadi ganas dan liar. Banyak negara lain menjuluki Indonesia sebagai bangsa ramah tamah, tapi semua tahu bahwa puluhan tahun lalu, di tanggal hari ini, jutaan rakyat mati karena saling bunuh, karena kebencian politik dan dendam.

Anies adalah kanalisasi politik oposisi, khususnya umat Islam. Memilih jalan demokrasi adalah jalan damai bagi sharing tanggung jawab mengurus bangsa ini. Namun, memenjarakan Anies atas dasar haus kekuasaan, merupakan jalan kekerasan, yang akan selalu dikenang sebagai jalan haram.

Jika Anies dipenjarakan, resikonya terlalu besar, dan rakyat pasti memberontak.

Dr. Syahganda Nainggolan;
Penulis adalah Ketua Pusat Kajian Sabang Merauke Circle.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *