INDOSatu.co – YOGYAKARTA – Harapan publik terhadap pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung untuk melahirkan pemimpin yang peka pada isu kerakyatan dan minoritas dinilai gagal diwujudkan. Pernyataan tersebut disampaikan Pakar Politik Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, M.A.
Akademisi yang juga Dosen Ilmu Pemerintahan (IP) Universitas Muhammadiyah (UMY) mengatakan, problem utama dalam Pilkada langsung saat ini adalah kooptasi oleh ‘bandar’ atau pemilik modal. Konsekuensinya, kata dia, pemimpin yang terpilih disibukkan dengan upaya “balik modal” di dua tahun pertama masa jabatan, dan bukan mendengar suara rakyat.
“Harapan publik pilkada langsung melahirkan pemimpin yang peka kepada rakyat pada kenyataannya dikooptasi oleh bandar, sebagai pemilik modal,” tegas Ridho, yang juga telah disampaikan dalam acara Bedah Riset: Dinamika Narasi Politik dan Preferensi Pemilih yang diadakan oleh Yayasan LKiS..
Mahalnya biaya politik juga disorot, bahkan Ridho menyebut besaran anggaran reses anggota DPR RI yang mencapai Rp 705 juta per kunjungan, dengan total Rp 3,5 miliar per tahun per anggota. Ia mempertanyakan alokasi dana reses yang seharusnya untuk menyerap aspirasi rakyat, seperti di DIY yang total dananya bisa mencapai Rp 20 M untuk 8 anggota DPR RI, tapi belum terlihat wujud manfaatnya secara nyata kepada masyarakat.
Lebih jauh, Ridho mengungkap praktik politik uang dan biaya kursi yang fantastis. Ia mengonfirmasi kasus Pilkada Barito Utara di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan politik uang sebesar Rp 16 juta, yang bahkan ia sebut lebih besar setelah dikonfirmasi ke KPK.
Selain itu, ia menyebutkan fenomena jual-beli kursi di tingkat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai, dengan contoh di Kalimantan Timur di mana harga dukungan per kursi bisa mencapai Rp 2 M dan dijual dalam bentuk paket.
Dalam konteks pengawasan pemilu, Ridho mengkritisi lemahnya sistem yang ada, bahkan secara kontroversial mengusulkan pembubaran Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Ia menilai, Gakkumdu tidak efektif karena Bawaslu hanya memiliki satu suara melawan dua suara dari Kejaksaan dan Kepolisian, yang membuat proses peradilan pemilu sulit bisa fair.
“Bagi saya, sudahlah, kalau mau memperkuat, bubarkan saja Gakkumdu itu, berikan kewenangan pada Bawaslu sebagai badan, termasuk peradilan,” usulnya.
Di akhir paparannya, Ridho menyebut bahwa yang tersisa di Republik ini hanyalah kekuatan civil society (masyarakat sipil). Ia mendorong agar civil society terus bersuara, bahkan sesekali harus “keras” karena pemerintah dianggap butuh dikerasi untuk mau mendengar kritikan, merujuk pada kasus-kasus yang berhasil dimenangkan oleh desakan publik. (*)



