Kerusuhan di Morowali Utara, Ketua Umum KSPSI: Akibat Ketidakadilan terhadap Pekerja Lokal

  • Bagikan
MINTA DIBATALKAN: Ketua Umum KSPSI, Moh. Jumhur Hidayat menyikapi wacana kebijakan PPATK yang akan membekukan rekening milik rakyat yang tidak aktif selama tiga bulan dengan dalih untuk mengantisipasi tindak kejahatan pencucian uang.

INDOSatu.co – JAKARTA – Bentrok yang berujung kerusuhan dan mengakibatkan tiga pekerja tewas (dua dari Indonesia, satu dari China) antara tenaga kerja asing (TKA) dan pekerja lokal di PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali Utara menimbulkan keprihatinan mendalam bagi Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Moh. Jumhur Hidayat.

Menurut Jumhur, kejadian tersebut jauh sebelumnya sudah diprediksi karena kebijakan pemerintah terkait pembiaran derasnya TKA, khususnya dari China memang sudah sangat keterlaluan. Kawasan industri yang terjadi di berbagai wilayah tanah air, termasuk di Morowali Utara sudah seperti “negara dalam negara”.

Di kawasan-kawasan industri milik China itu, sudah bukan rahasia umum bahwa upah TKA China besarnya berkali-kali lipat lebih banyak dari upah pekerja lokal untuk jenis pekerjaan yang sama. Belum lagi fasilitas lebih bagus yang diberikan kepada TKA dengan alasan mereka orang asing.

Baca juga :   Jumhur Hidayat: Pesangon Tenaga Kerja Bongkar Muat di Jakarta Minimal Rp 100 Juta

”Banyak faktor yang mempengaruhi dan menjadi pemicu kerusuhan itu terjadi, salah satunya ketidakadilan bagi pekerja lokal,” kata Jumhur dalam rilis resmi kepada INDOSatu.co, Ahad (15/1) malam.

Beberapa aturan, kata Jumhur, termasuk aturan ketenagakerjaan boleh dibedakan dengan aturan yang pada umumnya berlaku di wilayah Indonesia atau sengaja diubah demi investor dari China. Seperti, kata dia, aturan pajak dan aturan tidak boleh diskriminatif terhadap pekerja, aturan ekspor hasil tambang wajib dijual dengan harga murah ke smelter-smelter yang notabene sekitar 90 persen milik China.

Baca juga :   Hadir di Milad ke-109, Presiden Jokowi Puji Muhammadiyah

Adapun yang dirasa menjadi penyebab ketegangan adalah karena puluhan ribu pekerja asing (TKA) tidak berpendidikan layak atau pekerja kasar ternyata bisa menjadi pekerja di kawasan itu, namun keberadaan mereka eksklusif karena tidak bisa berbaur dengan pekerja lokal, akibat tidak diwajibkan bisa berbahasa Indonesia, seperti aturan yang pernah berlaku selama puluhan tahun sebelumnya.

Melihat keadaan ini, ungkap Jumhur, maka suatu hal yang sangat mendesak untuk dilakukan audit, baik regulasi maupun pelaksanaan regulasi terkait dengan investasi dari China ini, karena sungguh sangat merugikan, baik bagi pendapatan negara maupun dalam bidang ketenagakerjaan.

Baca juga :   Desak Dibatalkan, AASB Anggap Perppu Jadi Bukti Rezim Otoriter dan Anti Demokrasi

”Apa untungnya bagi rakyat Indonesia bila dalam investasi dari China itu, bahan-bahan pembangunan pabrik dan mesinnya langsung diimpor dari China, perusahaan mendapat bebas pajak atau tidak bayar pajak (tax holiday) bisa sampai 25 tahun, membawa TKA kasar yang upahnya berkali-kali lipat dibanding upah lokal.

Selain itu, keuntungan usaha sepenuhnya milik perusahaan China dan untuk Indonesia paling hanya kebagian sewa tanah dan penyerapan pekerja murah. Sementara itu, setelah mengeruk kekayaan luar biasa yang ditinggalkan adalah lingkungan hidup yang rusak. (adi/red)

 

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *