GAYA kepemimpinan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terus menjadi sorotan. Gayanya yang eksentrik dan maverick–tidak konvensional, independen, dan keluar dari pakem kepemimpinan–selalu menjadi viral tetapi kontroversial.
Kabar terbaru, Fraksi PDIP DPRD Jawa Barat walk out dari sidang paripurna, Jumat 16 Mei, karena tersinggung oleh ucapan Dedi ketika berpidato di Musrenbang Provinsi Jabar di Cirebon seminggu sebelumnya.
Dedi Mulyadi dianggap melecehkan DPRD karena menyindir lembaga itu banyak omong. Dedi juga menyindir bahwa dia bisa menjalankan program tanpa harus bergantung kepada biaya. Kalimat ini menyinggung perasaan anggota DPRD dari FPDI karena menyiratkan DPRD Jabar tidak suportif terhadap pengajuan anggaran oleh eksekutif.
Gaya kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi (KDM) ini menjadi tema perbincangan dalam program siniar (podcast) ‘’Disway News House’’, Kamis 15 Mei. Empat tokoh media hadir sebagai nara sumber. Dari kalangan akademisi diwakili oleh Associate Professor Harliantara ‘’Harley Prayuda’’ dari Unitomo. Dari organisasi kewartawanan hadir Lutfil ‘’Item’’ Hakim, ketua PWI Jatim. Dari praktisi media hadir Doan Widiandono, Pemimpin Redaksi Disway, dan Dhimam Abror mewakili pengamat media. Tommy C. Gutomo, CEO Disway, bertindak sebagai host diskusi.
Sebagai sesama ‘’urang’’ Sunda, Harley mengulik fenomena KDM dari sisi komunikasi budaya. Dalam menjalankan pemerintahannya KDM menerapkan prinsip-prinsip budaya Sunda. Karakter khas Sudan ditandai dengan sikap ‘’someah’’ atau ramah, ‘’cageur’’ alias sehat fisik, ‘’bener’’ yang berarti jujur, dan ‘’pinter’’.
Kata Harley mengutip Brian McNair, komunikasi politik bukan hanya komunikasi dari aktor politik kepada pemilih untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi juga komunikasi yang ditujukan kepada para politisi oleh pemilih dan jurnalis media, serta komunikasi tentang aktor-aktor politik dan aktivitas mereka. Dalam konteks ini KDM dianggap sangat cerdik dalam memanfaatkan media sosial sebagai sarana komunikasi politik.
Harley melihat ada kualitas pribadi KDM yang membuatnya piawai dalam melakukan komunikasi politik. KDM menjadi aktivis sejak mahasiswa. Ia menjadi ketua komisariat HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Purwakarta, dan aktif dalam gerakan buruh.
KDM meniti karir politik sebagai anggota DPRD Purwakerta, kemudian menjadi wakil bupati sebelum menjadi terpilih sebagai bupati Purwakarta dua periode 2008-2018.
KDM menjadi ketua Golkar Jawa Barat 2016-sampai 2020. Pada pilgub 2019 dia maju sebagai cawagub mendampingi Deddy Mizwar. Tapi kalah telak oleh Ridwan Kamil. Pada pilgub 2024 KDM lompat pagar pindah ke Partai Gerindra. Ia menang telak setelah Ridwan Kamil ‘’disingkirkan’’ ke Jakarta.
Harley melihat, dengan pengalaman yang panjang itu KDM bisa memahami aspirasi rakyat Jabar. Ia memakai kekuasaannya untuk langsung berinteraksi dengan rakyat dan menyelesaikan berbagai persoalan yang selama ini buntu.
Doan Widiandono mengingatkan bahwa fenomena KDM bukan hal yang baru dalam lanskap politik Indonesia. Kita pernah punya pemimpin yang dianggap lahir dari rakyat, dekat dengan rakyat, blusukan, dan masuk gorong-gorong.
Tapi akhirnya banyak yang kecele dan kecewa. Ternyata semuanya hanya pencitraan dengan memanipulasi media. Karena itu fenomena KDM ini harus dilihat dengan perspektif kritis. Ada kemungkinan pengulangan sejarah terjadi lagi dan masyarakat Indonesia kecewa dua kali.
Lutfil Item punya pandangan yang berbeda dengan Harley Prayuda. Menurutnya apa yang dilakukan oleh KDM harus dilihat dari perspektif hukum tatanegara yang benar. Dalam banyak kasus yang viral KDM banyak melampaui kewenangannya sebagai gubernur. KDM harus bisa membedakan perannya sebagai gubernur atau sebagai youtuber.
Item merujuk pada Undang-Undang Otonomi Daerah 2004 yang menegaskan bahwa fungsi gubernur sebenarnya lebih bersifat koordinatif. Gubernur tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan intervensi terhadap kebijakan kepala daerah di level bupati dan walikota.
Bupati dan walikota itu dipilih langsung oleh rakyat dan mendapat mandat dari rakyat di daerahnya. Kontestasi itu membutuhkan biaya dan tenaga yang besar. Kalau kemudian kepala daerah itu diintervensi oleh gubernur tentu akan menimbulkan gesekan.
Item memberi contoh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa yang tidak banyak main medsos tapi bekerja lebih kongkret. Khofifah menjalin kerja sama perdagangan dengan banyak pemerintah provinsi di berbagai wilayah Indonesia, sehingga tercapai hubungan dagang yang saling menguntungkan. Fungsi koordinatif yang dilakukan Khofifah ini lebih pas dengan tupoksinya sebagai gubernur. Dengan menjalankan fungsi koordinatif itu Khofifah sebenaranya sudah menjalankan fungsi kepresidenan. Begitu klaim Lutfil Item.
Menurut Tommy Gutomo, berbagai kebijakan yang diambil oleh KDM seolah-olah menjadi standar bagi gubernur daerah lain. Semua kebijakan yang diambil oleh KDM selalu dianggap baik dan harus ditiru oleh gubernur lainnya. Seperti ‘’taken for granted’’, tanpa perlu ada penelaahan kritis.
Kalau ada yang mengritik KDM di medsos pasti dibully dan diserang habis-habisan oleh pasukan pendukung KDM. Banyak sekali gubernur yang menjadi ‘’korban’’ popularitas KDM di Medsos.
Salah satu yang menjadi korban ialah Khofifah Indar Parawansa yang banyak dibully netizen karena tidak mengikuti kebijakan pengampunan pajak kendaraan bermotor yang diambil oleh KDM. Foto Khofifah sedang makan durian disandingkan dengan foto KDM yang sedang berdialog dengan rakyat.
Lutfil Item memberi perspektif yang beda. Penunggakan pajak kendaraan bermotor di Jabar sangat tinggi, mencapai 40 persen. Di Jatim hanya 15 persen. Memberi pengampunan kepada 15 persen penunggak pajak akan memunculkan protes dari 85 persen pembayar pajak yang taat. Pengampunan di Jabar bisa counter-productive, karena wajib pajak memilih untuk menunggak sambil menunggu pemutihan.
Dalam pandangan Abror berbagai kebijakan KDM itu berpotensi menjadi ancaman terhadap. Dengan mem-by pass media konvensional dan beralih ke medsos KDM akan mematikan media sebagai pilar keempat demokrasi. Tidak ada dialog pro dan kontra di ruang publik untuk memperdebatkan kebijakan KDM.
Dengan memangkas prosedur birokrasi KDM berpotensi menghadapi resistensi dari jajarannya. Walk out yang dilakukan oleh Fraksi PDIP menjadi salah satu indikator resistensi itu.
Apa yang dilakukan oleh KDM sudah pernah dilakukan oleh Jokowi. KDM terlihat melakukan copy paste terhadap langkah Jokowi. Karena itu wajar ada yang menyebut KDM sebagai ‘’Mulyono Sunda’’. (*)
Dhimam Abror Djuraid;
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di Surabaya, Jawa Timur.