Ketika Buzzer Membajak Ruang Publik

  • Bagikan

RUANG publik kita hari ini kian dipenuhi tontonan memuakkan. Talkshow televisi dan forum-forum diskusi di media sosial bukan lagi arena pertukaran gagasan, melainkan panggung gaduh para “termul”—istilah yang belakangan muncul untuk menyebut buzzer dengan gaya cover bothside.

Mereka hadir bukan untuk memberikan pencerahan, melainkan untuk memproduksi kebisingan yang membingungkan publik. Fenomena ini kerap dibungkus dengan alasan cover boothside atau keseimbangan pemberitaan. Media merasa harus menghadirkan pihak pro dan kontra.

Namun dalam praktiknya, prinsip ini sering disalahartikan: asal ada suara yang keras, asal ada perdebatan, meski tanpa kapasitas maupun otoritas untuk berbicara. Cover bothside pun direduksi sekadar menjadi gimmick “dua kursi berlawanan” yang saling teriak, bukan menghadirkan representasi sah yang benar-benar relevan.

Baca juga :   Korupsi Terus

Lebih jauh, kemunculan termul bukan sekadar masalah teknis media. Kehadiran mereka seringkali merupakan bagian dari upaya sistematis untuk mengaburkan fakta-fakta kebobrokan yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade terakhir.

Alih-alih membahas substansi, mereka memelintir isu, menggeser arah diskusi, bahkan menjadikan kebohongan sebagai alat untuk menutup rapuhnya fondasi kebijakan publik.

Tidak jarang, isu-isu serius yang menyangkut integritas pejabat atau kualitas penyelenggaraan negara justru dibelokkan menjadi sekadar adu mulut. Padahal, representasi yang wajar bisa saja diberikan oleh kuasa hukum, lembaga resmi, atau partai politik yang terkait.

Baca juga :   Memutasi Pejabat Sedang Haji. Pantaskah?

Tapi media lebih memilih termul, karena kegaduhan lebih menjual dibanding analisis tenang yang lahir dari pakar atau akademisi. Pakar isi dan bobot pemikiran para akademisi lebih bisa mendidik publik.

Inilah akar masalahnya: media semakin tunduk pada rating, sementara demokrasi semakin kehilangan martabatnya. Publik dibiarkan percaya bahwa kebenaran bisa ditentukan oleh siapa yang paling lantang, bukan oleh siapa yang paling beralasan.

Baca juga :   Mendag Zulkifli Hasan Sangat Kejam Hambat Kiriman PMI

Lama-kelamaan, masyarakat akan terbiasa hidup dalam ilusi, menerima kegaduhan sebagai kebenaran, dan menganggap fakta sebagai hal yang bisa dinegosiasikan. Media perlu memikirkan agar menghadirkan narasumber yang kredibel dan memahami persoalan, bukan karena keras-kerasan adu mulut.

Jika pola ini dibiarkan, maka yang hilang bukan hanya akal sehat kolektif, tetapi juga kesadaran kritis bangsa. Ruang publik kita akan terus terperangkap dalam kegaduhan yang diciptakan, sementara persoalan nyata yang menumpuk dibiarkan tanpa solusi. (*)

Nazaruddin;
Penulis adalah Kolumnis, Pemerhati Sosial Politik.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *