Post-Sekularisme di Turki?

  • Bagikan
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan.

SEKULARISME di Turki kerap dipahami secara simplistis. Pandangan umum menganggap bahwa Mustafa Kemal Atatürk membangun Turki di atas fondasi sekularisme yang ketat, kemudian Recep Tayyip Erdoğan membalikkan arah dengan mengembalikan agama ke ruang publik.

Atatürk dianggap sebagai tokoh sekuler,  sementara Erdoğan adalah tokoh Islam, yang sedang mengembalikan Turki ke arah glorifikasi historis Turki Osmani. Narasi biner ini mudah diterima, namun menutup kompleksitas transformasi sosial-politik yang berlangsung.

Pada kenyataannya, sekularisme bukanlah konsep statis, melainkan arena kontestasi yang terus mengalami negosiasi dan reinterpretasi. Turki menjadi laboratorium unik di mana warisan Islam Turki Osmani, modernitas Barat dan sekularisme, serta wacana kebangkitan Islam berinteraksi dalam dinamika yang terus berubah.

Assertive Secularism dan Passive Secularism

Ahmet T. Kuru (2009) membedakan dua model sekularisme: assertive secularism dan passive secularism.  Sekularisme di Prancis dan Kemalisme di Turki adalah dua contoh model assertive secularism. Dalam model ini, kedua negara tersebut memang ingin menciptakan ruang publik yang sekuler, dan secara aktif menyingkirkan agama dari ruang publik.

Sedangkan sekularisme di Amerika Serikat, yang menekankan netralitas negara dimasukkan dalam kategori passive secularism. Dalam model ini negara berjarak dengan agama, namun  memberi ruang bagi ekspresi agama di ruang publik sepanjang tidak mengganggu hak-hak sipil.

Model Kemalisme yang asertif terlihat jelas dalam empat kebijakan berikut ini: Pertama, larangan simbol agama tampil di ruang publik; contoh yang paling nyata adalah larangan menggunakan jilbab di universitas dan ruang-ruang publik fomal. Kedua, negara mengontrol agama melalui Diyanet İşleri Başkanlığı (Direktorat Urusan Agama), dengan merekrut dan menggaji imam, khatib, serta pegawai masjid layaknya pegawai negeri sipil.

Baca juga :   Anies Membayar Janji Itu dengan Kontan. Bukan Kredit

Hal ini memperlihatkan bahwa negara sekuler Turki tidak melepaskan agama, melainkan mengaturnya secara ketat. Ketiga, militer berperan sebagai penjaga sekularisme. Setiap kali kekuatan politik Islam dianggap mengancam, militer melakukan intervensi, sebagaimana terlihat dengan adanya kudeta 1960, 1971, 1980, dan kudeta putih 1997.

Seringnya intervensi militer ini menunjukkan rapuhnya demokrasi di Turki. Keempat, pemerintah Kemalis menjalankan program westernisasi hukum dan budaya, antara lain dengan menghapus pengadilan syariah, mengganti alfabet Arab dengan Latin, serta melarang penggunaan pakaian tradisional dan keagamaan di ruang publik.

Transformasi Sekularisme Erdoğan

Polarisasi antara kelompok sekuler dan Islamis menjadi ciri dari sekularisme asertif. Namun dalam kenyataannya, hal yang terjadi di Turki tidak selalu dalam oposisi biner. Banyak kelompok di Turki berupaya melakukan sintesis antara Islam dan modernitas. Salah satunya adalah AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) yang berdiri pada 2001.

Meskipun didirikan oleh tokoh-tokoh dindar yang dekat dengan gerakan Islam politik Milli Görüş, AKP pimpinan Erdoğan menyatakan hadir bukan sebagai partai Islam. AKP menganggap diri mereka sebagai partai konservatif-demokrat, yang berbeda dengan partai pendahulunya yang konfrontatif terhadap negara sekuler.

AKP mengadopsi citra moderat, menegaskan dukungan terhadap demokrasi dan sekularisasi, juga tetap menjalin hubungan positif dengan Barat. Sekularisme diletakkan pada definisi awalnya, yaitu sikap negara yang berjarak dengan agama. Dalam definisi ini, AKP mendudukkan negara dalam posisi netral; tidak lagi mengintervensi hak beragama masyarakat, sebagaimana dilakukan oleh rezim Kemalis terdahulu.

Dalam kerangka Kuru, ini dapat dipahami sebagai pergeseran dari assertive secularism model Kemalisme menuju pola passive secularism. Di bawah kepemimpinan Erdoğan, negara Turki tetap sekuler, namun tidak lagi aktif menyingkirkan agama secara represif. Di dalam kerangka passive secularism inilah simbol-simbol agama Islam kembali menyeruak di ruang publik.

Baca juga :   Memaknai 99 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia (Bagian-2)

Erdoğan bahkan menegaskan komitmennya mendukung sekularisme. Dalam wawancara yang dikutip CNN Türk (2006), ia menyebut dirinya sebagai seorang sekuler sejati (dört dörtlük bir laikim). Erdoğan menekankan bahwa sekularisme bukanlah agama, melainkan sebuah model pemerintahan, sehingga tidak perlu dipertentangkan. Erdoğan menegaskan dirinya tetap seorang Muslim, meskipun kini menjadi pemimpin dari negara Turki sekuler.

Namun pasca-2011, setelah  AKP mampu mengonsolidasikan kekuasaan dengan dukungan hampir 50% suara pada Pemilu 2011, wajah sekularisme Turki menjadi lebih kompleks. Ruang publik memang terbuka bagi simbol-simbol Islam, tetapi kondisi ini diiringi dengan menyempitnya ruang gerak kelompok-kelompok yang berseberangan dengan Erdoğan.

Partai oposisi seperti CHP, sebagian akademisi, serta media independen yang kritis terhadap Erdoğan kerap mengalami tekanan, baik melalui kebijakan hukum maupun pengendalian negara. Dengan demikian, keterbukaan terhadap ekspresi keagamaan di satu sisi justru berbarengan dengan penyempitan kebebasan politik di sisi lain.

Di Turki kontemporer, ketegangan utama tidak lagi berkisar pada pertentangan agama versus sekularisme, melainkan pada dukungan atau penolakan terhadap Erdoğan dan visi politiknya. Sementara itu, sekularisme dan Islam telah menjadi identitas yang ajeg dalam masyarakat Turki. Kedua identitas ini berkelindan membentuk wajah Turki, baik dalam relasi yang sering kali ibarat air dan minyak—sulit dipersatukan—maupun dalam situasi  yang tampak sebagai sintesis keduanya.

Baca juga :   Mulyono Sunda

Post-Sekuler menurut  Habermas

Untuk memahami situasi ini, perspektif Jürgen Habermas (2008) tentang masyarakat post-sekuler dapat digunakan. Habermas menunjukkan bahwa, meskipun negara-negara Barat telah lama sekuler, agama tetap hadir dan bahkan terus bertumbuh. Karena itu, masyarakat modern tidak dapat dipahami hanya melalui dikotomi sekuler–religius, melainkan melalui dialog timbal balik antara keduanya.

Dalam konteks Turki, Erdoğan memanfaatkan demokrasi sebagai ruang dialog antara kelompok religius dan sekuler yang sebelumnya terpolarisasi oleh kebijakan Kemalis. Warga beragama diajak mengekspresikan keyakinannya dengan bahasa yang dapat diterima di ruang publik, sementara kelompok sekuler diajak untuk menerima bahwa agama tetap memberi kontribusi penting dalam kehidupan sosial-politik, seperti yang ditunjukkan oleh dirinya.

Turki tetap negara sekuler sepanjang 22 tahun pemerintahannya. Kebijakan Erdoğan lebih tepat dipahami sebagai pembangunan ruang publik yang post-sekuler, yang berupaya mengharmonisasikan Islam dan sekularisme.

 Penutup

Perjalanan sekularisme Turki dapat diibaratkan sebagai sebuah orkestra besar. Pada masa Kemalisme, hanya satu instrumen yang diizinkan berbunyi, yakni nada sekularisme yang asertif. Erdoğan kemudian membuka panggung bagi hadirnya instrumen lain dengan simbol-simbol Islam. Namun, sejak 2011, banyak pihak khawatir Erdoğan mulai menekankan dominasi satu instrumen dalam kekuasaan politiknya.

Erdogan tampil sebagai pengatur tunggal dalam orkestra politik Turki. Akibatnya, simfoni Turki terdengar indah bagi sebagian kelompok, tetapi justru disonans bagi kelompok lainnya. Sekularisme Turki memang bukan lagi melodi tunggal ala Kemalis, namun juga belum sepenuhnya berkembang dalam koor polifonik yang mencerminkan post-sekularisme. (*)

Dr. Ade Solihat, MA.;
Penulis adalah Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *