ADA momen getir yang justru memancing senyum miris ketika seorang presiden berdiri di podium dan berkata, “Saya enggak dendam sama Anies. Kalau dikasih nilai 11, saya enggak papa tuh.” Kalimat itu terdengar ringan, seperti guyonan di warung kopi. Tetapi justru di situlah publik menangkap jejak luka: ada sisa perasaan yang diselubungi tawa.
Sebab, kalau benar tidak dendam, untuk apa terus diungkit? Nilai 11 dari 100 yang pernah dilontarkan Anies Baswedan di panggung debat Pilpres 2024 hanyalah bagian dari adu gagasan, bukan palu vonis.
Kritik itu mestinya dibiarkan melebur bersama ingar-bingar kampanye yang telah usai. Tetapi ketika kembali dibawa ke ruang publik di tahun 2025, ia berubah menjadi cermin retak: menyingkap ego yang enggan berdamai dengan bayang-bayang rendah.
Yang lebih sarat makna adalah kesempatan dan tempat ia mengucapkannya: kala penutupan Munas VI PKS. Dalam forum resmi partai itu, Prabowo menyampaikan kata-kata tersebut di hadapan kader dan petinggi PKS, di Hotel Sultan, Jakarta.
Sepertinya Prabowo paham betul, bahwa PKS punya kecenderungan—meski belum pasti—untuk melirik Anies di Pilpres 2029. Maka ucapannya bukan sekadar candaan belaka. Itu isyarat politik, sindiran halus yang dibalut senyum. Seolah ingin berkata: “Aku tak dendam, tapi aku tak lupa.”
Namun ironi paling besar justru hadir ketika Prabowo menambahkan, “Aku enggak dendam sama Anies. Dia yang bantu aku menang.” Kalimat itu terdengar heroik, tetapi publik tahu kebenarannya jauh lebih getir.
Yang membuatnya menang bukanlah nilai sebelas dari Anies, melainkan Gibran Rakabuming Raka—anak sulung Presiden Joko Widodo—yang ia boyong sebagai cawapres. Dengan menggandeng Gibran, otomatis sang ayah turun tangan. Mesin kekuasaan ikut bekerja, dan jalan menuju Istana pun terbuka.
Rakyat tidak sebodoh yang dibayangkan. Mereka paham betul, kemenangan 2024 bukan hadiah dari guyonan debat, melainkan buah dari kompromi politik yang disemen oleh darah dinasti. Film dokumenter Dirty Vote menjelaskan itu secara gamblang bagaimana pola-pola kekuasaan itu disusun rapi untuk memastikan kemenangan pasangan Prabowo–Gibran.
Maka kalimat “Anies yang bantu aku menang” terdengar lebih sebagai satire diri, upaya menutupi kenyataan dengan cerita manis.
Beginilah wajah politik kita: seringkali lebih sibuk mengurus perasaan ketimbang mengurus bangsa. Politik baper menjelma strategi. Luka pribadi ditampilkan sebagai tontonan. Kritik lawan, yang seharusnya dijawab dengan kerja nyata, justru dijadikan bahan guyon getir. Padahal rakyat sedang menunggu kabar tentang sembako murah, lapangan kerja, dan arah negeri.
Tapi apa yang mereka dapat? Cerita remeh tentang angka sebelas. Politik baper semacam ini mereduksi demokrasi menjadi drama sentimentil. Ia menjauhkan pemimpin dari kebesaran jiwa, sebab terlalu sibuk menambal harga diri yang robek.
Padahal, seorang pemimpin yang matang mestinya bisa menertawakan dirinya sendiri tanpa menyelipkan sindiran. Ia tak merasa rendah meski dikritik. Ia tak perlu mengulang luka, karena yang lebih penting adalah menjahit harapan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Ego terlalu rapuh untuk menerima kritik, sehingga tawa berubah menjadi tirai yang menutupi perasaan sesungguhnya. Publik paham itu. Mereka tahu di balik senyum ada getir yang tak bisa disembunyikan.
Inilah tragedi kecil politik kita: demokrasi tak bergerak pada gagasan besar, melainkan terhenti di simpang kecil bernama “nilai sebelas”. Sementara rakyat menanggung beban hidup yang jauh lebih berat daripada sekadar angka di rapor politik seorang pejabat.
Akhirnya, bangsa ini dipaksa menonton sandiwara: dendam yang disamarkan dengan tawa, luka yang disulap jadi humor. Sebuah panggung di mana ego lebih berisik daripada nasib rakyat. (*)
Ady Amar;
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan, tinggal di Surabaya, Jawa Timur.



