INDOSatu.co – YOGYAKARTA – Pengesahan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) oleh DPR memunculkan perdebatan luas terkait potensi bertambahnya kewenangan aparat penegak hukum tanpa mekanisme pengawasan yang memadai.
UU baru tersebut dinilai menghadirkan sejumlah ketentuan yang berpotensi bertabrakan dengan prinsip-prinsip konstitusi, terutama terkait penyadapan, penahanan, dan penyitaan yang dapat dilakukan tanpa kontrol peradilan yang kuat.
Meski revisi KUHAP kerap disebut sebagai langkah pembaruan hukum untuk menyesuaikan sistem peradilan pidana dengan perkembangan zaman, Biantara Albab, S.H., M.Si., Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menilai sejumlah ketentuan justru mempertahankan pola lama yang berwatak dominatif dan membuka peluang penyalahgunaan kewenangan.
“Masih ada aturan yang menanggalkan hak-hak warga negara. Ini menunjukkan bahwa produk hukum sangat dipengaruhi konfigurasi politik. Ketika konfigurasi politiknya demokratis, regulasinya akan aspiratif, tetapi jika condong otoriter, maka hasilnya dominatif dan jauh dari perlindungan hak-hak sipil,” ujar Biantara Albab, Rabu (19/11).
Dari perspektif hukum tata negara, Bian, sapaan akrabnya, menilai, beberapa ketentuan berpotensi bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 28D tentang hak atas kepastian hukum dan Pasal 28G mengenai hak atas rasa aman.
Menurutnya, perluasan kewenangan aparat seperti penyadapan atau penahanan tidak boleh dilakukan tanpa supervisi pengadilan, karena akan menghilangkan mekanisme checks and balances yang merupakan pilar utama negara demokratis.
“Jika penyadapan atau penahanan dilakukan tanpa keterlibatan pengadilan, berarti tidak ada kontrol institusional. Warga negara bisa menjadi korban penyadapan atau penangkapan tiba-tiba tanpa mekanisme pengawasan yang jelas, dan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi serta konstitusi,” tegasnya.
Bian juga menyayangkan proses legislasi yang dinilainya kurang membuka ruang dialog publik. Padahal, penyusunan undang-undang idealnya dilakukan secara inklusif karena Indonesia adalah negara demokratis yang menempatkan hak asasi manusia sebagai landasan utama.
Dalam konteks tersebut, efektivitas revisi KUHAP sangat bergantung pada pemahaman aparat penegak hukum dan masyarakat. Ketentuan yang kabur atau multitafsir hanya akan meningkatkan risiko penyalahgunaan di lapangan.
Karena itu, ia menekankan pentingnya masyarakat memahami hak-hak dasar yang dimiliki ketika berhadapan dengan aparat. Pengetahuan tersebut menjadi bentuk perlindungan awal untuk mencegah tindakan sewenang-wenang yang dapat muncul akibat regulasi yang belum sepenuhnya jelas.
“Masyarakat harus tahu batas kewenangan aparat dan potensi pelanggaran HAM yang mungkin timbul. Semakin paham masyarakat, semakin sempit ruang bagi abuse of power,” tutupnya. (*)



