SANGAT sulit untuk mendefinisikan Indonesia, sebagai sebuah negara apa? Sebagai sebuah bangsa apa? Ideologi apa yang menuntun cara hidupnya? Kebudayaan apa yang menopang karakternya? Lalu apa yang sudah dilakukan dan dirasakan dalam upaya menghadirkan kemakmuran dan keadilan sebuah negara bangsa yang tak kunjung ada?
Tahun ini NKRI akan memasuki usia 77 tahun kemerdekaannya, tepatnya pada 17 Agustus 2022 mendatang. Sebuah perjalanan sejarah negara bangsa yang tidak lagi bisa dibilang seumur jagung. Tapi sayangnya, sejauh ini Indonesia belum bisa memastikan pada fase dan posisi apa negara sekarang berada.
Semenjak proklamasi kemerdekaan RI digaungkan, situasi politik dan ekonomi bangsa terus mengalami turbulensi, baik skala nasional maupun internasional. Meski pernah mempeloporiAsia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955, yang ikut melahirkan gerakan kebangsaan berujung kemedekaan negara-negara dunia ketiga di Asia Afrika. Juga memperkenalkan Pancasila dalam forum sidang PBB tahun 1960 dan menjadi proyek mercusuar paling fenomenal di tengah dunia sedang dikuasai ideologi barat dan timur yang mewujudkan dominasi sekaligus hegemoni dan dominasi ideologi kapitalis dan komunis.
Namun rezeki tak kunjung datang, malang tak dapat ditolak. Suasana kejayaaan bangsa yang sepertinya tampak pada awal-awal kelahiran dan pertumbuhan periode kemerdekaan itu, harus mengalami abortus. Republik dilanda karut-marutnya pemerintahan karena pemberontakan dan perang saudara, kemudian tragedi 1965 yang menandai tumbangnya rezim Soekarno, disusul jatuhnya rezim Soeharo yang diikuti pembajakan reformasi, serta semakin banyaknya gelombang kemunduran bangsa hingga sekarang di bawah kekuasaan rezim saat ini.
Masa-masa itu, Indonesia yang tergolong baru dalam percaturan politik internasional, memang berhasil mencuri perhatian dunia. Dengan kekayaan negara yang begitu menggiurkan, baik dari aspek sumber daya alam maupun posisi geografis, geostrategic, dan geopolitis. Indonesia menjadi sebuah potensi besar, sekaligus ancaman bagi tata pergaulan internasional, terutama bagi kepentingan negara adidaya. Suasana perang dingin yang berlangsung, memaksa Indonesia ditempatkan menjadi faktor penting yang harus terus menjadi bagian penting dari politik intervensi dan konspirasi global. Dengan kata lain, meskipun telah menjadi negara merdeka dan berdaulat, negara maritim dan kepulauan itu tak bisa lepas dari rekayasa dan politik subversif tingkat dunia.
Hasilnya kemudian, negara kesejahteraan itu tak pernah berhasil diwujudkan. Indonesia yang berdaulat dalam bidang politik, kemandirian dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan hanya menjadi pepesan kosong. Setelah sekian lama, amanat para pendiri bangsa itu berangsur-angsur dihadapi rakyat dengan sikap skeptis dan apriori, malah telah dianggap utophi. Alih-alih berhasil membangun karakter nasional bangsa.
Justru faktanya, komitmen nasionalisme yang telah diikat dalam bingkai Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, malah melahirkan dan membesarkan negara yang pada akhirnya hanya menjadi bangsa kuli di atas kuli. Sebuah negara yang rakyatnya telah hidup dalam atmosfer penjajahan manusia atas manusia dan penjajahan bangsa atas bangsa. Sementara rakyat terus mengalami pembelahan sosial, konflik horisontal dan vertikal menganga siap memuntahkan degradasi dan disintegrasi bangsa. Lebih miris lagi, para pejabat tidak lagi menampilkan laku amanah dalam kepemimpinan nasional. Yang terjadi justru sebaliknya. Marak dan bangga dengan tabiat penghianatan dan kejahatan negara.
Indonesia tengah memasuki situasi dan kondisi terancam menjadi negara gagal, karena pemerintahan yang ambigu, tak punya visi dan tanpa integritas. Kehidupan rakyat, negara dan bangsa larut dalam perilaku kontradiksi dan ambivalensi. Seketika bangunan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang telah menjadi falsafah, pondasi dan panduan bernegara sebagai konsensus nasional, nyaris tak terpakai, kalau tak mau disebut mengalami disfungsi.
Negara yang kultur dan naturnya, tumbuh dan sarat asupan spritualitas dan keagamaan, terus mengalami distorsi sekulerisasi dan liberalisasi. Tidak sedikit kearifan lokal yang menjadi rahim kebudayaan nasional terus tergerus arus modernitas. Apa yang dulu menjadi warisan nenek moyang sebagai nilai-nilai, kini telah tergantikan oleh ambisi mengejar materi. Negara bangsa ini, kini dirasuki tradisi memburu harta dan jabatan. Kesurupan berjamaah, menanggalkan keberadaban dan meninggalkan Ketuhanan.
Bunuh Diri Masal sebuah Bangsa
Tiga orde kepemimpinan nasional telah menancapkan kuku dan rekam jejaknya dalam perjalanan sejarah Indonesia. Bangsa ini seharusnya bisa belajar dari pemimpin-pemimpin, seperti Soekarno dan Soeharto ataupun sesudahnya. Lepas dari kelebihan dan kekurangannya, tata kelola pemerintahan dan penyelenggaraan negara dapat bercermin, memetik pelajaran dan mengambil hikmahnya. Perbedaan pandangan ideologi dan tinjauan strategi serta taktis dalam implementasi pembangunan. Tidak serta merta membuat pilihan kebijakan dan penggunaan kekuasaan yang mempertaruhkan dan beresiko tinggi pada persatuan dan kesatuan bangsa.
Betapapun perselisihan dan konflik yang terjadi, selalu diupayakan dan menjadi prioritas bisa diakhiri dengan mengutamakan keselamatan dan masa depan Indonesia. Pancasila, UUD 1945 dan NKRI selalu menjadi tolok ukur dan pegangan, meskipun secara sistem nilai dan tataran praksis belum bisa diimplemenasikan. Setidaknya, kebhinnekaan dan kemajemukan bangsa tetap terpelihara, dan Pancasila menjadi katalisator sekaligus perekat kebangsaan yang tumbuh di dalamnya. Meskipun perbedaan tak bisa disatukan, setidaknya dapat hidup bersama dan damai sebagai sebuah bangsa yang penuh keragaman.
Sayangnya dan sangat memprihatinkan, legacy Orde Lama dan Orde Baru yang bisa menjadi refleksi serta evaluasi kebangsaan guna meraih kehidupan rakyat yang lebih baik, gagal dimanfaatkan. Peluang Orde Reformasi yang setidaknya dapat menjadi babak baru bagi kehidupan negara bangsa yang nasionalis, religius dan demokratis. Tak mampu memenuhi harapan dan keinginan rakyat. Penanggalan kekuasaan tiran yang otoriterian dan diktatorian sulit dilakukan, hingga kini tak terelakan dan terus berjalan. Bahkan, jauh lebih buruk lagi.
Apa yang baik pada masa Orde Lama dan Orde Baru tak dapat menjadi teladan. Sedangkan apa yang buruk pada Orde Lama dan Orde Baru terus dilanjutkan di Orde Reformasi. Praktik-praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) pemerintahan bertebaran dimana-mana. Perampokan uang negara dalam balutan utang dan investasi telanjang mengeruk sumber daya alam terus dirasakan.
Konflik sosial menjadi menu sehari-hari rakyat hingga dalam keseharian pergaulan di ruang nyata dan media sosial. Rezim kekuasaan semakin represi di tengah-tengah depresi rakyat akibat kenaikan harga sembako dan pajak yang tinggi. Ketidak-idealan yang mulai mengarah dan pantas disebut kebiadaban itu, semuanya terangkai menjadi satu realitas kehidupan rakyat dalam kesengsaraan dan ketertindasan panjang dan tak bertepi.
Pejabat dan aparat negara serta para pemimpin sosial dan keagamaan, semakin abai terhadap amanat penderitaan rakyat. Perilaku kekuasaan semakin arogan, mengabaikan Tuhan karena uang dan kedudukan. Rakyatnya pun menganut kebiasaan yang serba permisif. Banyak yang ketakutan dan tak memiliki kesadaran kebangsaan, enggan bersikap kritis dan melakukan perubahan. Kalau ada yang melakukan perlawanan, pelbagai cara dilakukan untuk mengupayakan penggembosan atau pembusukan. Fenomena menggelikan, saat elit dan irisan kelas pinggiran bersatu dalam persekongkolan jahat, meski hanya sebagian kecil yang terlibat sebagai buzzer, influencer, bahkan penikmat dan penjilat kekuasan sekalipun.
Jadilah bangsa ini kemudian secara terstruktur, sistematik dan masif, menjadi bangsa yang tanpa identitas, tanpa keinsyafan dan tujuan. Tanpa ideologi dan dibawah kendali kapitalisme dan komunisme global mewujudkan oligarki. Nyaman menjadi bangsa yang artifisial nasionalis religius, nasionalis, tapi tak mencintai tanah airnya, beragama tapi tanpa spititualitas.
Sepertinya bangsa ini sedang mempersiapkan bunuh diri masal. Lalu apa yang pantas diberi julukan untuk bangsa ini? Pancasila kah? Kapitalisme kah? Komunisme kah? Atau bangsa yang bukan sebagai apa-apa?
Kita ini sebenarnya bangsa apa?…
Yusuf Blegur;
Penulis adalah Pegiat Sosial dan Aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari, mantan Presidium GMNI.