DALAM konteks kepentingan bangsa dan negara, tindakan PDI Perjuangan memecat mantan Presiden Joko Widodo dari keanggotaan partai sudah sangat terlambat dan tidak punya kegunaan praktis. Pemecatan itu secara resmi baru diumumkan oleh Ketua DPP Bidang Kehormatan PDIP Komarudin Watubun pada Senin, 16 Desember 2024 lalu.
Pemecatan itu didasarkan pada alasan bahwa Joko Widodo melakukan pelanggaran berat berupa penyalahgunaan kekuasaan dengan mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK). Tindakan itu dinilai sebagai awal kerusakan sistem demokrasi, sistem hukum, dan sistem moral-etika kehidupan bangsa dan negara.
Alasan lain, Joko Widodo dianggap telah melanggar disiplin dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDIP tahun 2019 karena ia tidak mendukung pasangan capres-cawapres yang diusung PDIP dalam pilpres 2024, yaitu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD dan mendukung pasangan dari parpol lain.
Kendati sudah sangat terlambat, secara simbolis keputusan ini berguna sepanjang ia dimaknai sebagai pertanggungjawaban PDIP atas kesalahannya mendukung dan mengusung tanpa syarat kepemimpinan Joko Widodo selama 10 tahun dan sebagai konsolidasi moral di internal partai.
Pemecatan itu sendiri bersifat politis yang berorientasi pada kepentingan partai, bukan pada kepentingan bangsa dan negara. Benar, bahwa PDIP berjasa menggagalkan ambisi Joko Widodo memerintah selama tiga periode dan juga sejak awal mengecam politisasi hukum yang memungkinkan Gibran menjadi cawapres.
Tetapi, pelanggaran Joko Widodo bukan hanya itu. Ia dengan sengaja menciptakan seabrek keculasan yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dan PDIP diam. Misalnya, terjadi pembiaran oleh PDIP ketika Joko Widodo melemahkan KPK yang justru dibentuk pada era kepresidenan Megawati.
PDIP, partai terbesar di DPR, juga mendukung RUU Cipta Kerja yang cacat konstitusional dan bersifat eksploitatif terhadap wong cilik yang diklaim PDIP sebagai pembela mereka. PDIP pun muncul sebagai pembela gigih Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam insiden Desa Wadas ketika wong cilik pendukung PDIP terusir dari lahan mereka melalui intimidasi aparat.
Terlalu banyak keculasan Joko Widodo yang dilakukan selama bertahun-tahun dengan dukungan PDIP untuk disebutkan di sini. Toh, semua ini merupakan elephant in the room. Secara harfiah berarti gajah dalam ruangan. Gajah di sini menggambarkan objek yang sangat besar, yang seharusnya bisa dilihat oleh semua orang. Sedangkan ruangan artinya posisi kita di tempat yang bisa melihat gajah.
Dalam konteks hubungan PDIP dengan Joko Widodo, istilah ini merujuk pada masalah yang sudah sangat jelas diketahui publik, tetapi PDIP tak mau membicarakannya karena hal-hal itu bisa menyinggung Joko Widodo, tabu, memalukan, berbahaya atau terjadi sesuatu yang buruk jika dibicarakan.
Pemecatan tersebut dilakukan ketika Joko Widodo merugikan kepentingan PDIP, bukan karena pelanggaran moral-etika. Misalnya, baru pada hari-hari menjelang pencoblosan pilkada Jakarta,– ketika PDIP ingin mendapatkan dukungan Anies Baswedan terhadap Pramono-Rano dukungan PDIP,– Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membongkar ke publik tentang upaya Joko Widodo memtersangkakan Anies dalam kasus formula-E.
PDIP bukan parpol dominan di Jakarta. Dan Pramono, khususnya, bukan tokoh yang track record-nya diketahui dan diapresiasi warga Jakarta. Sedangkan ia dan Rano dikeroyok Koalisi Indonesia Maju Plus yang terdiri dari semua parpol parlemen, kecuali PDIP. Hasto menegaskan rencana mempersangkakan Anies,— yang jelas melanggar moral-etika,— dikatakan sendiri oleh Joko Widodo kepadanya.
