ADA pergeseran peta oposisi yang cukup signifikan di Indonesia belakangan ini. Para aktivis yang semula berada pada posisi berseberangan, sekarang mulai menyeberang menjadi pendukung Prabowo Subianto.
Setidaknya hal itu tampak dari tulisan yang dibuat oleh Syahganda Nainggolan yang beredar di grup percakapan Whatsapp. Tulisan berjudul ‘’Prabowo adalah Kita’’ itu provokatif dan apologetik. Provokatif karena mati-matian mendukung Prabowo tanpa reserve. Apologetik karena memaafkan dan memaklumi semua kebijakan Prabowo, termasuk revisi UU TNI.
Syahganda mengklaim bahwa beberapa aktivis oposisi sudah balik kanan mendukung Prabowo, dengan syarat dan tanpa syarat. Nama yang disebut sudah balik kanan adalah Said Didu, Refly Harun, dan Edy Mulyadi. Syahganda menyebut mereka sebagai pendukung Anies Baswedan pada pilpres 2024 (sic).
Sebelumnya para aktivis oposisi menolak Prabowo karena memakai jalan haram dan curang untuk naik ke puncak kekuasaan. Ia mendompleng kepada Jokowi dan membiarkan pemerkosaan oleh Jokowi terhadap undang-undang melalui rekayasa Mahkamah Konstitusi (MK).
Jalan haram yang dilewati oleh Prabowo itu dianggap sebagai strategi yang halal oleh Syahganda Nainggolan. Ia memperbandingkan dengan Vladimir Putin yang harus menghamba kepada Boris Yeltsin untuk mencapai kekuasaan. Juga membandingkan dengan Deng Xiaoping yang mengalah dulu kepada Gang of Four dalam perebutan kekuasaan di China pasca Mao Zedong.
Dua orang yang dijadikan contoh oleh Syahganda adalah pemimpin komunis di negara komunis. Tidak ada fenomena semacam ini di negara demokratis. Syahganda secara tidak sadar mengakui bahwa apa yang dilakukan Prabowo mirip atau sama dengan yang dilakukan dua pemimpin komunis di negara komunis.
Syahganda memuja-muji kebijakan ekonomi Prabowo (oleh Prof. Daniel M. Rosyid—pendukung die hard Prabowo juga—disebut sebagai ‘’Prabowonomics’’). Prabowonomics, kalau ada, lebih tepat disebut ‘’giveaway economic’’, ekonomi bagi-bagi. Bagi-bagi THR kepada driver ojol tanpa ada dasar hukumnya. Akhirnya mengecewakan karena hanya mendapat Rp 50 ribu perorang. Kenaikan upah buruh, pembebasan pajak, janji kenaikan gaji guru. Semuanya adalah pork barrel politics, politik gentong babi.
Prabowonomics harus membuktikan bahwa Danantara bukan dana untuk anak, teman, dan tentara. Puluhan ribu buruh yang kena PHK harus ada solusinya, dan investor asing yang lari bisa masuk kembali. Bagaimana Prabowo akan merespons tarif 32 persen yang dijatuhkan oleh Amerika.
Proyek makan bergizi gratis (MBG) salah strategi. Harusnya ekonomi dibikin tumbuh dengan sehat, lapangan kerja meningkat, pengangguran turun, orang tua sejahtera, dan secara otomatis anak-anaknya bisa makan bergizi.
Tapi, itu butuh jangka waktu panjang dan kerja fundamental yang melelahkan. Dan yang paling penting, tidak kelihatan efek elektoralnya. Beda dengan MBG yang langsung kelihatan efek elektoralnya.
Syahganda memandang enteng UU TNI dan tidak melihatnya sebagai ancaman terhadap supremasi sipil. Syahganda menganggap wajar bahwa sebagai militer Prabowo mengandalkan tentara sebagai backbone kekuasaannya. Syahganda yang pernah keluar masuk penjara Orde Baru mengalami gejala Stockholm Syndrome. Ia jatuh cinta kepada Orde Baru 2.0 versi Prabowo.
Prof. John Keane dalam ‘’The New Despotism’’ (2020) menggambarkan kepemimpinan ala Prabowo sebagai despotisme baru. Pemimpin despot melihat bahwa demokrasi liberal telah gagal memberikan kesejahteraan dan stabilitas, lalu berpaling kepada despotisme versi baru.
