BELUM lama ini, Bank Dunia telah merilis sekaligus membagi ekonomi dunia menjadi empat kelompok berdasarkan klasifikasi pendapatan nasional bruto atau PNB. Keempat kelompok tersebut, yaitu negara berpendapatan rendah (low-income countries), negara berpendapatan menengah bawah (lower middle-income countries), negara berpendapatan menengah atas (upper middle-income countries), dan negara berpendapatan tinggi (high-income countries).
Indonesia masuk kategori negara berpendapatan menengah atas sejak 2022. Pendapatan nasional bruto per kapita Indonesia saat ini (2024) sebesar 4.870. Pada 2024, terdapat 54 negara di dunia masuk klasifikasi negara berpendapatan menengah atas, dengan pendapatan nasional bruto per kapita antara 4.516 dolar AS sampai 14.005 dolar AS.
Klasifikasi atau pembagian negara berdasarkan pendapatan nasional bruto tersebut mempunyai konsekuensi terhadap klasifikasi tingkat kemiskinan internasional. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan internasional untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia sebesar 6,85 dolar AS (kurs PPP 2017) per orang per hari, atau sekitar Rp 1,23 juta per orang per bulan. Penduduk yang mempunyai pendapatan di bawah garis kemiskinan internasional tersebut masuk kategori penduduk miskin.
Menurut Bank Dunia, jumlah penduduk miskin Indonesia, sebagai negara berpendapatan menengah atas, mencapai 171,8 juta penduduk atau 60,3 persen dari jumlah populasi pada tahun 2024. Tingkat kemiskinan yang sangat tinggi ini menempatkan Indonesia di urutan keempat negara termiskian di dunia, dari 54 negara dengan klasifikasi yang sama. Indonesia hanya lebih baik dari Afrika Selatan (63,4 persen), Namibia (62,5 persen) dan Botswana (61,9 persen).
Tingkat kemiskinan Indonesia lebih buruk dari Guatemala (57,3 persen), Guinea Khatulistiwa (57 persen), Armenia (51 persen), Fiji (50,1 persen), Georgia (35,6 persen), dan Gabon (34,6 persen). Tingkat kemiskinan Indonesia juga lebih buruk dari Vietnam (17,9 persen), padahal Vietnam masih masuk kategori negara berpendapatan menengah bawah.
Belum lama berselang, Bank Dunia melakukan penyesuaian terhadap garis kemiskinan internasional, dengan mengadopsi kurs PPP 2021, menggantikan PPP 2017. Penyesuaian ini membuat garis kemiskinan internasional untuk negara berpendapatan menengah atas berubah dari 6,85 dolar AS (PPP 2017) menjadi 8,3 dolar AS (PPP 2021). Penyesuaian ini membuat jumlah penduduk miskin Indonesia naik dari 171,8 juta penduduk menjadi 193,5 juta penduduk, atau mencapai 68,3 persen dari populasi.
Penyesuaian seperti ini telah dilakukan Bank Dunia secara berkala, untuk merefleksikan nilai kurs dan garis kemiskinan agar menjadi lebih tepat, dan lebih riil. Penyesuaian sebelumnya dilakukan pada September 2022, dengan beralih dari kurs internasional dolar AS PPP 2011 menjadi PPP 2017. Penyesuaian tahun 2022 tersebut membuat garis kemiskinan internasional untuk negara berpendapatan menengah atas berubah dari 5,5 dolar AS (PPP 2011) menjadi 6,85 dolar AS (PPP 2017).
Tidak terbayangkan, Indonesia yang kita banggakan, Indonesia dengan kekayaan alam berlimpah dan tanah nan subur, faktanya mempunyai jumlah penduduk miskin sedemikian besar, dan menempati peringkat 4 negara dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di dunia. Sungguh ironi.
Data di atas membuktikan Indonesia gagal dalam menjalankan perintah konstitusi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia gagal mewujudkan cita-cata kemerdekaan 1945. Indonesia gagal mewujudkan cita-cita reformasi tahun 1998 yang membuat Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa.
Kalau kondisi seperti ini terus berlanjut, Indonesia semakin dekat menjadi negara gagal dalam membangun bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Hanya perubahan signifikan dan menyeluruh yang dapat mencegah bangsa ini masuk ke jurang kemiskinan. Semoga para tokoh dan elit bangsa ini segera menyadarinya dan mencari solusi bersama. Pemberantasan korupsi, dan mengadili para koruptor, termasuk pejabat tinggi negara, menjadi prasyarat utama untuk memberantas kemiskinan. (*)
Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Alumni Doktoral (S3) Erasmus University, Rotterdam, Belanda.