Tanpa sadar, pernyataan Hasto sesungguhnya membongkar borok PDIP. Artinya, pelanggaran moral-etika yang dilakukan Joko Widodo terhadap Anies ketika itu tak dipermasalahkan PDIP. Toh, Anies juga merupakan momok PDIP dalam konteks Pilpres 2024, di mana Anies bisa menjadi penantang calon dari PDIP.
Andaikan Joko Widodo sebagai petugas partai dan patuh pada kemauan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan mendukung pasangan Ganjar-Mahfud, mungkinkah Hasto akan membongkar perilaku bejat Joko Widodo? Kita juga akan bertanya: andaikan Puan Maharani dalam posisi Gibran (belum cukup umur) dicawapreskan mendampingi Prabowo, apakah Megawati tetap mengecam politisasi hukum oleh MK?
Penetapan hari kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945 yang didesakkan Megawati terhadap Joko Widodo juga sesungguhnya pelanggaran etika. Toh, Pancasila yang kita kenal sekarang tidak serupa dengan ketika Soekarno memperkenalkan untuk pertama kalinya. Tanpa mengurangi jasa Soekarno memaparkannya pada 1 Juni, Pancasila telah mengalami dua kali perubahan yang signifikan. Pancasila saat ini adalah Pancasila yang lahir pada 18 Agustus 1945.
Kalau PDIP serius terhadap masalah HAM, yang tentunya terkait moral-etika, sudah seharusnya PDIP memelopori pengungkapan kasus KM 50. Kasus pembunuhan enam laskar FPI (musuh PDIP) yang diduga kuat ada tangan Joko Widodo di dalamnya jelas melanggar HAM. Ini juga isu elephant in the room. Faktanya, PDIP tak mempermasalahkannya. Padahal, kasus itu menambah berat kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan rezim saat kasus lama masih di-pending.
Bagaimanapun, meski terlambat dan tak punya manfaat praktis, hikmah dibalik penentangan PDIP terhadap sebagian aksi-aksi bejat dan kebijakan-kebijakan culas Joko Widodo yang memundurkan bangsa ini adalah, ke depan, parpol-parpol harus memeriksa dan mempertimbangkan secara saksama calon-calon yang akan diajukan sebagai capres ataupun kepala daerah.
Pendekatan pragmatisme yang dilakukan PDIP khususnya, ketika mengusung Joko Widodo, Fufufafa, dan Bobby Nasution harus ditiadakan. Capres-cawapres dan kepala daerah bukan petugas partai. Mereka dipilih oleh rakyat untuk mengabdi pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan partai, sehingga bilamana kader parpol yang menjadi pemimpin berbuat serong, maka parpol pengusung-lah yang pertama-tama harus memprotesnya.
Karena fungsi parpol adalah menyalurkan aspirasi rakyat, menegakkan sistem demokrasi, sistem hukum, sistem moral-etika, dan taat pada rule of the law. Semua ini demi kesehatan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta kemakmuran rakyat. Prinsip-prinsip ini hanya jadi retorika parpol dan politisi sambil bekerja sama dengan oligarki serta membangun jaringan mafia di berbagai lembaga negara dan pemerintahan untuk kepentingan kelompok sendiri.
Joko Widodo tahu itu, sehingga ia memanfaatkan kebejatan yang dilakukan oligarki, parpol, dan berbagai lapisan kelompok kepentingan di pemerintahan untuk melakukan kebejatan yang lebih besar untuk kepentingan sendiri tanpa kita mampu menghentikannya.
Prabowo pun tidak dan tidak akan pernah. Toh, dengan polos ia mengatakan berulang kali bahwa Joko Widodo adalah guru politiknya dan bahwa dia tidak akan melakukan apa yang ditentang idolanya itu.
Smith Alhadar;
Penulis adalah Penasihat Institut for Democracy Education (IDe)