Demokrasi yang tidak bisa memberikan kesejahteraan memunculkan ketidakpuasan rakyat. Demokrasi dipandang secara sinis sebagai instrumen kekuasaan kelas penguasa.
Seorang despot tahu bagaimana memanfaatkan situasi ini. Dia mencitrakan diri sebagai bagian dari rakyat. Muncullah jargon ‘’Jokowi adalah Kita’’, dan ‘’Jokowisme’’.
Mereka menggunakan kecakapan untuk merayu hati masyarakat, berupaya terlihat dekat dengan masyarakat. Ia bersama-sama dengan masyarakat membentuk imajinasi akan adanya sebuah musuh bersama, yaitu kelas elite politik-ekonomi atau kekuatan asing.
Seorang despot memandang rakyat sebagai sumber legitimasi dan loyalitas. Akan sangat mudah memunculkan resistensi rakyat apabila rakyat dipaksa patuh dengan cara koersif. Bagi seorang despot, resistensi akan menghasilkan delegitimasi, dan harus segera diatasi. Bukan dengan kekerasan, melainkan persuasi dan rayuan. Misalnya dengan kenaikann gaji atau pemberian tunjangan tertentu seperti THR.
Pemimpin despot memasukkan rakyat pada jejaring patronase yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya material. Hal ini memberi rasa aman berada dalam kekuasaan. Bagi-bagi kekuasaan dilakukan secara ugal-ugalan sehingga melahirkan kabinet gemoy.
Bagi yang tetap beroposisi, mereka akan menggunakan kekerasan secara terukur untuk meredam perlawanan. Pemimpin despot akan membangun aliansi kekuasaan, kesepakatan bisnis, dan kompromi politik untuk menjinakkan kekuatan oposisi.
Despotisme baru bekerja dengan mengorganisasi kekuasaan berbasis patronase, kekayaan, manipulasi hukum dan pemilu. Media dipakai untuk mobilisasi opini publik, serta meraih simpati dan loyalitas massa.
Pemimpin despot akan membiarkan seseorang menjadi kaya.Tetapi, ketika ia ingin tetap kaya, ia tidak bisa kaya sendirian. Para pengusaha menjadi bagian dari oligarki yang mendukung kekuasaan yang memberinya perlindungan. Tidak ada bisnis yang independen. Bisnis dan pemerintah berbaur menjadi satu. Organisasi bisnis seperti Kadin menjadi bagian dari korporatisme negara.
Pemilu sebagai instrumen demokrasi dimanipulasi dalam kekuasaan despotisme baru. Pemilu tidak berfungsi sebagai wujud partisipasi warga negara dalam memilih wakil-wakilnya. Pemilu menjadi sarana eksploitasi terhadap pemilih melalui politik uang dan vote buying, jual beli suara. Despotisme baru menjalankan pemilu tanpa demokrasi
Pemimpin despotik menjadikan media sebagai sarana legitimasi. Opini publik dimanipulasi untuk memperkuat kekuasaan. Di depan media, seorang despot dapat berakting menjadi lucu, ramah, dan demokratis. Tampang sangar dipoles menjadi lucu dan gemoy, lalu berjoget tanpa malu di depan publik.
Pemimpin media massa dikumpulkan sebagai upaya meyakinkan mereka untuk memberi dukungan. Media pun kehilangan independensi dan sikap kritis. Media yang tetap independen dan kritis diteror dengan kepala babi dan bangkai tikus, dan dituding sebagai antek asing.
Despot mengontrol kalangan terdidik, surveyor, dan lembaga think-tank untuk mendapat dukungan. Surveyor bayaran bermunculan. Kampus dan intelektual dibungkam. Para influencer dan selebriti medsos dirangkul dan diberi jabatan setingkat menteri.
Pemimpin despot harus secara konstan dekat dengan masyarakat. Maka muncullah jargon ‘’Prabowo adalah Kita’’, seperti yang digagas oleh Syahganda Nainggolan. Mungkin sebentar lagi muncul jargon ‘’Prabowoisme’’.
Bagi 40 juta pendukung die hard Anies Baswedan jargonnya adalah ‘’Prabowo adalah (bukan) Kita’’, dan Prabowois (not) me. (*)
Dhimam Abror Djuraid;
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di Surabaya, Jawa Timur.