INDOSatu.co – YOGYAKARTA – Arah kebijakan politik luar negeri Indonesia dinilai abu-abu. Statemen tersebut disampaikan Pakar Ekonomi Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Muhammad Faris Al-Fadhat, M.A., Ph.D.
Faris menyoroti posisi Indonesia yang dinilainya masih belum jelas di tengah meningkatnya kontestasi geopolitik global pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pernyataan Faris diungkapkan dalam acara Stadium General dan Pelantikan Forum BEM Se-DIY 2025/2026 bertajuk “Menakar Arah Bangsa: Evaluasi Satu Tahun Pemerintah Prabowo–Gibran”, yang digelar di Auditorium Gedung Siti Walidah lantai 4 Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Rabu (15/10) malam.
Dalam pemaparannya, Faris menjelaskan bahwa, dunia saat ini tengah berada dalam kontestasi geopolitik (geopolitical contest) antara dua kekuatan besar, yakni Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok (China).
Indonesia, menurut Faris, berada di posisi tengah dalam dinamika tersebut dan berpotensi memainkan peran penting sebagai “assertive middle power”, yakni kekuatan menengah yang mampu bermanuver di antara dua kekuatan global.
“Indonesia ini menarik, karena berada di antara dua kutub kekuatan besar dunia. Tapi yang harus dipahami, di balik istilah kepentingan nasional, selalu ada representasi kepentingan kelas tertentu yang memengaruhi arah kebijakan,” ujar Faris.
Faris menegaskan bahwa Indonesia tidak mungkin memutus hubungan dengan salah satu kekuatan besar. Sebab, kata Faris, kedua negara tersebut memiliki pengaruh besar terhadap perekonomian nasional.
“Ketika Indonesia mengambil kebijakan, perlu dilihat siapa yang sebenarnya diwakili oleh pengambil kebijakan itu. Kita butuh pasar besar, dan pasar terbesar adalah China. Namun untuk investasi, kontribusi terbesar masih datang dari Amerika Serikat,” jelasnya.
Kebijakan Era Prabowo Masih Belum Jelas
Menanggapi arah kebijakan pemerintahan Prabowo, Faris menilai, bahwa karakter kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Prabowo masih belum terbaca secara tegas.
“Keinginan sebenarnya masih belum jelas. Karakter kebijakan luar negeri di bawah Presiden Prabowo belum clear,” tegasnya.
Ia memperkirakan bahwa arah kebijakan Prabowo tidak akan bersifat militeristik, melainkan melanjutkan pola kebijakan yang cenderung oligarkis, di mana kekuasaan didukung oleh aliansi antara tiga kekuatan utama dalam sistem politik Indonesia, yakni bisnis, birokrasi, dan partai politik.
“Yang paling penting bagi pemerintahan ke depan adalah menjaga keseimbangan tiga kekuatan: Bisnis, birokrat, dan parpol. Inilah aliansi yang akan menopang jalannya pemerintahan,” pungkasnya.
Pernyataan tersebut menjadi refleksi kritis terhadap tantangan diplomasi Indonesia di tengah perubahan lanskap global. Di satu sisi, Indonesia perlu menjaga hubungan strategis dengan dua kekuatan ekonomi dunia, tetapi di sisi lain, Indonesia juga dituntut untuk memperkuat otonomi kebijakan luar negerinya agar benar-benar berpihak pada kepentingan nasional yang inklusif dan berkeadilan. (*)



