Ketimbang Wacanakan Pemilu Hybrid, HNW: MK Lebih Tepat Putuskan Pemilu Sistem Terbuka

  • Bagikan
INGATKAN TOLERANSI: Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid meminta agar kepala daerah memfasilitasi Salat Id warga Muhammadiyah yang jatuh pada 21 April mendatang.

INDOSatu.co – JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI, Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA mengkritik pernyataan hakim konstitusi Prof. Arief Hidayat yang mewacanakan dipergunakannya sistem pemilihan umum (pemilu) hybrid. Pernyataan Arief itu disampaikan dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut HNW, sapaan akran Hidayat Nur Wahid, statemen itu tidak sesuai dengan yang dimohonkan dan tidak sejalan dengan tugas pokok dan fungsi Hakim Konstitusi, yaitu untuk menguji konstitusionalitas norma.

HNW mengingatkan, tugas MK itu adalah memutus, apakah norma yang sedang diuji itu bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau tidak. Atau dengan kata lain, menguji konstitusionalitas suatu norma. Karena itu, kata HNW, mestinya yang disikapi adalah apakah permohonan agar sistem Pemilu diubah dari terbuka menjadi tertutup itu sesuai dengan Konstitusi (UUD NRI 1945) atau tidak? Bukan malah membuat wacana sistem yang tidak ditanyakan. yaitu sistem hybrid dengan mengakomodasi sistem terbuka untuk memilih calon Presiden dan anggota DPD, serta dan tertutup untuk pemilu Legislatif.

”Sebuah sistem yang juga sudah dilaksanakan pada Pemilu tahun 2004, yang oleh MK diubah menjadi semuanya dengan sistem terbuka sejak Pemilu tahun 2009 hingga 2019,” ujar HNW melalui siaran pers di Jakarta, Senin (10/4).

Baca juga :   Kuota Terpenuhi, Kemenag Ingatkan Masyarakat Tak Tergiur Tawaran Haji dengan Visa Lain

HNW mengatakan bahwa, terkait dengan sistem mana yang lebih baik atau kurang baik, sebaiknya diserahkan kepada pembentuk undang-undang sebagai bentuk dari open legal policy, yang biasanya menjadi pegangan dasar sikap MK. “Jadi, MK sebaiknya cukup menegaskan bahwa sistem pemilu terbuka yang berlaku saat ini bagaimana dari segi konstitusionalitasnya. Bukan justru mengusulkan sistem yang lain, yang tidak diusulkan oleh para Pemohon,” tutur anggota DPR RI dari PKS dari DKI Jakarta II ini.

Lebih lanjut, HNW menjelaskan, jika MK konsisten dengan putusannya pada tahun 2008 yang lalu, maka sudah selayaknya bila permohonan pengujian sistem pemilu terbuka ini dinyatakan ditolak. Sebab sejak awal, kata HNW, MK justru yang menyatakan sistem pemilu terbuka ini lah yang lebih sejalan dengan ketentuan UUD NRI 1945, bukan sistem yang lain.

HNW mengaku sudah mendengar adanya upaya untuk memperbaiki sistem pemilu dengan motode hybrid, tetapi hal tersebut sebaiknya diserahkan kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah. “Misalnya, ada usulan hybrid dengan suara caleg yang mencapai suara 30 persen, maka ditetapkan sebagai caleg terpilih. Namun, apabila suara partai yang mencapai 30 persen ke atas, maka partai yang menentukan caleg terpilih,” ujar Wakil Ketua Badan Wakaf Ponpes Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini.

Baca juga :   Soroti Usulan Kenaikan BPIH 2023, Saleh Daulay: Tidak Bijak dan Beratkan Jemaah Haji

Model pemilu dengan sistem hybrid itu, ungkap HNW, memang memerlukan kajian dan diskusi yang mendalam. Karena itu, forum yang tepat dalam mendiskusikannya adalah dalam proses revisi UU Pemilu di DPR, bukan dalam persidangan di MK. Sebab, masalah itu bukan berkaitan dengan konstitusionalitas norma. ”Jadi. forum yang tepat untuk mendiskusikannya adalah di DPR bersama dengan Pemerintah dengan melibatkan publik dan mengundang banyak pakar,” tukas HNW.

HNW berharap MK dapat fokus untuk mengadili permohonan sistem pemilu terbuka yang saat ini sedang dimohonkan. Sehingga, tidak melebar kemana-mana. MK sebaiknya segera memutus menolak permohonan itu, karena sistem pemilu terbuka yang merupakan produk keputusan MK sendiri yang bersifat final dan mengikat itu, tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.

”Namun, apabila dalam persidangan ada perkembangan mengarah ke sistem hybrid, biarkan lah itu menjadi menjadi bagian dari open legal policy yang pembahasannya berada di ranah DPR dan Pemerintah selaku pembuat undang-undang,” tukas alumni Universitas Islam Madinah, ini.

Baca juga :   Tiga Jemaah Haji Belum Ditemukan, Menag Tutup Penyelenggaraan Haji 2025

Selain itu, lanjut HNW, MK juga harusnya konsisten dalam memeriksa legal standing atau kedudukan hukum pemohon dalam perkara tersebut. Sebab, dalam berbagai peristiwa judicial review perkara lain, MK sangat concern dengan permasalahan legal standing pemohon. HNW mengingatkan bahwa yang menjadi pemohon dalam perkara sistem pemilu ini adalah perorangan, bukan partai politik. Padahal, Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik, bukan perseorangan.

Berdasarkan argumentasi tersebut, kata HNW, sudah seharusnya MK menyatakan bahwa permohonan uji materi ini tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (putusan NO) karena pemohon tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan ini. Memang ada Partai yang mendukung sistem pemilu tertutup, tapi malah tidak ikut mengajukan permohonan judicial review.

”Sementara 8 dari 9 Partai peserta Pemilu yang lolos ke Parlemen (mayoritas mutlak) justru menolak perubahan kembali ke sistem tertutup, dan mengusulkan agar Pemilu 2024 tetap dengan sistem terbuka,” pungkas pria asli, Klaten, Jawa Tengah ini. (adi/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *