GAZA terus berdarah. Setiap hari ledakan dan tembakan menghancurkan rumah, sekolah, masjid, dan rumah sakit. Anak-anak menjadi yatim sebelum mengerti arti keluarga.
Ibu-ibu menggendong jenazah anaknya seperti menimang bayi yang sedang tidur. Dunia menyaksikan… tapi sebagian memilih menutup mata.
Ironisnya, yang paling dekat secara darah dan sejarah justru paling diam. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Bahrain — kerajaan-kerajaan kaya yang minyaknya mengalir seperti sungai emas — sibuk menjamu tamu kehormatan di istana, menandatangani kontrak dagang, dan menggelar festival.
Mesir, Tunisia, Aljazair, Lybia, Sudan, Maroko dll— negeri-negeri yang dulu dielu-elukan sebagai benteng perlawanan — kini seperti penonton yang kehilangan suara.
Bangsa Palestina tidak hanya melawan Israel. Mereka melawan kelaparan, haus, penyakit, dan pengkhianatan yang datang dari saudara sendiri.
Mereka berdiri di medan perang, sementara tetangga-tetangga kaya menonton dari balkon hotel bintang lima.
Hanya Iran — yang bukan bagian dari “klan” Arab — berani menghunus kata dan senjata melawan Israel. Tapi Iran pun tahu, melawan sendirian hanyalah perjuangan bunuh diri perlahan.
Sejarah akan mencatat: Palestina bukan hanya dihancurkan oleh roket, pesawat tempur dan tank Israel, tapi juga oleh keheningan memalukan negara-negara Arab.
Jika Gaza runtuh, yang roboh bukan hanya bangunan, tapi juga harga sebuah kemanusiaan. Jangan biarkan Palestina hanya menjadi tontonan menuju kiamat dan kehancuran total. (*)
Didi Irawadi Syamsuddin, S.H., LL.M.;
Penulis adalah Anggota DPR RI periode 2019-2024