SETIAP musim haji, saya sebenarnya ingin mengkritik keberadaan Tim Petugas Haji Daerah (TPHD) di dalam setiap kloter (kelompok terbang). Saya menganggap, manfaat TPHD selama ini tidak jelas, dan overlapping (tumpang tindih) dengan tim petugas haji kloter yang dari pusat.
Musim haji tahun ini, saya semakin semangat untuk mempertanyakan apa sebenarnya urgensi TPHD. Gara-garanya, ada berita cukup viral di media sosial, terutama di kalangan warga Gresik, bahwa bupati mereka: Fandi Ahmad Yani berangkat haji dengan status sebagai TPHD.
Selama ini, setiap kloter jamaah haji sudah ada petugas dengan sebutan sebagai Tim Petugas Haji Indonesia (TPHI). TPHI ditentukan pusat, biasanya terdiri atas ketua kloter dan tim kesehatan kloter yang terdiri atas seorang dokter dan dua perawat/pembantu dokter. Juga, ada petugas sebagai pembimbing ibadah haji (TPIH). Mereka ini mendapatkan honor dari pusat yang nominalnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Nah, jika di setiap kloter sudah ada tim petugas haji yang ditentukan pusat, lalu apa gunanya TPHD? Apalagi, di setiap kloter juga sudah dibentuk ketua-ketua rombongan (karom) dan ketua-ketua regu (karu).
Menurut seorang pejabat di Kemenag Bojonegoro, TPHD dibentuk untuk membantu melayani jamaah haji di kloternya. Mereka harus membayar dua kali lipat ONH/BPIH (ongkos naik haji/biaya perjalanan ibadah haji) reguler. Yaitu, sekitar Rp 93 juta untuk tahun ini. TPHD harus mendapatkan rekomendasi dari kepala daerah (bupati/walikota).
TPHD biasanya diisi tokoh masyarakat atau pejabat daerah. Keuntungan bagi TPHD, mereka bisa langsung berangkat haji, tanpa perlu antre puluhan tahun. ‘’Tahun ini jamaah haji Bojonegoro terbagi dalam 4,5 kloter, dan mendapatkan jatah 8 anggota TPHD. Yang menentukan jumlah TPHD adalah Pemprov Jatim.’’
Yang sering terjadi selama ini, jatah sebagai TPHD diberikan kepada pejabat setempat, atau orang dekat penguasa daerah. Karena mereka sehari-hari sebagai pejabat tokoh di daerahnya, mereka hampir mustahil mau membantu melayani jamaah haji. Apalagi, jika jamaah haji yang butuh bantuan/pertolongan itu kebetulan dari kalangan menengah ke bawah.
Selain itu, dalam praktiknya selama ini, TPHD minta pulang duluan. Misal, jika mereka masuk kloter gelombang II, yang harusnya setelah ibadah haji ke Madinah dulu sebelum pulang ke tanah air, mereka tidak mau ikut ke Madinah. Mereka minta pulang duluan dengan alasan kerjaan dan sebagainya. Mereka tidak mau pulang bersama dengan jamaah di kloternya.
Selama ini, perhatian pemerintah untuk melayani jamaah haji sebenarnya sudah cukup memadai. Di setiap kloter ada ketua kloter dan tim kesehatan. Juga disiapi obat-obatan. Jika ada jamaah membutuhkan pelayanan kesehatan, tim kesehatan kloter bisa melayaninya. Jika jamaah butuh pelayanan lebih lanjut, bisa dirujuk ke Daker (daerah kerja) di Makkah ataupun di Madinah. Jika di Daker masih membutuhkan pelayanan lebih lanjut, bisa dirujuk ke rumah sakit pemerintah Saudi Arabia yang bekerjasama dengan pemerintah Indonesia.
Jika jamaah haji membutuhkan bantuan/konsultasi, mereka bisa berkonsultasi dengan ketua regunya. Atau, ke ketua rombongannya. Jamaah lebih familiar dengan ketua regunya, atau ketua rombongannya (karom). Bisa jadi, jamaah akan berpikir seribu kali jika akan berkonsultasi dengan TPHD yang umumnya pejabat atau tokoh penting di daerah. Mungkin jamaah hajinya tidak kenal, atau takut, atau kuatir no reken, dan sebagainya.
Dari gambaran-gambaran di atas, rasanya memang layak dipertanyakan tentang tujuan, visi, dan misi rekrutmen TPHD dikaitkan dengan praktiknya di lapangan. Termasuk, layak dipertanyakan apa motif bupati Gresik sampai tertarik menjadi TPHD tahun ini.
Apakah motifnya karena dia yang sudah haji itu ingin bisa berhaji lagi tahun ini tanpa antre? Apakah dia ingin bisa cepat berhaji lagi dengan biaya yang jauh lebih murah dibanding biaya haji plus, yang bisa mencapai Rp 300 juta itu? Apakah mungkin dia punya motif ingin membantu melayani jamaah haji di kloternya? Kayaknya sih, motif yang ini rasanya mustahil. Istilahe pelawak alm Asmuni, suatu hil yang mustahal.
Mengapa saya katakan mustahil? Karena, selama lima tahun lalu menjadi bupati Gresik, H. Fandi Ahmad Yani bukanlah orang/pejabat yang dekat dengan rakyatnya (wong cilik). Dia juga dianggap kurang berhasil dalam membangun Gresik selama lima tahun kepemimpinannya.
Salah satu indikasinya, dalam Pilkada Serentak 2024 kemarin, Yani sebagai calon tunggal melawan kotak (bumbung kosong), perolehan suaranya di bawah 60 persen. Dia maju bersama Cawabup H. Asluchul Alif. Dalam Pilkada Gresik 2024, daftar pemilih tetap (DPT) 971.740. Warga yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 650.172. Pasangan Yani-Alif mendapatkan 366.944 suara, sedangkan bumbung kosong mendapatkan 247.479 suara.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan TPHD tidak banyak memberikan manfaat bagi jamaah di kloternya. Keberadaan TPHD sangat mungkin mengakibatkan overlapping dengan TPHI kloter. Karena itu, lebih baik TPHI yang ada selama ini lebih dioptimalkan lagi, sedangkan TPHD ditiadakan.
Daripada kursi (seat) diisi/diberikan kepada TPHD mungkin lebih baik diberikan kepada calon jamaah haji yang sudah antri puluhan tahun. Walau, dari segi keuangan, pemerintah tidak dirugikan dengan adanya TPHD, tetapi dari segi kemanfaatan, saya pikir keberadaan TPHD hampir tidak ada manfaatnya. Bagaimana menurut pendapat Anda? (*)
Mundzar Fahman;
Penulis adalah mantan wartawan Jawa Pos, tinggal di Bojonegoro.