INDOSatu.co – JAKARTA – Langkah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri dinilai blunder. Bahkan, Tim Transformasi Reformasi Polri bentukan Kapolri memicu perdebatan luas di ruang publik.
Keputusan Kapolri yang mengumumkan lebih dulu dibanding rencana reformasi kepolisian yang tengah disiapkan Presiden Prabowo Subianto itu menimbulkan pertanyaan tentang koordinasi, arah kebijakan, dan potensi dinamika politik di baliknya.
Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi, Selasa (23/9). Pria yang juga yang juga Koordinator Indonesia Bersatu itu menilai terjadi malkoordinasi yang tidak bisa dianggap enteng. Langkah Kapolri mendahului presiden yang sekarang sedang kunjungan ke luar negeri menimbulkan tafsir liar di masyarakat.
Padahal, untuk menata Polri ke depan, Presiden Prabowo sudah mengangkat Jenderal Ahmad Dofiri sebagai Penasehat Khusus Presiden bidang Reformasi Polri. Apa yang dilakukan Kapolri itu dinilai mendahului kerja Jenderal Ahmad Dofiri yang konon pelantikannya baru menunggu kehadiran Presiden usai lawatan ke luar negeri.
Muslim Arbi mengatakan, sejak gelombang demonstrasi besar pada Agustus 2025 yang menuntut perbaikan kinerja dan akuntabilitas Polri, wacana reformasi kepolisian menguat. Presiden Prabowo bahkan telah mengisyaratkan pembentukan Komite Reformasi dengan melibatkan unsur sipil, akademisi, dan pakar hukum. Di tengah ekspektasi itu, Kapolri tiba-tiba mengumumkan pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri yang sepenuhnya diisi pejabat internal kepolisian.
“Langkah ini terkesan mendahului agenda presiden. Ini benar-benar membingungkan pengamat dan publik. Bukan hanya soal prosedur, tetapi juga tampaknya menunjukkan sinyal politik tentang siapa yang memegang kendali proses Reformasi di tubuh Polri.”
Sebagaimana banyak diberitakan, Tim Transformasi Reformasi Polri disebut terdiri dari para jenderal aktif, mulai dari pejabat utama di Mabes Polri hingga kepala divisi strategis. Tidak ada nama dari kalangan sipil seperti akademisi hukum atau aktivis hak azasi manusia. Padahal, banyak pihak menilai reformasi sejati menuntut keterlibatan publik.
“Lazimnya sebuah pembaharuan di lembaga, agar bisa melakukan tindakan maksimal dan optimal, maka selayaknya reformasi di tubuh Polri itu selibatkan pihak-pihak di luar instansi tersebut. Tanpa perwakilan sipil, sulit berharap rekomendasi tim ini bebas dari bias internal. Transparansi dan akuntabilitas akan lemah jika hanya diawasi oleh institusi itu sendiri,” katanya.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun menyuarakan keprihatinan serupa, mendesak agar Presiden Prabowo memastikan reformasi kepolisian melibatkan unsur independen seperti mantan Menkopolhukam Mahfud MD atau tokoh hukum lainnya.
Manuver Geng Solo
Lebih lanjut, Muslim Arbi mengaitkan langkah Kapolri dengan dugaan manuver politik yang ia sebut sebagai strategi “Geng Solo”—istilah yang merujuk pada lingkaran kekuasaan politik yang dekat dengan mantan Presiden Joko Widodo dan keluarga besar yang berasal dari Solo.
Geng itu sekarang masih bercokol di Pemerintahan Prabowo, walaupun dia sudah berkuasa hampir setahun. Terkesan pembersihan mereka dilakukan Prabowo dengan lambat dan hati-hati.
“Ini cara mempertahankan posisi Listyo Sigit sebagai orang nomor satu di Polri,” ujar Muslim.
Menurutnya, dengan membentuk tim internal, Kapolri berusaha menunjukkan inisiatif reformasi agar tidak ada alasan dari pihak istana untuk melakukan pergantian pucuk pimpinan dalam waktu dekat. Padahal masyarakat mendesak agar Presiden mengganti Listyo Sigit karena sudah sudah terlalu lama menjadi Kapolri, yaitu sejak Januari 2021.
Dikatakan, meski istilah “Geng Solo” bernada politis dan belum tentu menggambarkan fakta yang terverifikasi, wacana ini menambah kompleksitas persepsi publik tentang independensi Polri.
Sumber di lingkaran pemerintahan menyebutkan bahwa Presiden Prabowo sebenarnya tengah menyiapkan agenda reformasi lebih menyeluruh yang akan diumumkan dalam beberapa minggu ke depan. Agenda itu direncanakan melibatkan pakar hukum, tokoh masyarakat, dan perwakilan lembaga swadaya masyarakat untuk menjamin transparansi.
Langkah Kapolri yang mendahului pengumuman presiden dikhawatirkan menimbulkan tumpang tindih kebijakan. “Jika tidak disinkronkan, bisa muncul persepsi adanya dua jalur reformasi: satu versi Polri dan satu versi pemerintah,” papar Muslim.
Pembentukan tim internal Polri tanpa konsultasi terbuka dinilai dapat menurunkan legitimasi proses reformasi. Ada kekhawatiran bahwa laporan dan rekomendasi tim hanya bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar masalah, seperti penegakan hukum yang transparan, pengawasan independen, dan pembenahan kultur kekuasaan di tubuh Polri.
Muslim melihat risiko perseteruan institusional jika pemerintah pusat menilai langkah Kapolri sebagai bentuk “perlawanan halus” terhadap arahan presiden. Dalam konteks politik yang tengah sensitif, ketidakharmonisan ini dapat dimanfaatkan pihak tertentu untuk menggiring opini publik.
Muslim memprediksi beberapa skenario. Pertama, pemerintah dan Polri dapat segera menyatukan langkah dengan melebur tim internal ke dalam komite nasional reformasi. Kedua, tim Polri jalan sendiri, namun berisiko hanya menghasilkan rekomendasi simbolik. Ketiga, muncul gesekan politik yang memperpanjang proses pembenahan institusi.
“Bagi publik, reformasi kepolisian adalah kebutuhan mendesak, bukan sekadar wacana politik. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci agar upaya ini tidak dipersepsikan sebagai manuver mempertahankan jabatan atau kekuasaan,” demikian Muslim Arbi. (*)



