Prabowo-Ganjar dalam Penggembalaan Politik Kekuasaan Jokowi, Pemilu Berpotensi Curang

  • Bagikan

PEMILU, suka atau tidak suka, pasti akan tergelar pada 2024 mendatang. Pemilu harus digelar karena itu adalah amanat konstitusi. Yang harus dipatuhi dan diindahkan oleh seluruh rakyat negeri ini. Karena itu, ketika ada elite penguasa maupun pihak-pihak yang menginginkan pemilu ditunda, konsekuensinya tentu  harus berhadapan dengan rakyat.

Apalagi menunda pemilu, memperpanjang usia jabatan presiden saja, resikonya juga besar. Harus berhadapan dengan rakyat. Lagi-lagi, karena memperpanjang jabatan memang tidak diatur dalam konstitusi kita. Bahkan, jika ada pihak yang nekat memaksakan perpanjangan perpanjangan jabatan presiden, selain menjadi pengkhianat konsitusi, resikonya juga berhadapan dengan rakyat.

Dua pintu tersebut tampaknya sudah tertutup bagi Presiden Joko Widodo. MK belum lama ini juga telah memutuskan menolak uji materi soal perpanjangan jabatan Presiden. Artinya, usia jabatan presiden hanya satu periode dengan masa waktu lima tahun, dan bisa dipilih kembali untuk periode kedua. Tidak boleh lebih dari itu. Dalam UUD 1945 Pasal 22 E ayat (1) disebutkan bahwa, Pemilu itu dilakukan lima tahun sekali.

Baca juga :   Selamat Jalan Bupati Anna, Ibu Pembangunan, Hobi Mutasi

Sementara, jika pemilu ditunda, seperti yang saya paparkan di atas, selain berhadapan dengan rakyat, tentu harus berhadapan dengan seluruh parpol sepakat, karena pemilu memang harus digelar 2024. Itu juga karena amanat konsitusi. Nah, di saat dua pintu tersebut tertutup, Jokowi sudah mulai gundah. Tak sebatas restu, Jokowi juga terlihat semakin agresif menggalang dukungan bagi Prabowo dan Ganjar. Soal siapa Capres & Cawapres, masih digodok. Tergantung kuat-kuatan deal mahar politik, barang kali!

Kontrasi panorama mabuk kekuasaan seperti itu jelas sangat ugal-ugulan, memberangus etika, merusak netralitas dan melecehkan akal sehat publik. Namun bagi Jokowi dan loyalisnya, ngotot dan tancap gas tampaknya pilihan yang harus ditempuh.

Praktik kekuasaan otoriter yang demikian itu jelas merusakan tatanan bernegara. Buat apa ada pemilu bila kekuasaan presiden yang powerfull berubah menjadi tim sukses siluman? Itu jelas mencederai demokrasi yang telah dibangun sebagai bagian dari hasil reformasi 1998 yang diperjuangkan oleh seluruh anak bangsa.

Celakanya, nafsu Jokowi bermain politik yang tidak elegan dan kotor itu berhadapan dengan lika-liku KPU yang amburadul. Awal kecurangan Pemilu di era Hasyim Asy’ari itu jauh lebih buruk dari pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya.

Baca juga :   Capres dan Tanah untuk Rakyat (Negara Siap Putihkan 3,3 Juta Hektare Sawit Ilegal)

Terkait pelaksanaan Pilpres 2024, jelas sudah banyak yang gusar, bahkan PDIP sebagai partai pengusung Jokowi pun gerah. Lagi-lagi mereka tidak berdaya. Kekuasaan Jokowi jauh lebih kuat dan makin mulus mengantarkan jalan kemenangan bagi kandidat pro Istana. Tak heran jika Jokowi banyak mengendors beberapa calon presiden,- yang justru semakin menampakkan kegusarannya karena pepularitas dan elektablitas calon yang diendors, hasilnya semu belaka. Berbayar, dengan mempedayai rakyat yang dibungkus melalui hasil survei.

Jokowi sebagai penguasa memang memiliki berbagai jaringan, fasilitas dan mampu menyatukan para pemodal untuk melayani hajatnya. Namun, ikhwal dan rencana busuk itu membuat banyak pihak pesimistis. Publik lebih memilih perubahan. Perubahan untuk Indonesia yang lebih baik. Hal itu dimaklumi karena selama menjadi presiden dua periode, Jokowi jauh kata berprestasi.

Dalam pemilu mendatang, banyak pihak sudah mencium gelagat kecurangan. Kecurangan itu sudah dimulai dari praktik kekuasaan yang sangat otoriter. Selanjutnya, rakyat akan pasrah menghadapi perangkat KPU sebagai legitimasi kehendak penguasa. Itu rumus baku. Bagaimana memastikan Pemilu berlangsung demokratis, adil dan transparan? Tentu bukan dengan tunda pemilu, begitu pula sebaliknya. Menerima pemilu yang berpotensi curang, tetap saja kalah.

Baca juga :   Andai Jokowi Masih seperti Dulu

Tentu dilematis. Ya, begitulah realitas yang sedang dihadapi publik saat ini. Sangat jelas: Perubahan bukan pada tunda pemilu atau melalui pemilu. Tapi satukan dulu rakyat untuk tidak terjebak kedua opsi tersebut. Namun, sepertinya rakyat justru digiring dengan pertentangan aneka isu yang seolah ada harapan untuk perubahan. Padahal, justru makin terjebak dalam setingan dan kontrol politik kekuasaan.

Tunda Pemilu dan Pemilu curang adalah dua lumpur hisap yang semakin menyedot energi rakyat. Hasil akhir, figur yang digembala penguasa akan melanjutkan politik kecurangan. Berdiri sebagai pemenang karena oposisi disandera oleh elite Parpol dan pemburu kekuasaan yang sangat delusi. (*)

Faizal Assegaf;
Penulis adalah Kritikus, Pengamat Politik dan Kebangsaan.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *