MK Itu Sampah dalam Keranjang (Trash in Basket)

  • Bagikan

MENURUT Saldi Isra, segala masalah Pemilu jangan masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kata Saldi, MK bukan keranjang sampah. Saat itu, ia membacakan Putusan PHPU Pilpres 2024 gugatan pasangan Anies Muhaimin 22 April 2024. Diktum Putusannya adalah menolak untuk seluruhnya petitum Penggugat atau Pemohon. MK memang bukan keranjang sampah, tetapi sampah itu sendiri.

Sebenarnya, tak patut MK menuangkan secara formal kalimat bahwa lembaga ini bukan keranjang sampah. Bahwa Pemohon atau Penggugat mengajukan berbagai hal mengenai dugaan kecurangan proses Pilpres itu adalah haknya, Hakim MK bertugas untuk mempertimbangkan tanpa harus mencelanya.

MK pun seakan lupa bahwa ia juga sedang disorot sebagai lembaga tercela dengan Hakim-Hakim berkualitas sampah. Ketua MK Suhartoyo dalam ‘omon-omon’ nya bertekad untuk memulihkan MK dari “distrust” publik. Akan tetapi alih-alih mampu membalikkan kepercayaan, yang terjadi adalah justru MK yang menjadi sampah dalam keranjang (trash in basket).

Baca juga :   Makar Allah Hebat

Putusan MK dalam pemeriksaan PHPU gugatan Anies Muhaimin maupun Ganjar Mahfud yang dengan seenaknya mendalilkan berdasar hukum ini dan itu atau tanpa bukti ini dan itu, lalu menolak keseluruhan tuntutan, merupakan arogansi MK yang merasa jumawa tidak dapat dikoreksi oleh upaya hukum apapun.

Hakim MK telah berlaku sewenang-wenang tanpa pertanggungjawaban dengan berlindung pada prinsip “final and binding”. MK dapat menjadi Mahkamah Kejahatan yang berada di ruang hukum. Hukum tanpa etika dan moral, hukum tanpa keadilan (law without justice).

Baca juga :   Mencari Pemimpin dengan Gagasan Besar untuk Kepentingan Rakyat

Benar telah terjadi “dissenting opinion” 3 Hakim MK yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Tetapi publik menilai “dissenting opinion” tidak berguna karena ini hanya merupakan di “setting” opinion saja. Argumen palsu dan penuh kepura-puraan. Posisi 5 lawan 3 “dissenting” adalah membalikkan dari kemestiannya, 3 lawan 5 “dissenting”.

Merujuk pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, maka 5 Hakim yang tidak setuju Gibran itu adalah Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmick dan Arief Hidayat. Mengapa kini tinggal 3 Hakim? Bagaimana Suhartoyo dan Daniel bisa berkhianat?

Ambivalensi Suhartoyo tentu sangat memprihatinkan. Sebagaimana Anwar Usman, Suhartoyo sebagai Ketua MK ternyata menjadi Hakim pengikut Jokowisme juga. Sama saja.

Bullshits dengan “dissenting opinion” karena ini hanya permainan dan menjadi bukti penguat akan posisi MK sebagai Mahkamah Kepura-puraan atau Mahkamah Kemunafikan. Mahkamah yang melegitimasi kecurangan dan kejahatan politik yang dilakukan oleh Jokowi bersama Prabowo Gibran.

Baca juga :   Jokowi Ditampar Pipi Kiri dan Kanan

Hanya dengan pemakzulan Jokowi, MK dapat dibenahi agar menjadi lembaga Pengawal Konstitusi. Selama Jokowi ada, maka MK akan tetap sebagai “trash in basket” sampah dalam keranjang. Tidak berguna dan hanya menjadi hama penyakit dalam hukum.

Pilihan enteng sekarang adalah ganti hakim-hakim MK atau bubarkan segera MK. Kondisinya sudah seperti meme anjing dan palu: “Bila palu sudah ada di mulut anjing, maka keadilan hanya milik majikannya.” (*)

M. Rizal Fadillah;
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan, tinggal di Bandung.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *