Menyorot Kelemahan Barang Bukti Kasus Teddy Minahasa

  • Bagikan

TERNYATA Jaksa Penuntut Umum (JPU) senada dengan pandangan yang saya sampaikan sebagai ahli di persidangan. Bahwa, intinya, Teddy Minahasa (TM) tidak pernah memberikan perintah jahat kepada Dody Prawiranegara (DP). Dalam khazanah psikologi forensik, keterangan terdakwa dan saksi bisa mengalami distorsi dan fragmentasi. Baik secara alami maupun akibat manipulasi. Baik manipulasi sukarela maupun manipulasi karena dorongan pihak lain.

Memahami bahwa keterangan (confession) sangat potensial merusak proses pengungkapan kebenaran, maka harus ada pendekatan lain untuk menelisik sabu yang diamankan di Jakarta. Pokok pertanyaannya adalah, 3,3 kg sabu yang diamankan Polda Metro Jaya itu berasal dari mana? Serta, sejauh apa peran TM dan DP di balik sabu tersebut?

DP bersikukuh, sabu itu hasil penyisihan sebagaimana perintah dari TM yang tidak sanggup dia tolak dari TM. Sampai di pengakuan DP itu, TM terkunci sebagai sosok pimpinan yang punya niat jahat (criminal intent). Tapi, sekali lagi, itu pengakuan DP. Dan pengakuan adalah benda yang paling potensial merusak proses hukum.

Jadi, mari kita pakai matematika sederhana saja. Sumber datanya bukan pengakuan yang mengandalkan daya ingat, melainkan pesan WA Kapolres Bukittingi (DP) kepada Kapolda Sumatera Barat (TM). Rinciannya adalah penangkapan di Padang Dua (3.000 gr), Lapas Pariaman (4.000 gr), rumah Fadhil (36.000 gr), dan Jalu (1.500 gr). Jadi, total sabu yang diamankan sesungguhnya adalah 44.500 gr (44,5 kg). Ini bisa dicatat sebagai prestasi DP.

Sayangnya, kemudian terjadi perkembangan yang sungguh tidak wajar dan mencurigakan! Yaitu, seluruh sabu yang dilaporkan oleh DP ke TM hanya 39,5 kg (39.500 gr). Berarti ada selisih dengan berat aktual sabu yang diamankan dengan berat sabu yang dilaporkan sebesar 5 kg!

Baca juga :   Larangan Ekspor Nikel, Bahayakan Perdagangan Dunia-Keamanan Negara

Dari total sabu 39,5 kg yang dilaporkan tersebut, dimusnahkan sebanyak 35 kg. Berita Acara Pemusnahan ditandatangani oleh Kapolres Bukittinggi, Kajari Agam dan Kajari Bukittinggi, Ketua Pengadilan Negeri Lubuk Basung, tersangka M. Fadhil dan Roni Eka Saputra, serta penasihat hukum mereka.

Setelah pemusnahan 35 kg sabu tersebut, tersisa 4,5 kg (39,5 kg dikurang 35 kg). Sisa 4,5 kg tersebut diserahkan kepada Kejari Agam serta Kejari Bukittinggi untuk barang bukti di persidangan dan sampel uji laboratorium.

Dengan demikian, terbukti bahwa sabu seberat 39,5 kg telah lengkap, yaitu berasal dari 35 kg (dimusnahkan) dan 4,5 kg (diserahkan ke Kejari). Tapi jangan lupa, sekali lagi, ada 5 kg sabu yang–secara aneh dan mencurigakan–raib dari laporan DP. Di manakah sabu yang tidak dilaporkan DP seberat 5 kg itu?

Di Jakarta beberapa waktu kemudian terjadi kegemparan. DP, SM, Linda, Kasranto, dan beberapa nama lainnya diciduk Polda Metro Jaya dengan barang bukti berupa sabu seberat 3,3 kg. Nah, pertanyaan krusialnya adalah 3,3 kg sabu yang diamankan dari DP (2 kg), Linda (1 kg), dan lain-lain (300 gr) di Jakarta itu berasal dari mana? Milik siapa? Bagaimana mereka mendapatkannya?

Patutlah untuk dibangun spekulasi bahwa 3,3 kg sabu di Jakarta itu merupakan hasil penyisihan sebagian dari 5 kg sabu yang–secara misterius bahkan mencurigakan–tidak termasuk dalam laporan DP. Bahkan, masuk akal untuk menduga bahwa masih ada 1,7 kg sabu yang tersimpan di suatu tempat yang belum bisa didefinitifkan. Apabila sabu seberat 1,7 kg itu disebut-sebut telah dijual, maka harus dipastikan bahwa pembelinya pun diproses hukum oleh Polda Metro Jaya. Namun tidak ada indikasi pihak pembeli tersebut (kalau ada) telah diamankan, apalagi disidang.

Baca juga :   Cak Imin Cawapres, Bisa Jadi Skenario Penjegalan Anies?

Sahlah, persidangan tidak butuh bersusah payah menggali pengakuan dari para saksi dan terdakwa. Keterangan mereka bisa saja bersilang sengketa satu sama lain. Namun perhitungan di atas kuat mengindikasikan bahwa tidak dibutuhkan pengganti sabu dengan tawas, karena jumlah sabu yang disita Polda Metro Jaya (3,3 kg) masih lebih sedikit daripada berat sabu 5 kg yang—entah kenapa—tidak DP masukkan di dalam laporannya.

Terkait berkurangnya berat sabu yang DP laporkan kepada TM, khalayak selama ini beranggapan bahwa itu dilakukan DP setelah menerima perintah TM agar sabu ditukar tawas. Anggapan tersebut terpatahkan dengan tiga alasan.

Pertama, perhitungan di atas memperlihatkan tidak dibutuhkan tawas guna menggenapi perhitungan 5 kg. Kedua, WA TM memuat emoji tertawa, dan direspon DP juga dengan emoji tertawa. Artinya, di dalam chat tersebut, mereka berdua tidak sungguh-sungguh dalam konteks komunikasi perintah atasan kepada bawahan. Di dalam WA balasannya, DP pun telah eksplisit menolak melakukan penukaran sabu dengan tawas.

Ketiga, ini sangat penting: di dalam naskah tuntutannya terhadap TM, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencoret kalimat “mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang”. Saat membacakan tuntutannya, JPU pun sama sekali tidak menyebut frasa yang mereka coret itu. Dari situ saya tafsirkan bahwa pandangan JPU adalah sama dengan keterangan saya selaku ahli di persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Yakni, TM tidak memberikan perintah penukaran sabu dengan tawas. Atau, dalam kalimat saya di hadapan Majelis Hakim, isi WA TM (memuat emoji) kepada DP tidak bisa dimaknai secara absolut sebagai perintah salah atau perintah jahat. TM tidak bisa disimpulkan sebagai orang atau pimpinan yang memiliki niat jahat (criminal intent) memperalat bawahannya.

Baca juga :   Presiden Joko Widodo Wajib Berhenti Dalam Masa Jabatan, Ini Alasannya… (Bagian 2)

Tuntutan JPU itu mendekonstruksi pandangan dunia yang kadung mencap TM sebagai titik awal kasus ini. JPU akhirnya bisa memahami bahwa klaim DP tentang “perintah jahat dari atasan yang sangat berkuasa dan tidak sanggup dia elakkan” adalah dramatisasi belaka. Itulah klaim DP semata-mata untuk mengalihkan tanggung jawab pidana dari dirinya.

Dalam istilah psikologi forensik, Superior Order Defence yang DP angkat ternyata tidak meyakinkan JPU. Karena SOD tertolak, maka tersedia alasan untuk menduga bahwa DP-lah, bukan TM, yang menjadi aktor utama dalam perkara memalukan ini. Prediksi saya, Majelis Hakim pun nantinya tidak akan mengamini pembelaan diri DP tersebut.

Dengan uraian di atas, terbenarkan sudah salah satu simpulan TM di dalam pledoinya. Yakni, DP ‘bermain sendiri’ dengan 3,3 kg sabu di Jakarta. Dalam bahasa TM, DP menjual narkoba untuk mendapatkan “dana segar” untuk sebuah misi. Misi dimaksud adalah, mencuplik kosakata Samsul Maarif, “tembak Mabes” guna memuluskan kepangkatan dan jabatan Dody Prawiranegara.

Selanjutnya, muncul dua konsekuensi. Pertama, amat-sangat penting Mabes Polri menginvestigasi letak keberadaan 1,7 kg sabu (5 kg dikurang 3,3 kg) yang hingga kini statusnya masih abu-abu. Juga, patut dicari tahu alasan DP sejak awal tidak melaporkan secara utuh jumlah sabu yang telah diamankan jajarannya. Pastinya, jangan sampai sabu tersebut juga disalahgunakan oleh siapa pun. Seiring dengan itu, Mabes Polri perlu melakukan uji otentisitas antara sabu yang diamankan Polda Metro Jaya dengan sabu yang diamankan di Sumatera Barat.

Kedua, mari kita nantikan bagaimana Majelis Hakim membuat perhitungan matematika dan putusan hukumnya.

Reza Indragiri Amriel;
Penulis adalah Ahli Psikologi Forensik, pernah menjadi ahli pada United Nations Office on Drugs and Crime.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *